Liputan6.com, Bangkok - Perbudakan menimpa para buruh migran ilegal asal Myanmar yang bekerja di peternakan Thammakaset 2, Thailand. Mereka mengalami sejumlah pelanggaran ketenagakerjaan, salah satunya bekerja non-stop selama 22 jam.
Seperti dilansir dari The Guardian, Selasa (2/8/2016), seorang pekerja bernama Myint mengaku selama 4,5 tahun setiap hari ia bekerja 22 jam di peternakan itu. Usaha pembiakan unggas itu merupakan pemasok ke salah satu perusahaan ekspor ayam terbesar di Thailand.
Myint mengisahkan, pada siang hari ia akan menyembelih sekitar 500 ayam untuk dikemas menjadi makanan siap saji dan makanan hewan. Sementara malam hari ia dan pekerja lainnya "dipaksa" tidur di lantai bersama sekitar 28.000 ekor ayam.
Advertisement
Jika ada ayam yang jatuh sakit, mereka yang akan disalahkan. Seorang pekerja lainnya mengatakan, jika mereka terlalu lelah bekerja maka gaji akan dikurangi.
Keinginan untuk kabur pun urung dilakukan mengingat paspor mereka disita. Satu-satunya celah untuk melihat dunia luar adalah seminggu sekali, yakni selama dua jam mereka diizinkan berbelanja bahan makanan ke pasar, meski diawasi secara ketat.
"Kami diperlakukan seperti budak. Sepanjang hari dan sepanjang malam kami harus bekerja. Saya tidak ingin orang lain harus menghadapi hal yang sama," ujar rekan Myint, Nayto, ketika berbicara di rumah aman milik sebuah LSM di mana ia dan belasan rekannya tengah menanti kompensasi dari pihak peternakan.
Sekitar 14 pekerja, termasuk Myint, mengklaim dipaksa bekerja mulai dari pukul 07.00-17.00 lalu pekerjaan akan kembali dilanjutkan mulai dari pukul 19.00-05.00 setiap hari tanpa libur dan hitungan lembur.
Para pekerja yang berusia 20 hingga 50-an itu juga mengatakan gaji mereka jauh di bawah upah minimum Thailand dan mereka masih mendapat potongan rutin untuk biaya utilitas dan akomodasi.
"Pekerjaan kami benar-benar berbeda dengan apa yang awalnya mereka katakan. Bos telah berbohong kepada kami, kemudian berbohong kepada pihak berwenang ketika kami mulai buka suara," ujar salah seorang pekerja perempuan bernama Mayday.
Mereka berhasil bebas pada Juni lalu dengan bantuan Migrant Worker's Right Network (MWRN). Demi mendapat kompensasi, mereka harus tetap bertahan di Thailand. Namun visa kerja mereka akan segera berakhir sehingga upaya deportasi sulit dihindari.
Thailand sebenarnya lebih dikenal dengan sejumlah persoalan di sektor industri makanan laut, di mana kabarnya marak terjadi praktik perbudakan modern. Namun ternyata penelitian menunjukkan, "permainan kotor" juga mewarnai sektor ekspor unggas di mana sarat praktik pelecehan, jerat utang, penyitaan dokumen, tingginya biaya perekrutan, jam kerja yang panjang, dan rendahnya upah.
Negeri Gajah Putih itu diketahui mengekspor 41 persen dari seluruh produksi daging ayam boilernya ke pasar Eropa.
Para aktivis mengatakan, pedesaan dan peternakan yang terisolasi menandai terjadinya pelanggaran sementara rantai pasokan yang rumit disebut telah membuat para pembeli di pasar global mengabaikan persoalan ketenagakerjaan.
Thammakaset 2 merupakan pemasok bagi perusahaan Betagro, satu dari lima eksportir ayam di Thailand. Namun pihak Betagro membantah hal ini dengan mengatakan kerja sama keduanya berhenti sampai ada solusi terkait konflik perburuhan.
Penelitian yang dipublikasikan akhir tahun lalu oleh Finnwatch --organisasi sipil yang bertanggung jawab terhadap perusahaan global-- menemukan bahwa pelanggaran ketenagakerjaan juga terjadi di peternakan unggas lainnya termasuk milik CP Foods --pemiliknya seorang konglomerat Thailand yang merajai industri makanan.
Saat ini terdapat sekitar 4 juta buruh migran asal Myanmar di Thailand. Mereka bekerja di sektor pertanian, konstruksi, hingga industri perikanan dan makanan.
Sementara itu, Komisi Nasional HAM Thailand telah berjanji menyelidiki kasus praktik kotor dalam industri unggas secara keseluruhan.