Liputan6.com, Sioux City - Sumit Roy merasa beruntung bisa ikut serta dalam penerbangan pertama pesawat United 232 dari Bandara Internasional Stapleton Chicago pada 19 Juli 1989.
Pria itu duduk di kursi 23J. "Aku beruntung bisa pulang cepat," kata dia kepada rekannya sesama pegawai Citibank, seperti dikutip situs Daily Herald, Senin (18/7/2016).
Baca Juga
Dua jam kemudian, Roy menemukan dirinya dalam kondisi tergantung sabuk pengaman, di sebuah ladang jagung. Ia tersadar di tengah jeritan anak-anak yang ketakutan dan aroma kematian yang kian menguat.
Advertisement
Beberapa saat sebelumnya, pesawat DC-10 yang membawanya meledak ketika terperosok saat mesin mati di rerumputan Sioux City, Iowa, Amerika Serikat. Bagian burung besi tempatnya berada terlempar di ladang jagung, dalam kondisi terbalik.
"Saat itu...Anda mungkin berpikir pasti bakal mati," kata Roy, mengenang kejadian yang pernah menimpanya. "Cara termudah untuk menjelaskannya, rasanya seperti berada di sebuah roller coaster di tengah kegelapan, dengan api dan asap di sekitar Anda."
Sebuah kipas yang rusak mengawali reaksi berantai yang fatal -- yang menghancurkan sistem hidrolik pesawat yang penting untuk menjamin pendaratan berjalan aman. Kerusakan yang terjadi sungguh parah, pilot tak kuasa mengendalikan pesawat. Upaya landing pun gagal.
Para petugas penyelamat yang menyaksikan bola api membumbung dari lokasi kejadian mengira, 296 orang yang ada di dalam pesawat tersebut tewas.
"Ya Tuhan, tak ada yang bisa lolos dari itu," demikian diucapkan petugas menara pengawas, Mark Zielezinski Gonzales.
Dennis Swanstrom, Komandan 85th Air Refueling Wing, Iowa Air National Guard mengaku, saat melihat asap membubung dari pesawat yang terbakar, ia tak sanggup membayangkan ada korban yang selamat dari insiden itu.
Lalu, ia mendengar suara di radio. "Percaya atau tidak, orang-orang keluar dari puing itu."
Ajaibnya, 184 orang selamat dalam kecelakaan pesawat tersebut, 138 di antaranya bahkan mampu berjalan dari kapal terbang yang tak lagi berbentuk itu.
Rod Vetter dari Green Oaks salah satu yang selamat. Ia yang mengalami patah pada tulang leher masih mensyukuri keajaiban yang dialaminya dalam peristiwa tersebut.
"Nikmati setiap hari dalam hidupmu," kata dia, mengungkap pelajaran berharga yang dialaminya. "Anda tak pernah tahu, jangan-jangan itu hari terakhir Anda di dunia."
Sementara, Jan Murray mengaku tak bisa melupakan detik-detik kecelakaan yang menewaskan 112 dari 296 orang yang ada di pesawat. Insiden itu diawali suara ledakan keras. Mirip bom.
"Suaranya sedemikian keras hingga tak ada kata-kata yang bisa mewakilinya," kata pramugari tersebut, seperti dikutip situs New York Post. "Pesawat mengeluarkan suara yang tak pernah aku dengar sebelumnya."
Sadar musibah segera terjadi, beberapa orang mulai menulis sesuatu untuk orang-orang tercinta. Ada seorang perempuan yang menyembunyikannya kartu identitas di pakaian dalam mereka. Lainnya, mulai mengambil Airphones, mencoba melakukan panggilan terakhir, untuk mengucapkan selamat tinggal.
Sebanyak 400 pegawai layanan darurat dikerahkan dari 50 wilayah sekitarnya untuk mengevakuasi para korban.
Selain kecelakaan pesawat tersebut, 19 Juli menjadi momentum sejumlah peristiwa. Pada 1870, Prancis menyatakan perang terhadap Prusia.
Sementara, pada 1943 Roma dibom pihak Sekutu untuk pertama kalinya di tengah Perang Dunia II. Dan pada 19 Juli 1950, Uruguay menjuarai Piala Dunia FIFA 1950 untuk kali kedua.