Tak Ada Perayaan Idul Adha di Kota Aleppo...

Perayaan Idul Adha di Kota Aleppo, Suriah, tak meriah sebagaimana mestinya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 12 Sep 2016, 14:19 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2016, 14:19 WIB
20160428-Perang-Suriah-AFP
Orang tua berjalan membawa bayinya menyusul serangan udara di kota Suriah bagian utara, Aleppo, Kamis (28/4). Meskipun PBB menetapkan gencatan senjata Februari lalu, jumlah korban tewas terus bertambah. (AFP PHOTO / Ameer ALHALBI)

Liputan6.com, Aleppo - Bagi Mojahed Abo Aljood, salah seorang warga Aleppo, Suriah, lazimnya perayaan Idul Adha selalu ditandai dengan keramaian di pasar, aroma makanan yang khas, dan lantunan doa-doa. Namun kini, semua itu sirna.

Beberapa tahun terakhir, Aleppo dikepung peperangan dan dalam tiga bulan belakangan intensitas serangan meningkat.

"Hampir di mana-mana ada orang yang tewas atau cacat karena pengeboman," ujar Abo Aljood yang tinggal di bagian timur Kota Aleppo seperti dilansir The Guardian, Senin (12/9/2016).

"Jika Anda bertanya pada siapa saja di Aleppo apakah mereka bahagia atau apakah mereka berusaha bahagia dan melupakan, kebanyakan dari mereka akan mengatakan anak saya tewas dan tak ada bersama saya di Idul Adha kali ini. Atau mereka akan mengatakan, istri saya telah meninggal dunia dan mungkin jika tidak ada yang kehilangan anggota keluarga maka mereka tinggal dalam teror dan Anda tidak akan pernah bahagia hidup dalam bayang-bayang teror," kata dia.

Rusia dan Amerika Serikat (AS) belum lama ini telah menyepakati soal gencatan senjata. Perjanjian ini mulai berlaku pada Senin, 12 September waktu setempat.

Sebagai bagian dari gencatan senjata selama tujuh hari, militer Suriah akan menahan diri untuk menyerang daerah yang dikuasai pasukan anti-militer begitu pun sebaliknya. Ini dilakukan demi memungkinkan bantuan kemanusiaan menjangkau warga yang membutuhkan.

Langkah gencatan senjata ini didukung penuh Iran, sekutu rezim Presiden Bashar al-Assad. Meski demikian, banyak yang pesimistis proses ini dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

Eskalasi pertempuran terjadi di Aleppo, Suriah (Reuters)

Selama empat tahun terakhir, Aleppo terbagi dua. Wilayah timur dikuasai pasukan anti-pemerintah, sementara wilayah barat "dipegang" oleh militer Suriah.

Awal musim panas lalu, militer Suriah yang didukung Iran, Rusia, dan Hizbullah mengepung pihak pemberontak dengan memotong satu-satunya rute suplai logistik. Serangan balasan pun dilancarkan oleh pasukan anti-pemerintah.

Melihat hal ini, pasukan Suriah pun melakukan serangan tanpa ampun. Bahkan, rezim Assad dituding menjatuhkan bom klorin di Sukkari, bagian timur Aleppo.

Menurut sejumlah sumber, sekitar 80 orang terkena dampak atas peristiwa ini, sementara dua orang lainnya meninggal dunia setelah menderita sesak napas.

Pihak yang mendukung pasukan anti-pemerintah mengklaim senjata kimia digunakan untuk membuat mereka bertekuk lutut. Pada akhir bulan lalu, pemerintah dikabarkan mencapai kesepakatan dengan pihak pemberontak di Darayya, pinggiran Kota Damaskus di mana akhirnya kawasan tersebut dikosongkan.

"Senjata kimia yang mereka gunakan itu fosfor, bom cluster, bom vakum. Ada seperempat orang terkena dampaknya dan mereka (rezim Suriah) mencoba untuk membersihkan kota, sebuah formula untuk pembersihan etnis," jelas Osama Abu al-Ezz, seorang dokter di Aleppo.

"Semua ini adalah bentuk kejahatan dan masyarakat internasional terlibat, baik karena mereka diam atau secara aktif berpartisipasi mendukung Rusia dan Iran," imbuhnya.

Di tengah peperangan, warga di Aleppo timur dibiarkan hidup hanya dengan makan nasi atau bulgur. Sementara dokter tidak memungkinkan menangani pasien atau bahkan mentransfer mereka ke perbatasan Turki di mana mereka bisa mendapat perawatan.

Obat-obatan dan peralatan dipasok dengan minim, meninggalkan banyak korban perang dalam kondisi kritis.

Abu al-Ezz, seorang dokter, mengatakan terdapat banyak kasus gizi buruk dan hanya sedikit susu bayi yang tersisa. Tanpa pasokan listrik, warga tak dapat mengakses air bersih.

Generator ada, namun terjadi bahan bakar. Rumah sakit lokal yang telah dibom mengalami kekurangan cadangan diesel dalam beberapa bulan terakhir.

Efek lain dari perang adalah sebagian besar warga mulai berhenti mengendarai mobil, membuat interaksi mereka terbatas dengan lingkungan sekitar. Hal inilah yang digambarkan Abo Aljood sebagai "kelumpuhan" di tengah peperangan.

Aleppo memiliki nilai simbolis besar. Jika pasukan anti-pemerintah kalah, maka mereka akan tersingkir ke daerah pedesaan. Di lain pihak, jika militer Suriah yang menang, mereka akan menguasai pusat kota.

"Tidak ada Idul Adha di sini. Tidak ada kebahagian dalam wujud apa pun di kota ini," kata Abo Aljood.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya