Liputan6.com, Berlin - Kira-kira satu dekade lalu, gagasan mendirikan bangunan dengan ruang ibadah bagi tiga agama monoteistik tercetus saat berlangsungnya penggalian arkeologi di Fischerinsel, Mitte, bagian selatan kota Berlin.
Pada 2012 digelarlah sebuah kompetisi arsitektur internasional untuk menciptakan sebuah bangunan yang menggabungkan masjid, gereja, dan sinagog.
Baca Juga
Dikutip dari Haaretz pada Jumat (20/5/2016), kompetisi itu dimenangkan oleh kantor arsitek Kuehn Malvezzi -- dimana mereka akan membangun 'House of One' seluas 670 meter persegi pada tahun 2017 mendatang.
Advertisement
'House of One' akan menjadi sebuah bangunan yang untuk pertama kalinya memiliki tiga ruang ibadah bagi tiga agama.
Jumlah warga Yahudi di Berlin memang sedikit dibandingkan dengan warga Kristen ataupun Muslim. Namun demikian setiap agama akan diberi jatah ruang ibadah dengan luas yang sama walaupun dengan rancangan yang berbeda.
Setiap ruang ibadah memiliki tinggi sekitar 32 meter. Tampilan luar bangunan ini akan didesain sederhana, menonjolkan susunan batu bata polos dan tidak akan menampilkan simbol agama tertentu.
Pendanaan proyek ini didapat melalui sumbangan. Sejauh ini, dana yang sudah terkumpul sekitar 1 juta euro atau setara dengan Rp 1 miliar.
Salah satu pimpinan proyek ini, Rabbi Tovia Ben Chorin mengatakan, bangunan ini menjadi tantangan bukan hanya bagi warga Berlin, tapi bagi setiap orang yang tertarik pada dialog antar agama.
Ketika ditanya mengapa didirikan di Berlin, ia menjawab melalui situsnya.
"Sebagai seorang Yahudi, kota ini adalah 'Kota Penuh Luka' sekaligus 'Kota Mujizat'. Di sinilah dirancang pemusnahan sistematik atas kami. Dan dari kota ini jugalah muncul jawaban…karena kota ini merupakan kota multi budaya, gagasan ini akan menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia," ujar pria itu.
Salah seorang pimpinan proyek lainnya Imam Kadir Sanci, juga sangat senang dengan kehadiran proyek ini
"Proyek ini adalah tanda, suatu pertanda kepada dunia bahwa mayoritas Muslim cinta damai dan bukan kekerasan. Tempat ini juga akan menjadi tempat di mana budaya-budaya yang berbeda dapat saling belajar," imbuhnya.
Situs Dengan Riwayat Panjang
Seorang rekanan di Kuehn Malvezzi, Arsitek Wilfried Kuehn mengatakan kepada Haaretz bahwa proses penelitian House of One bersifat multidisiplin dan terus berlangsung.
Tahap pertama adalah mempelajari situs itu dan riwayatnya. Proyek ini dibangun di atas puing-puing salah satu gereja tertua di Berlin, yaitu Petrikirche. Temuan sejumlah situs arkeologi di tempat itu nantinya akan dipamerkan.
Salah satu tembok akan dibangun di atas pondasi yang dulunya adalah tembok gereja bergaya neo-Gothic yang dibangun pada 1853 itu.
Tahap ke dua penelitian mencakup pembelajaran mengenai rancangan mesjid, gereja, dan sinagog.
"Kami tertarik dengan ruang ibadah yang tidak memiliki desain tematik karena satu dan lain hal mengalami transformasi untuk keperluan keimanan yang berbeda, misalnya Hagia Sophia di Istanbul atau Mezquita-Cattedral di Cordoba," kata Kuehn.
Dulunya Hagia Sophia adalah sebuah gereja yang kemudian diubah menjadi mesjid, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada katedral di Cordoba, Spanyol, itu.
Perbedaan mencolok antara bagian dalam dan luar gedung memang disengaja.
"Setiap agama memiliki ruang suci mereka masing-masing untuk dipergunakan sebagai ruang ibadah yang semuanya terletak di tingkat yang sama -- mengelilingi ruang tengah yang merupakan tempat bergaul dan menjadi rumah belajar. Dengan demikian, bangunan ini dapat menyatukan ketiga agama ini -- intim sekaligus asing pada saat yang bersamaan. Bisa dibilang ruang tengah berkubah itu berperan mirip seperti kota," ujar Kuehn.
Para arsitek itu memutuskan tidak membangun menara mesjid ataupun gereja, karena "melakukan komunikasi dari dalam House of One ke dunia luar menggunakan menara-menara itu tidak memberikan kisah yang tepat. Bagi kami, penting agar House of One hadir di kota ini sebagai kesatuan yang berbeda daripada lingkungan sekitarnya," tegasnya
Kuehn mengatakan, meski terdapat tiga agama Ibrahim di Jerman, namun interaksi ketiganya sangat kecil.
"Karena hanya ada sedikit rumah ibadah bersama di muka publik. Agama, iman, dan teologi adalah topik-topik yang mulai memainkan peran penting dalam produksi artistik, dalam debat-debat serius atau pameran-pameran lembaga budaya utama," imbuhnya.