Liputan6.com, Kabul - Sekelompok orang menyerang sebuah kompleks polisi di Kabul, Senin 1 Februari 2016. Militan Taliban berada di balik serangan tersebut.
"Menewaskan 20 polisi dan melukai 29 lainnya," kata para pejabat Afghanistan seperti dikutip dari New York Times, Selasa (2/2/2016).
Baca Juga
Insiden itu merupakan yang terbaru dari serangkaian serangan militan di ibu kota Afghanistan tahun ini.
Advertisement
Serangan terjadi ketika militer Amerika Serikat mengeluarkan konfirmasi, atas serangan terhadap pasukan keamanan Afghanistan yang di antaranya menewaskan tentara Afghanistan dan polisi yang jumlah korbannya meningkat hampir sepertiga dari 2015 dibandingkan pada 2014.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Sediq Sediqqi, mengatakan serangan pada hari Senin ini terjadi di dekat pintu gerbang Polisi Orde Sipil Nasional. Saksi mata mengatakan pengebom itu berjalan ke garis untuk pengunjung menunggu pemeriksaan keamanan, lalu meledakkan bomnya.
"Pengebom itu menargetkan kompleks ketika banyak polisi keluar dari sana," ucap juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid mengaku bertanggung jawab atas serangan itu melalui sebuah pernyataan.
Baca Juga
Puluhan polisi mengepung trotoar di lokasi pengeboman. Tapi jalan utama, salah satu yang tersibuk di Kabul, tetap terbuka untuk lalu lintas. Potongan jasad manusia masih terlihat meski petugas pemadam kebakaran sudah membersihkannya.
"Anda lihat pohon itu? Cabang-cabang itu dilapisi darah dan daging manusia," kata Ahmad Parwiz yang menjual roti goreng di seberang jalan dari Kepolisian Orde Sipil Nasional. "Ada banyak pengunjung antri untuk masuk ke dalam saat ledakan terjadi. Terima kasih Tuhan kita yang ada di sisi jalan tidak terluka."
Serangan Intens
Serangan Taliban musim dingin ini terbilang intens, termasuk serangkaian pengeboman di Kabul. Hal itu membuat pejabat Kabul dan Barat semakin khawatir terhadap pasukan keamanan Afghanistan.
Juru bicara pasukan NATO dan Amerika Serikat di Afghanistan, Kolonel Michael T. Lawhorn mengatakan korban dari pasukan Afghanistan sampai tahun 2015 tercatat 28 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
"Ini tahun yang sulit bagi pasukan Afghanistan yang telah lama diharapkan bertanggungjawab untuk meningkatkan tempo operasinya secara signifikan tahun 2015 lalu, setelah berakhirnya misi tempur NATO," beber Kolonel Lawhorn yang tidak merinci data korban baru serangan terbaru.
Seorang pejabat Afghanistan menjelasakan bahwa jumlah korban tahun 2014 lalu sekitar 16.000 tentara dan polisi, lebih dari 5.000 di antaranya tewas. Sementara 6 bulan pertama di 2015 tercatat jatuh korban 4.100.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan, Jenderal Dawlat Waziri menolak untuk memastikan jumlah tentara tewas. "Yang bisa saya katakan, dibandingkan dengan 2014, korban pada tahun 2015 lebih banyak," kata General Waziri.
Sementara itu, di Distrik Deh Rawood di selatan Provinsi Oruzgan, polisi telah lama mengeluhkan kurangnya peralatan dan amunisi ketika dikepung militan.
Menurut Mohammad Karim Khadimzai selaku Kepala Dewan Provinsi Oruzgan, 4 pos pemeriksaan keamanan di sana akhirnya ditinggalkan oleh polisi dan kemudian dibakar oleh Taliban. Sedangkan sekitar 30 polisi meninggalkan pos mereka di Deh Rawood dan tiba di Tirin Kot, ibukota provinsi Kabul.
"Alasan untuk berbalik dari jabatan mereka adalah kurangnya amunisi meskipun sering meminta kantor pusat untuk persediaan tersebut," kata Khadimzai.
Namun kepala polisi provinsi menolak klaim bahwa alasan polisi itu desersi karena komandan pos dipecat atas keluhan dari warga setempat karena dianiaya. Kasus tersebut juga masih dalam penyelidikan.
Juru bicara gubernur provinsi Kabul membantah bahwa pos polisi telah dibakar oleh Taliban, dan mengatakan pasukan baru telah tiba untuk mengisi kekosongan.
Meningkatnya serangan kelompok Taliban di seluruh negeri, bertepatan dengan upaya-upaya internasional untuk memulai kembali pembicaraan damai antara pemberontak dan pemerintah Afghanistan.
Setelah tahun 2015 lalu terjadi kemajuan dan sempat terhenti pada bulan Juli, setelah terungkap bahwa pemimpin Taliban, Mullah Muhammad Omar, telah meninggal pada tahun 2013.
Pejabat dari Afghanistan, China, Pakistan dan Amerika Serikat diperkirakan akan bertemu untuk ketiga kalinya segera untuk membahas rencana untuk membawa Taliban ke meja perundingan.