Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat (AS) baru saja memasuki bab baru seiring dengan dilantiknya Donald Trump menjadi presiden ke-45.
Dalam agenda hubungan internasional, lawatan perdana Trump dan para menterinya menjadi penting untuk disimak karena mencerminkan isu apa yang menjadi prioritas pemerintahannya.
Sejauh ini, Gedung Putih memang belum mengumumkan negara mana yang pertama kali akan dikunjungi Presiden Trump. Namun Pentagon sudah melakukannya.
Advertisement
Kementerian Pertahanan AS itu menyampaikan bahwa Korea Selatan (Korsel) dan Jepang akan menjadi agenda lawatan pertama James Mattis, Menteri Pertahanan AS. Sebagian berpendapat, hal tersebut menunjukkan, kawasan Asia Pasifik vital bagi kepentingan keamanan Negeri Paman Sam.
"Perjalanan tersebut akan menggarisbawahi komitmen AS terhadap aliansi abadi kami, Korsel dan Jepang. Serta lebih memperkuat kerja sama keamanan AS-Jepang-Korsel," terang Juru bicara Pentagon, Jeff Davis.
Kunjungan Mattis dimaksudkan untuk menyakinkan dua sekutu AS itu bahwa Washington mempertahankan komitmen keamanannya terutama saat Korea Utara (Korut) semakin provokatif dengan pengembangan program nuklinya.
Baca Juga
Trump sendiri telah menandatangani perintah eksekutif yang memutuskan akhir nasib AS di pakta kerja sama perdagangan kawasan Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP). Sontak, keputusan tersebut memicu perpecahan di kalangan 11 anggota TPP di mana salah satunya adalah Jepang.
Di kawasan lain, ketegangan di Laut China Selatan dikabarkan meningkat. Presiden Trump sudah menegaskan, AS tidak akan mundur sedikit pun atas klaim Tiongkok di area tersebut.
"Kami akan memastikan untuk melindungi kepentingan AS di sana," tegas Kepala Staf Gedung Putih, Reince Priebus.
Seperti dilansir ABC News, Kamis, (26/1/2017) terdapat sejumlah isu yang menjadi kepentingan utama AS di kawasan Asia hingga memicu kunjungan Menhan Mattis ke Korsel dan Jepang. Berikut 3 di antaranya:
1. Provokasi Korut
Menhan Mattis dikabarkan akan menginjakkan kaki di Korsel sebelum akhirnya bertolak ke Jepang. Di negeri yang terkenal dengan budaya K-Pop ini, AS menempatkan 28.500 personelnya untuk mencegah agresi Korut.
Dalam pidato Tahun Barunya, pemimpin Korut Kim Jong-un mengumumkan bahwa pihaknya akan segera memulai persiapan uji coba rudal balistik antar-benua (ICBM) yang digadang-gadang mampu menjangkau daratan AS.
Sejumlah pejabat AS sendiri meyakinkan bahwa dalam waktu dekat tidak ada uji coba yang akan dilakukan Korut. Namun pernyataan Kim Jong-un itu tetap saja memicu kekhawatiran mengingat pada tahun 2016, Korut menjalani dua uji coba nuklir dan satu rudal jarak jauh.
Beberapa uji coba mengalami berujung gagal, meski demikian kecepatan negara itu dalam mempersiapkan uji coba telah meningkatkan kecemasan: Korut berambisi untuk membuat kemajuan lebih cepat dari yang diprediksikan.
Tujuan Korut adalah mengembangkan sebuah senjata nuklir yang cukup kecil untuk ditempatkan di atas sebuah rudal jarak jauh. Akhir tahun lalu, seorang pejabat militer senior AS mengatakan, Korut masih belum menguasai teknologi re-entry yang mampu membuat ICBM menjadi ancaman besar.
Demi menghadapi ancaman Korut, AS dan Korsel akan menempatkan sistem pencegah rudal atau yang populer dengan sebutan Terminal High Altitude Air Defense (THAAD). Kelak, sistem ini akan melindungi Seoul dan wilayah lain di Korsel dari serangan rudal.
Washington menyatakan bahwa THAAD bersifat defensif. Namun keberadaan THAAD ditentang Tiongkok yang mencurigai maksud lain di baliknya.
Advertisement
2. Laut China Selatan
Selama beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah membangun pulau-pulau buatan di wilayah sengketa Laut China Selatan. Demi mendukung klaim jangka panjang mereka, pulau-pulau tersebut dilengkapi dengan pelabuhan, landasan pacu, dan fasilitas radar.
Meski demikian China menegaskan tidak bermaksud untuk memiliterisasi pulau-pulau tersebut. Sementara itu, gambar satelit komersial yang dirilis akhir tahun 2016 lalu menunjukkan Beijing telah menempatkan senjata anti-pesawat dan sistem persenjataan lainnya di pulau-pulau itu.
AS pada era Barack Obama tidak berpihak dalam sengketa teritorial Laut China Selatan. Namun demi memastikan jalur lalu lintas pelayaran dan udara internasional aman, kapal AL AS transit dalam batas 12 mil dari pulau-pulau yang disengketakan. Mereka menyebutnya "operasi kebebasan bernavigasi."
Masih dalam pekan ini, Juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer melontarkan pernyataan yang memicu reaksi negatif Tiongkok. Spicer mengatakan bahwa pulau-pulau di Laut China Selatan yang disengketakan berada di perairan internasional dan bukan bagian dari China.
"Maka tentu saja, kita akan memastikan upaya untuk mempertahankan wilayah internasional dari pengambil alihan negara lain," ujar Spicer.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan, AS bukan merupakan bagian dari isu Laut China Selatan.
"Posisi kami jelas. Tindakan kami legal," tegasnya.
3. TPP
Awal pekan ini Presiden Trump menepati janji kampanyenya untuk menarik AS keluar dari TPP. Semasa kampanye, Trump mengatakan, TPP tidak membawa manfaat bagi para pekerja di Negeri Paman Sam.
Kepastian AS akan bergabung dengan TPP sendiri masih diragukan mengingat hal tersebut ditentang mayoritas anggota Senat. Kabar penarikan diri AS dari TPP ini menarik perhatian mitra mereka yang sudah terlampau berharap, TPP akan menjadi pakta perdagangan yang mengimbangi pengaruh ekonomi dan geopolitik China.
Tanpa partisipasi AS di TPP, China disebut-sebut bebas menjalankan pakta perdagangannya sendiri atau mendorong perjanjian kawasan yang tidak melibatkan AS.
AS pada era Obama menekankan poros ke Asia sebagai fitur kunci dari isu keamanan Amerika di masa depan. Dan pemerintahan Trump diharapkan akan melanjutkan fokus pada hal ini.
Advertisement