Bisa Sembuh dari HIV, Tubuh Pria Ini Jadi Misteri Besar

Tim ilmuwan tidak dapat memastikan 100 persen bahwa mutasi itulah yang menyebabkan kekebalan terhadap HIV.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 21 Jul 2016, 06:45 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2016, 06:45 WIB
Sembuh dari HIV (0)
Tim ilmuwan tidak dapat memastikan 100 persen bahwa mutasi itulah yang menyebabkan kekebalan terhadap HIV. (Sumber cuplikan video CNN)

Liputan6.com, Durban - Kilas balik ke tahun 2008, seorang pria bernama Timothy Ray Brown sembuh dari HIV. Saat itu, pria yang dijuluki 'pasien Berlin' itu dianggap pulih dari infeksi tersebut setelah menerima dua transplantasi sumsum tulang belakang.

Dua transplantasi itu sebetulnya untuk mengobati suatu penyakit lain yang ketahuan beberapa tahun sebelumnya, yaitu leukemiua myeloid akut.

Ternyata, sumsum tulang belakang yang diterimanya berasal dari seorang donor dengan gen yang membawa mutasi langka sehingga kebal terhadap HIV. Mutasi yang diistilahkan CCR5-delta 32 itu kemudian ikut berpindah kepada Brown, demikian yang dikutip dari CNN pada Rabu (20/7/2016).

Telusur virus terlihat di darahnya beberapa tahun kemudian, tapi tetap tidak terdeteksi walaupun ia tidak dirawat dengan obat antiretroviral. Artinya, secara klinis dia telah sembuh dari infeksinya, demikian menurut para dokter.

Sudah ada beberapa upaya pada pasien-pasien lain dilakukan oleh para ilmuwan untuk menerapkan pendrkatan yang sama, misalnya pada 2 pasien di Boston. Tapi, hanya Brown lah satu-satunya orang yang sembuh dari HIV.

Meski demikian, dalam suatu penelitian yang dipaparkan pada Minggu lalu dalam 2016 Towards an HIV Cure Symposium sebagai pendahuluan 21st International AIDS conference di Durban, Afrika Selatan, ada beberapa data dari beberapa pasien positif yang kekuatan HIV nya telah sangat menurun setelah menerima transplantasi sel punca yang mirip dengan Brown.

Penelitian tersebut merupakan bagian dari proyek EPISTEM yang digagas Eropa guna mencari potensi penyembuhan HIV menggunakan transplantasi sel punca. Penelitian sekaligus untuk memperdalam pengetahuan tentang kesembuhan Brown.

Tidak Mudah dan Jarang

Proses pemindahan kekebalan terhadap HIV sangat sulit dilakukan. Dan jarang dilakukan juga.

Tim ilmuwan tidak dapat memastikan 100 persen bahwa mutasi itulah yang menyebabkan kekebalan terhadap HIV atau karena ada beberapa tahap lain yang berperan dalam proses transplantasi.

Proses transplantasi mencakup pembersihan seluruhnya sistem kekebalan melalui kemoterapi dan irradiasi sebelum sistem kekebalan itu dibangun kembali oleh sel-sel punca dari donor.

Lalu, ada potensi sel-sel kekebalan baru menyerang sistem yang lama yang mungkin masih menyembunyikan HIV. Transplantasi pun bisa harus 2 kali.

Virus HIV. Tim ilmuwan tidak dapat memastikan 100 persen bahwa mutasi itulah yang menyebabkan kekebalan terhadap HIV. (Sumber CDC)

Kelainan pada darah bersifat unik dan jarang, sehingga para pasien mendapatkan perawatan berbeda satu sama lain. Kata Asier Saez-Cirion dari Institut Pasteur yang terlibat dalam proyek, "Setiap orang bisa dimisalkan sebagai percobaan klinis mikro bagi dirinya sendiri."

Pertama-tama, hanya 1 persen manusia ras Kaukasian yang memiliki mutasi CCR5-delta 32, dan angka itu lebih sedikit lagi pada manusia dari ras-ras lain. Dalam mutasi tersebut, orang tersebut kekurangan protein yang dibutuhkan HIV untuk memasuki sel-sel darah.

Yang jelas, pemantauan para pasien membantu mengerti tempat persembunyian virus di dalam tubuh, atau dikenal dengan istilah 'reservoir'. Demikian juga dengan pengetahuan proses biologi dalam pembersihan reservoir ini yang menyusutkan kandungan virus sehingga tidak bisa lagi dideteksi.

Sayangnya, tidak praktis untuk menerapkan proses ini kepada lebih banyak orang. Lebih mudah dalam praktik dengan pemberian satu atau dua pil setiap hari atau kemoterapi, demikian menurut Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease.

Menurut Fauci, yang lebih mungkin adalah menggunakan pengetahuan baru ini untuk penyembuhan masa depan dengan cara mengutak-atik (editing) gen sehingga orang memiliki mutasi gen CCR5 pada sel-selnya sendiri.

Bagi Fauci, ini adalah ilmu pengetahuan yang menarik dan dapat menjadi bukti konsep utak-atik gen, bukannya transplantasi sel punca. Namun demikian, kalangan pengidap HIV tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membagikan pil kepada yang membutuhkan, apalagi dana untuk transplantasi.

Percobaan Vaksin Baru

Sementara itu, sebuah [vaksin](2556457/ "") baru melawan HIV akan diujicobakan di Afrika Selatan pada akhir tahun ini setelah memenuhi syarat yang membuktikan keampuhannya memerangi epidemi di Benua Hitam.

Pada 2015, dilaporkan telah ada 2,1 juta infeksi baru. Sekitar 2/3 infeksi baru terjadi di sub-Sahara.

Sebelum melakukan percobaan skala besar, percobaan kecil-kecilan menggunakan HVTN100 dilakukan di Afrika Selatan pada 2015 untuk menguji keamanan dan kekuatan kekebalan yang diberikan oleh vaksin ALVAC-HIV/gp120 tersebut.

Vaksin itu bermula dari percobaan penting di Thailand pada 2009, yang saat itu untuk pertama kalinya ada vaksin yang menunjukan sifat perlindungan melawan HIV dengan tingkat perlindungan hingga 31 persen. Walau tidak terlalu tinggi, angka ini cukup menggembirakan setelah bertahun-tahun mencoba tanpa hasil.

Ilustrasi pita. Tim ilmuwan tidak dapat memastikan 100 persen bahwa mutasi itulah yang menyebabkan kekebalan terhadap HIV. (Sumber avert.org)

Percobaan skala besar akan dimulai di antara 5.400 orang di empat tempat di Afrika Selatan mulai November 2016 dan berlangsung hingga 3 tahun. Dosis kelima akan diberikan untuk perlindungan yang diharapkan lebih berkepanjangan.

Penelitian di Thailand yang disebutkan sebelum ini sebenarnya memberikan keberhasilan perlindungan hingga 60 persen setelah 1 tahun, tapi turun menjadi 31 persen pada akhir masa pengujian. Vaksin baru diharapkan meningkatkan angka ini.

Vaksin perdana yang diterbitkan mungkin tidak memberikan perlindungan yang cukup jika berdiri sendiri dan memerlukan kombinasi dengan berbagai cara pencegahan, perawatan, dan intervensi sosial yang sudah ada.

Sharon Lewin, direktur Peter Doherty Institute for Infection and Immunity, mengatakan, "Suatu vaksin masih sangat penting menghadapi epidemi ini. Walaupun kita memiliki beberapa pilihan pencegahan lain, tidak ada yang sebaik suatu vaksin."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya