Liputan6.com, Hartford - Seorang perempuan -- Lhakpa Sherpa berhasil mengukir sejarah sebagai pendaki perempuan pertama yang berhasil naik ke puncak Gunung Everest sebanyak tujuh kali. Ketangguhan Lhakpa ini bukan tidak mungkin dipengaruhi latar belakang hidupnya yang memang 'akrab' dengan kawasan Pengunungan Himalaya.
Sama seperti nama belakangnya, Lhakpa berasal dari Kaum Etnik Sherpa yang mendiami kaki Pengunungan Himalaya. Orang tuanya diketahui memiliki sebuah warung teh.
Baca Juga
Â
Advertisement
Baca Juga
Lhakpa remaja tidak bersekolah, ia bekerja sebagai pengangkut barang dalam sebuah kelompok yang mengawal ekspedisi ke Makalu -- gunung tertinggi kelima di dunia dengan ketinggian mencapai 8.481 meter. Sejak saat itulah ia memulai pengembaraannya dengan bergabung bersama sejumlah imigran Nepal lainnya, Lhakpa memutuskan hijrah ke Amerika Serikat (AS).
Di Negeri Paman Sam, ia bertemu kembali dengan George Dijmarescu -- seorang pria berkebangsaan Rumania yang sebelumnya pernah ia temui di sebuah bar di Kathmandu, Nepal. Keduanya memutuskan menikah.
Bersama sang suami, Lhakpa kembali ke Nepal dan melakukan pendakian sebanyak lima kali untuk mencapai puncak Everest. Kelima pendakiannya itu berhasil.
Pada tahun 2000, ia tercatat sebagai pendaki perempuan Nepal pertama yang berhasil mencapai puncak Everest dan turun kembali dengan selamat. Seorang pendaki perempuan asal Etnik Sherpa lainnya, Pasang Lhamu diketahui tewas dalam perjalanan turun gunung pada tahun 1993.
Tak hanya Everest, Lhakpa diketahui juga nyaris menakhlukkan K2 di Pakistan. Puncak K2 sedikit lebih rendah dibanding Everest, namun medannya jauh lebih sulit.
Pada Jumat 20 Mei lalu, ketangguhan perempuan itu membuat ia memecahkan rekor dunia dengan jumlah pendakian mencapai puncak Everest sebanyak tujuh kali. 7 Summit Adventure mengumumkan prestasi Lhakpa di situs resmi mereka. Mereka bahkan menyebut perempuan itu sebagai pemandu. Demikian seperti dilansir Washington Post, Selasa (24/5/2016).
Tahun ini, setidaknya tercatat 300 orang dilaporkan melakukan pendakian di Everest. Lebih dari 200 di antaranya melakukan pendakian ke puncak Everest pada Kamis 19 Mei lalu dan jumlah ini diperkirakan akan bertambah.
Ramainya pendakian disebabkan oleh mereka yang memanfaatkan 'jendela cuaca' langka yang saat ini tengah terjadi sebelum datangnya cuaca lembab dan salju yang dihembuskan oleh siklon -- yang berhembus dari Teluk Bengal.
Pada 2015 lalu, niat Lhakpa dan ratusan pendaki lainnya untuk menaiki Everest terpaksa dibatalkan menyusul gempa berkekuatan 7,8 skala Richter yang menggoyang Nepal. Sekitar 9.000 orang di seluruh Nepal dilaporkan tewas akibat bencana tersebut.
Lain di Gunung, Lain di Kota
Kesuksesannya mendaki gunung ternyata tidak diikuti dengan kesuksesannya dalam berumah tangga. Dalam kisah hidupnya yang dimuat Outside Magazine, Lhakpa menceritakan kehidupannya di Hartford, AS dimana ia bekerja sebagai petugas kebersihan di panti jompo sekaligus merangkap sebagai kasir bagi mini market, 7-Eleven.
Pernikahan Lhakpa dan sang suami berujung pada perceraian. Keduanya saling tuduh dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan itu mengaku pernah dipukuli sang suami, sementara suaminya menuding Lhakpa pernah menyerangnya dengan batu bahkan mencoba mencekik ia dan seorang pendaki lain yang dituduh sebagai pasangan homonya.
Lhakpa akhirnya ditampung di sebuah rumah singgah bagi korban KDRT. kehidupan ibu tiga anak itu mulai terombang-ambing. Meski memiliki pencapaian luar biasa, namun ia hidup layaknya imigran pekerja keras. Putra tertuanya diketahui mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi.
Kondisi Lhakpa ini sering dikaitkan dengan gambaran Etnik Sherpa pada umumnya dimana mereka yang rata-rata berprofesi sebagai buruh dan kuli angkut keberadaannya kurang dihargai. Padahal tugas yang harus mereka lakukan -- seperti membentangkan tangga di atas jurang, memasang tali di tempat curam serta membawa barang-barang berat -- adalah pekerjaan yang berat bahkan membahayakan nyawa.
Kaum Sherpa juga hanya mendapat sedikit sekali dari jutaan dolar yang dikeluarkan para pendaki untuk membayar perizinan dan pemandu. Tewasnya 13 kaum Sherpa dalam bencana longsor pada tahun 2014 lalu membuat sejumlah besar pekerja melakukan aksi boikot, mereka juga meminta asuransi, upah yang lebih baik serta klaim keluarga jika terjadi kecelakaan fatal.
Saat ini kaum Sherpa dapat mengantongi antara US$5 hingga US$12 ribu atau setara denga Rp 68 dan Rp 163 juta per tahun sebagai upah mereka. Walaupun jumlah ini masih jauh dari yang seharusnya mengingat seorang pendaki saja harus merogoh kocek US$ 100 ribu atau setara Rp 1,36 miliar untuk urusan perizinan dan pemandu.
Sejak tahun 2000, tercatat sebanyak 43 orang Sherpa meninggal dunia ketika melakukan pendakian. Sementara itu, Apa Sherpa dan Phurba Tashi Sherpa tercatat sebagai orang Sherpa dengan pendakian terbanyak. Keduanya tercatat pernah mendaki Everest sebanyak 21 kali. Wow!