Generasi 'Raib' di Jepang, Siapa dan ke Mana Mereka Kini?

Jiwa-jiwa yang terhilang ini tinggal di kota-kota yang hilang ciptaan mereka sendiri.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 12 Des 2016, 15:00 WIB
Diterbitkan 12 Des 2016, 15:00 WIB
Generasi raib Jepang (0)
Kawasan kumuh Sanya (Sumber flickr)

Liputan6.com, Tokyo - Pada 1980, seorang mahaguru bela diri Jepang bernama Ichiro yang baru menikah dengan Tomoko, memiliki harapan berbunga-bunga. Mereka tinggal di Saitima, suatu kota sejahtera dekat Tokyo.

Mereka kemudian memiliki anak bernama Tim, membeli rumah, dan mengambil pinjaman bank untuk membuka restoran pangsit.

Mendadak, pasar ambruk dan pasangan itu berada dalam lembah utang yang dalam. Sama halnya dengan ratusan ribu warga Jepang lainnya, mereka menjual rumah mereka, berkemas  lalu menghilang. Selamanya.

Dikutip dari news.com.au, Senin (12/12/2016), Ichiro mengatakan, "Orang-orang pengecut. Mereka ingin menyerah, lalu menghilang dan muncul lagi di tempat lain yang tak diketahui orang."

"Saya tidak pernah membayangkan melarikan diri sebagai akhir itu sendiri…begitulah, raib begitu saja bukan sesuatu yang dibuat-buat. Kabur adalah jalur cepat menuju maut."

Laporan yang awalnya muncul di New York Post ini menjelaskan tentang beberapa keganjilan yang secara budaya khas bagi Jepang, misalnya kafe untuk kucing, hingga surat pengusiran dari makam bagi Hutan Bunuh Diri tempat kira-kira 100 orang bunuh diri setiap tahun.

Atau, satu lagi kejanggalan yang kurang dikenal, yaitu "orang-orang yang raib".

Sejak pertengahan 1990-an, diperkirakan ada setidaknya 100 ribu warga Jepang—pria maupun wanita—yang raib setiap tahunnya. Mereka adalah perancang sendiri raibnya diri sendiri karena berbagai alasan semisal perceraian, utang, kehilangan pekerjaan, atau tidak lulus ujian.

Buku "The Vanished: The Evaporated People of Japan in Stories and Photographs" (terbitan Skyhorse) diketahui sebagai reportase pertama tentang hal ini.

Jurnalis Prancis bernama Léna Mauger mengamati hal itu pada 2008 dan meluangkan waktu selama 5 tahun untuk melaporkan hal itu, dengan bantuan rekannya, Stéphane Remael.

Kata Mauger kepada New York Post, "Hal itu sangat tabu. Sesuatu yang tidak diobrolkan. Orang bisa menghilang begitu saja karena ada masyarakat lain di bawah masyarakat Jepang."

"Ketika orang menghilang, mereka tahun mereka bisa mencari cara untuk bertahan hidup."

Masyarakat di Bawah Masyarakat

Jiwa-jiwa yang hilang ini tinggal di kota-kota yang 'rekaan' ciptaan mereka sendiri. Mauger menulis misalnya tentang kota Sanya yang tidak ada di peta manapun. Secara teknis, kota itu tidak ada.

Ternyata, itu adalah daerah kumuh dalam Tokyo yang namanya telah dihapus oleh pihak berwenang. Pekerjaan yang ada di situ ditawarkan oleh Yakuza, mafia Jepang, atau oleh para pemberi kerja yang mencari buruh murah di bawah tangan.

Mereka raib ke dalam kamar-kamar hotel yang kecil dan jorok, terkadang tanpa internet atau toilet pribadi. Mengobrol adalah hal terlarang setelah jam 6 sore.

Di situlah Mauger menemui seorang pria bernama Nirihiro yang sekarang berusia 50 tahun. Ia menghilangkan dirinya sekitar 10 tahun lalu. Ia telah berselingkuh mengkhianati istrinya, tapi yang paling mengguncang adalah karena ia kehilangan pekerjaannya sebagai seorang insinyur.

Karena terlalu malu kepada keluarganya, Norihiro menjaga penampilannya. Ia tetap bangun dini hari, tetap memakai jas dan dasi, meraih tas kantor dan mencium selamat tinggal kepada istrinya.

Kemudian, ia mengemudi ke gedung bekas kantornya dan meluangkan waktu seharian duduk dalam mobilnya tanpa makan atau tanpa menelepon siapapun.

Norihiro melakukan itu kira-kira selama seminggu. Ia tak sanggup membayangkan kalau ketahuan. Katanya kepada Mauger, "Saya tidak sanggup lagi melakukannya."

"Setelah 19 jam, saya masih menunggu, karena saya biasa keluar minum bersama dengan atasan dan rekan-rekan. Biasanya saya kelayapan, baru kemudian pulang."

"Saya menduga istri dan putra saya mencium gelagat ini. Saya merasa bersalah. Saya tidak punya lagi gaji yang bisa saya berikan kepada mereka."

Di hari yang seharusnya tanggal terima gaji, ia mencukur rapih rambutnya dan menggunakan layanan kereta yang biasa, tapi kali ini ke arah lain, ke Sanya.

Kawasan kumuh Sanya (Sumber Google Maps)

Ia tidak meninggalkan sepatah kata apapun atau catatan. Yang diketahui keluarganya adalah bahwa ia pergi ke Hutan Bunuh Diri dan telah melakukan bunuh diri.

Hari ini, ia hidup dengan nama samaran dalam kamar bergembok yang tanpa jendela. Ia minum-minum dan banyak merokok. Selama ini, begitulah ia melakukan hukuman masokistiknya.

Ujar Norihiro, "Setelah semua ini, saya ingin meraih kembali identitas lama saya….tapi saya tidak ingin keluarga melihat saya dalam keadaan begini. Lihat saya, seperti bukan apa-apa. Saya bukan siapa-siapa. Jika saya meninggal besok, saya tidak ingin ada orang yang mengenal saya."

Yuichi adalah seorang mantan pekerja konstruksi yang raib pada pertengahan 1990-an. Ia merawat ibunya yang sakit sehingga segala biaya—perawatan dirumah, makanan, dan sewa tempat tinggal—membuatnya bangkrut.

Katanya, "Saya tidak sanggup menangani ibu yang  rapuh. Ia telah memberikan saya segalanya, tapi saya tidak sanggup merawat dia."

Apa yang kemudian dilakukan Yuichi terdengar bertentangan. Tapi, dalam budaya Jepang yang memandang bunuh diri sebagai cara terhormat untuk menghapus malu, keputusannya masih masuk nalar.

Ia membawa ibunya ke sebuah hotel murah, menyewakan sebuah kamar baginya, dan meninggalkan ibunya di sana selamanya tanpa pernah menjenguk lagi.

Yuichi kemudian raib ke Sanya. Di sana, ia mengatakan, "Kita lihat orang-orang di jalan, tapi mereka sebenarnya sudah tidak ada lagi. Kami kabur dari masyarakat, menghilang untuk pertama kalinya. Di sini, kami membunuh diri pelan-pelan."

Generasi 'raib' telah meningkat di Jepang pada beberapa peristiwa penting, termasuk setelah Perang Dunia II, ketika rasa malu bangsa sedang berada di paling bawah, dan setelah krisis keuangan 1989 dan 2008.

Ekonomi bayangan merebak untuk melayani mereka yang tidak pernah ingin ditemukan lagi, yaitu mereka yang membuat raib itu tampak seperti penculikan, seakan rumahnya kerampokan, tanpa jejak kertas ataupun adanya transkaski keuangan untuk melacak mereka.

Salah satu bisnis demikian adalah Night-time Movers yang dimulai oleh seorang pria bernama Shou Hatori. Ia menjalankan bisnis pemindahan barang secara legal hingga suatu malam, dalam suatu bar karaoke, seorang wanita meminta bantuan Hatori untuk "menghilang, bersama dengan perabotnya. Ia mengatakan tidak sanggup menghadapi utang suami yang dianggapnya telah mengobrak-abrik kehidupannya."

Hatori meminta 3400 dolar Australia untuk setiap pemindahan malam hari. Kliennya lumayan, mulai dari ibu rumah tangga yang kala belanja hingga berutang, pada istri yang ditinggalkan para suami, hingga para mahasiswa yang benci dengan tugas-tugas di asrama mereka.

Ia menolak menjelaskan perincian, tapi kemudian berhenti. Sebagai seorang anak, Hatori sendiri kemudian menghilang dari orangtuanya di Kyoto setelah mengetahui bahwa mereka terbelit utang.

Katanya, “Kadang-kadang, orang mengkaitkan hal ini dengan pengecut. Tapi, ketika saya melakukan pekerjaan saya itu, saya mulai mengerti bahwa hal ini memberi manfaat.”

Hatori akhirnya menjadi konsultan bagi tayangan televisi tentang gejala itu. Tayangan "Flight by Night" menjadi hit pada 1990-an dan berisi tentang antologi fiksi berdasarkan kejadian raib sesungguhnya.

Suatu perusahaan bernama Rising Sun yang menjadi bagian integral dari jalannya kisah tayangan membuat ringkasan secara daring, "Perlu bantuan mengatur keuangan? Tenggelam dalam utang? Rising Sun adalah lembaga konsultasi di sisi kamu."

"Terlambat mencegah? Kabur atau bunuh diri menjadi jalan keluar? Berpalinglah kepada Rising Sun. Di siang hari, Genji Masahiko menjalankan badan konsultasi terhormat, tapi pada malam hari mereka membantu kaum penasaran menemukan kehidupan baru."

"Apapun rasa malu yang menjadi motivasi warga Jepang untuk raib, tidak kalah dampaknya pada para keluarga mereka yang kemudian menjadi sangat malu memiliki keluarga yang raib sehingga mereka tidak melaporkannya kepada polisi."

Organisasi Bantuan

Keluarga-keluarga itu kemudian mencari menggunakan kelompok swasta bernama Support of Families of Missing People yang merahasiakan perincian klien mereka.

Alamatnya sukar dicari dan kantor pusatnya hanya suatu ruang kecil dengan satu bangku dan dinding berlumuran asap rokok.

Organisasi itu memiliki deteitif yang kadang-kadang juga memiliki riwayat orang hilang atau bunuh diri dalam keluarga. Mereka menangani kasus secara bebas biaya.

Rata-rata ada 300 kasus setiap tahun dan tugas mereka sulit. Tidak seperti di Amerika Serikat, di Jepang tidak ada basis data nasional untuk orang hilang.

Tidak ada dokumen atau pencirian seperti nomor Jaminan Sosial yang dapat dipakai untuk melacak seseorang ketika berkelana di dalam negeri. Akses kepada transaksi ATM dan keuangan oleh polisi juga dilarang undang-undang.

Sakae Furuuchi, seorang detektif yang menjadi direktur organisasi, mengatakan, "Kebanyakan penyidikan terhenti di tengah jalan."

Ia mengungkapkan alasan biaya. Penyewaan detektif swasta berbiaya 500 dolar Australia setiap hari dan bisa mencapai 15 ribu dolar Australia dalam sebulan. Hal yang mustahil bagi kerabat orang yang kabur karena urusan utang.

"Orang-orang yang melarikan diri dari utang atau kekerasan mengganti nama mereka dan, kadang-kadang, penampilan mereka. Ada juga yang mengira orang tidak akan mencoba mencari mereka," kata Sakae.

Sakae berhasil menemukan seorang pemuda yang menghilang pada usia 20. Ia tidak pulang ke rumah setelah mengikuti ujian, dan kebetulan salah satu temannya melihatnya di selatan Tokyo.

Tebing Tojibo tempat bunuh diri terkenal (Sumber AFP/Harumi Ozawa)

Sakae menyusuri jalan-jalan hingga akhirnya menemukan siswa itu yang, menurut Mauger, "tergoncang karena malu…ia tidak ikut ujian karena takut gagal dan mengecewakan keluaranya. Walau sempat terpikir bunuh diri, ia tidak menemukan cara untuk menghabisi nyawa."

Dalam suatu kasus lain yang belum terpecahkan berkaitan dengan seorang ibu dari seorang putra usia 8 tahun yang cacat.

Pada suatu hari acara musikal di sekolah, ibu itu menghilang walaupun sudah menjanjikan duduk di baris paling depan. Kursi itu tetap kosong dan ia tidak pernah terlihat lagi.

Suami dan putranya termenung. Wanita itu tidak pernah menunjukan bahwa ia tidak bahagia, sedih atau telah melakukan sesuatu yang diduga tidak benar.

Kata suaminya kepada Mauger, "Ia adalah seorang ibu. Mungkin jalannya nanti membawanya kembali kepada orang-orang yang dicintai."

Dalam banyak hal, budaya di Jepang adalah budaya kalah. Menurut laporan WHO pada 2014, tingkat bunuh diri di Jepang 60 persen lebih tinggi daripada rata-rata global. Ada sekitar 60 hingga 90 kejadian setiap hari.

Ada lagi konsep ratusan tahun bertarikh hingga masa Samurai yaitu untuk melakukan seppuku, bunuh diri dengan menusuk bagian perut. Contoh terkini adalah para pilot Kamikaze pada masa Perang Dunia II.

Budaya Jepang juga menekankan kesemestaan, pentingnya kelompok di atas kepentingan pribadi. Pepatah Jepang mengatakan, "Kita harus memukul paku yang mencuat" bagi orang-orang tidak bisa atau tidak akan cocok dalam masyarakat, taat pada norma struktrur, dan pengabdian kepada pekerjaan yang sedemikian rupa sehingga seakan mematikan kebebasan.

Bagi kaum muda Jepang yang ingin hidup secara berbeda tapi tidak ingin lepas sepenuhnya dari keluarga, ada jalan tengahnya. Yaitu hidup seperti otakus, yang menjalani kehidupan paralel seperti nama anime favorit mereka, datang dan pergi dari waktu kewaktu ke dalam kenyataan alternatif. Dalam kostum, mereka menemukan diri mereka.

"Melarikan diri tidak selalu tentang kepergian," kata seorang pemuda bernama Matt kepada Mauger.

"Kami mengidamkan cinta dan kebebasan dan kadang-kadang melakukannya melalui kostum, lagu, atau tarian menggunakan tangan. Di Jepang, hal demikian sudah sangat berarti."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya