Liputan6.com, Dhaka - Mir Quasem Ali adalah taipan asal Bangladesh. Ia pernah jadi direktur Islami Bank Bangladesh Ltd, pimpinan Diganta Media Corporation yang memiliki Diganta TV, mendirikan Ibn Sina Trust, pendiri LSM Rabita al-Alam al-Islami, dan orang terkaya dari partai politik Jamaat-e-Islami.
Pada 2 November 2014 ia divonis mati atas kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama Perang Pembebasan Bangladesh pada tahun 1971. Pada Sabtu 3 September 2016, eksekusi mati terhadap Mir Quasem Ali dilakukan.
Pria 63 tahun tersebut dianggap terbukti bersalah melakukan pembunuhan dan penyiksaan. Eksekusi gantung dilakukan di penjara berkeamanan tinggi di luar Dhaka.
Operasi keamanan besar-besaran dilakukan sebelum dan sesudah eksekusi dilakukan, untuk mengantisipasi gelombang protes. Sebuah ambulans yang membawa jasad Ali keluar dari penjara pada Minggu 4 September 2016, menuju ke kampung halamannya di Manikganj.
Istri terpidana mati, Khandker Ayesha Khatun kepada para wartawan mengatakan, keluarga ingin memakamkan Ali di Dhaka. Namun permintaan tersebut ditolak pihak keamanan.
Eksekusi yang dilakukan atas Ali menyusul sejumlah serangan di Bangladesh, termasuk di sebuah kafe di Dhaka Juli lalu yang menewaskan 20 orang, mayoritas warga negara asing.
Dalam persidangan, Ali dituduh terlibat dalam 'pemerintahan teror' di kota Chittagong. Ia dinyatakan terbukti bersalah dalam delapan dari 14 dakwaan, termasuk penculikan dan pembunuhan seorang remaja yang mendukung didirikannya negara yang merdeka dari Pakistan.
"Selama ini dia mengatakan dia tidak bersalah. Bahwa ia dibunuh (dieksekusi) secara tak adil," kata salah satu putrinya, Tahera Tasnim.
Tahera adalah salah satu dari 23 keluarga yang bertemu dengan Ali di penjara, beberapa jam sebelum ia digantung.
Enam pemimpin oposisi dieksekusi mati sejak Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mendirikan pengadilan kejahatan perang pada tahun 2010. Lima orang di antaranya adalah pucuk pimpinan Jamaat-e-Islami.
Baca Juga
Sejumlah kritik dilancarkan kepada penguasa Bangladesh, mengatakan bahwa pemerintah telah menggunakan pengadilan untuk menargetkan lawan politik. Sementara, Human Rights Watch mengatakan prosedur pengadilan tidak memenuhi standar internasional.
Pemerintah PM Hasina menepis badi kritik tersebut. Pengadilan, menurut mereka, diperlukan untuk menyembuhkan luka akibat konflik.
Pemerintah Bangladesh menyebut, sebanyak tiga juta orang tewas dalam perang sembilan bulan untuk memisahkan diri dari Pakistan. Sementara, pihak lain mengatakan, jumlah itu belum terverifikasi dan mungkin lebih sedikit dari versi penguasa.
Advertisement