Liputan6.com, Paris - Jacqueline Sauvage akhirnya bebas dari penjara pada 28 Desember 2016. Ia hanya menjalani dua tahun masa tahanan dari vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya pada 2014 lalu. Perempuan Prancis itu terbukti bersalah membunuh suaminya sendiri.
Kebebasan perempuan 64 tahun itu tak lepas dari campur tangan Presiden Prancis Francois Hollande.
Baca Juga
Awalnya, Presiden Hollande mengeluarkan grasi parsial pada akhir Januari tapi pengadilan dua kali menolaknya. Baru-baru ini ia memberikan pengampunan secara menyeluruh.
Advertisement
"Saya memutuskan untuk memberikan pengampunan pada Jacqueline Sauvage, yang membatalkan sisa hukumannya. Grasi ini segera mengakhiri masa penahanannya," kata Presiden Prancis Francois Hollande dalam akun Twitternya, seperti dikutip dari BBC, Kamis (29/12/2016).
Dalam pernyataan yang dikeluarkan kemudian dari istana kepresidenan atau Elysee Palace, Hollande mengatakan, tempat yang pantas bagi Jacqueline Sauvage adalah bersama keluarganya, bukan di balik jeruji besi penjara.
Setelah grasi diterima, Sauvage segera keluar dari tempatnya ditahan, di Penjara Reau di tenggara Paris.
Mobil yang membawanya, bersama tiga putrinya terlihat meninggalkan kompleks penjara.
Para aktivis hak asasi manusia ikut bersorak mendengar kebebasan Sauvage. Namun, Virginie Duval, kepala serikat hakim melayangkan keberatan. Menurut dia, presiden memberikan grasi demi memuaskan publik belaka.
Menurut Duval, presiden telah bertindak "untuk menyenangkan opini publik", menunjukkan bahwa pengadilan telah mengikuti hukum ketika menolak banding terpidana.
Pada bulan Agustus 2016, pengadilan setempat menolak permohonan pembebasan bersyarat. Putusan tersebut dikuatkan di tingkat banding.
Membunuh dengan Alasan
Tiga putri Jacqueline Sauvage selama ini berjuang demi kebebasan sang itu. Alasaannya, pembunuhan yang dilakukan perempuan itu punya alasan kuat.
Menurut mereka, sang ibu diperlakukan dengan brutal selama perkawinan -- yang berlangsung selama 47 tahun -- oleh suaminya, Norbert Marot. Sauvage bahkan empat kali dirawat di rumah sakit karena menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Tak hanya itu, anak lelakinya juga jadi korban KDRT, sementara dua dari tiga anak perempuannya mengalami pelecehan seksual.
Puncaknya terjadi pada 9 September 2012, sang putra yang tak lagi tahan memutuskan gantung diri. Sehari kemudian Sauvage menembak suaminya dari belakang. Tiga peluru bersarang di tubuh korban.
Pengadilan menolak upaya banding Jacqueline Sauvage dengan alasan terdakwa tak menunjukkan penyesalan. Selain itu, menurut hakim, perempuan itu tak boleh hidup di lingkungan -- yang disebabkan peliputan media, "berisiko menempatkan posisinya sebagai korban."
Namun, kasus Sauvage menarik dukungan 434 ribu orang yang menandatangani petisi di dunia maya, termasuk puluhan anggota parlemen dari kubu kanan maupun kiri.
Kasus itu juga menarik perhatian Presiden Prancis yang kemudian bertemu dengan tiga putri Sauvage dan memberikannya pengampuna sebagian -- yang meski ada dalam konstitusi namun jarang digunakan.
Pada awalnya, grasi sebagian yang diberikan pada Januari dilakukan untuk mengurangi hukumannya hingga ke level minimum -- yang memungkinkan peradilan untuk memutuskan kapan terpidana harus dibebaskan.
Namun, karena pengadilan menolak, grasi penuh diberikan presiden Prancis pada Jacqueline Sauvage.