Liputan6.com, Kaitaia - Kaitaia di Selandia Baru dikenal dengan keindahan alamnya. Sepanjang tahun kota yang menjadi pusat budaya suku Maori itu 'dibingkai' dengan langit biru.
Meski demikian, Kaitaia juga memiliki kisah lain yang menarik sekaligus menyeramkan. Kawasan berpenduduk sekitar 5.000 jiwa ini dijuluki sebagai "kota mematikan."
Dalam satu tahun setidaknya terdapat empat kasus pembunuhan dan enam kasus bunuh diri.
Advertisement
"Hal tersebut membuat kota ini menjadi angker. Orang-orang mulai mengatakan, kami harus keluar dari Kaitaia, kami harus keluar dari lubang sialan ini," kata Nina Griffiths (18) yang kehilangan dua temannya dalam kasus bunuh diri seperti dilansir The Guardian, Senin, (2/1/2016).
"Ada rasa putus asa jika Anda tinggal di sini, kami tidak merasa hidup kami cukup berharga untuk berusaha menyelamatkan mereka dan memastikan itu tidak pernah terjadi lagi," tambah Nina.
Kaitaia yang terkenal pula sebagai gerbang menuju ujung utara Selandia Baru dihuni oleh 60 persen suku Maori. Lebih dari setengah warga kota itu memiliki penghasilan kurang dari 20.000 dolar Selandia Baru.
Angka pengangguran Kaitaia diketahui dua kali lipat dari rata-rata angka pengangguran nasional. Meski "cantik", namun kota miskin hingga muncul stigma, Kaitaia merupakan tempat ideal untuk mati.
"Kami adalah masyarakat yang merasa ditakdirkan untuk mati," kata Ricky Houghton, seorang pejabat senior setempat yang masih berduka atas tragedi bunuh diri keponakannya dan empat pemuda berusia 25 tahun.
"Jika kematian ini terjadi di tempat lain di Selandia Baru, maka itu akan tampil di halaman depan, sebuah krisis. Tapi karena ini Kaitaia, kami dilupakan. Tidak ada yang peduli dengan apa yang menimpa kami. Mereka berpikir tidak ada masa depan bagi warga di sini," pungkasnya.
Houghton secara terbuka mengakui bahwa Kaitaia memiliki berbagai persoalan yang mengakar sejak lama, termasuk kurangnya lapangan pekerjaan, terisolasi, geng kriminal, dan narkoba. Namun kasus kematian yang tinggi pada tahun 2016 semakin meyakinkan warga di kota itu bahwa mereka "terlupakan."
Belum lama ini, Kepala Pemadam Kebakaran Kaitaia, Colin Kitchen mempertimbangkan untuk mengundurkan diri setelah dua kasus bunuh diri dan penikaman dalam waktu 24 jam.
"Kota kami terguncang, kami masih tak percaya. Ketika terjadi sekali atau dua kali, mungkin kita masih bersedih, tapi ketika terus menerus kita jadi berpikir, 'apa yang sedang terjadi?'," tanya Kitchen.
"Aku merasa pada satu titik, bahwa aku harus pergi dari sini, bahwa aku merasa cukup. Tapi kalau itu terjadi, siapa yang akan memperhatikan komunitas kami, apa pesan yang akan tersampaikan, jika para pemimpinnya pergi ? Tahun 2016 berjalan dengan buruk dan itu adalah sebuah 'panggilan' hingga akhirnya aku melihat sekitar. Kota ini semakin kuat dan tersusun kembali," ujar pria yang telah menjabat selama empat dekade itu.
Nina merasa mengaku ia trauma dengan kasus bunuh diri yang dialami teman-temannya. Namun di lain sisi, ia juga frustasi dengan respons awal masyarakat yang melihat kematian sebatas pada kehilangan tanpa berusaha menggali penyebab yang memicu orang bunuh diri atau melakukan pembunuhan.
Menurut remaja itu, anak-anak muda di Kaitaia memiliki dua pilihan, 'meledak' atau berubah dengan cepat.
"Kota ini sangat kecil sehingga semua orang terpengaruh dengan kematian," ungkap Nina yang telah menerima bantuan 10.000 dolar Selandia Baru untuk mendirikan sebuah komunitas bagi pemuda setempat.
Pada Juli lalu, Griffiths telah menghubungi seorang komedian dan advokat kesehatan mental, Mike King. Ia memohon King untuk datang ke daerahnya dan memfasilitasi orang-orang untuk berbicara mengenai tragedi bunuh diri di Kaitaia.
Pakar bunuh diri mencoba menghalangi langkah Nina dengan alasan membahas kematian dalam forum umum dapat menginspirasi atau membangkitkan emosi orang lain. Namun Nina mengabaikan seruan tersebut, pertemuan tetap berjalan di mana ratusan pemuda mencoba mencari bimbingan dari King tentang bagaimana melewati masa-masa rentan dalam hidup mereka.
"Saya tahu pasti Nina dikritik dengan keras, namun tindakannya tepat. Ada banyak generasi muda yang merasa yang merasa mereka tidak dipedulikan dan tidak dicintai. Mereka putus asa. Hingga akhirnya datang terang, dan statistik menunjukkan data yang lebih baik," kata King.
Langkah Nina belakangan mulai membuahkan hasil. Optimisme di kota itu mulai bangkit. Di media sosial Facebook terdapat satu laman bernama, "I love Kaitaia" yang beranggotakan ratusan orang.
Warga di sana mulai bangga mengenakan berbagai atribut yang menandai kota itu.
"Mendapat julukan sebagai kota mematikan membuat kami marah dan ingin melawan, karena kami mencintai tanah ini. Kami tidak ingin dilekatkan dengan kematian," tutup Nina.