Liputan6.com, Jakarta - Media gencar memberitakan demonstrasi Moskow yang terjadi pada Minggu 26 Maret 2017 lalu. Peristiwa tersebut merupakan protes terhadap dugaan korupsi di internal pemerintah federal Rusia.
Demonstrasi itu merupakan akumulasi kekecewaan warga Rusia atas nihilnya respon pemerintah terhadap film pendek berjudul He Is Not Dimon To You.
Filem dokumenter-investigasi berdurasi 49 menit itu dibuat untuk mengungkap skandal korupsi Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev. Ia dituduh menggelapkan uang untuk kepentingan pribadi sebesar US$ 1,2 miliar.
Advertisement
Lantas, siapa dalang di balik pembuatan filem itu? Ia adalah Alexei Navalny, pengacara, politisi, sekaligus aktivis.
Sosoknya adalah penggagas demonstrasi tersebut yang menuntut penangkapan PM Medvedev dan Presiden Vladimir Putin.
Rekam Jejak Navalny
Pria 40 tahun itu lahir di Obninsk, 100 km barat daya Moskow, saat Rusia masih bagian dari Uni Soviet.
Ia aktif di dunia politik dan aktivis sejak tahun 2000-an.
Beberapa aktivitasnya antara lain, investigasi terhadap dugaan korupsi perusahaan tambang dan migas besar Eropa, seperti Gazaprom, Rosneft, Lukoil, dan Surgutneftegaz pada tahun 2008.
Navalny pernah melakukan investigasi mandiri mengenai korupsi kilang minyak Rusia di Siberia Timur dan Pasifik pada tahun 2010.
Sejak tahun yang sama pula, Navalny mulai memfokuskan investigasinya pada skandal korupsi di internal pemerintah federal Rusia.
Tahun 2010 hingga 2012, Navalny melakukan investigasi mandiri mengenai dugaan hubungan korupsi atara perusahaan tambang dan migas Rusia dengan pemerintah federal.
Hasil investigasinya itu menyeret beberapa nama pengusaha dan pejabat penting Rusia, seperti Igor Shuvalov, Deputi Perdana Menteri kabinet Dmitry Medvedev, dan sejumlah konglomerat Rusia seperti, Alisher Usmanov, Viktor Vekselberg, dan pemilik klub sepakbola Chelsea, Roman Abramovich.
Navalny juga terlibat dalam protes pemilu Rusia sepanjang tahun 2011 hingga 2013.
Pada rentang waktu itu, ia muncul sebagai salah satu figur aktivis yang paling vokal menentang pemerintah Rusia, khususnya Presiden Putin dan PM Medvedev.
Selama dua tahun itu, ia berkali-kali ditangkap dan keluar-masuk penjara.
Tahun 2011, BBC menyematkan Navalny dengan status; "major opposition figure to emerge in Russia in the past five years".
Tahun 2012 hingga 2014, ia berperan sebagai pencetus dan pendiri Progress Party di Rusia.
Partai itu memiliki ideologi liberal-nasionalis-progresif dan mempromosikan platform 'desentralisasi kekuasaan' bagi pemerintah Rusia.
Navalny dituding sebagai nasionalis dengan tendensi xenophobia.
Ia dituding memotori aksi nasionalis long-march Rusia 2006 yang menuai kontroversi karena sarat akan unsur xenophobia.
Meski membantah, pejabat Partai Yabloko mengatakan bahwa Navalny mengadvokasikan izin long-march itu kepada pemerintah.
Tahun 2012 ia sempat dijatuhi pidana 5 tahun penjara oleh pengadilan pidana Leninsky, Rusia, atas kasus penggelapan uang dari sebuah perusahaan kayu.
Vonisnya sempat dibatalkan oleh Pengadilan HAM Eropa. Namun, pengadilan pidana Leninsky, Rusia, kembali mengajukan tuntutan baru kepada Navalny pada tahun 2017.
Meski sepak terjangnya tergolong panjang, namun bagi sejumlah pejabat Rusia, Navalny merupakan figur tak penting.
"Ia tak akan memberikan pengaruh besar yang mampu mengguncang stabilitas Rusia", ujar Mikhail Galuzin, Dubes Rusia untuk Indonesia, kepada awak media saat konferensi pers di Jakarta, Rabu, (29/3/2017).
Banyak publik dunia mendukung upaya Navalny untuk membongkar korupsi di internal pemerintah federal Rusia.
Tindakannya dalam mempengaruhi ribuan--bahkan dilaporkan hingga puluhan ribu--orang warga Rusia untuk terlibat aksi, patut mendapatkan apresiasi.
"There are things in life that are worth being detained for", kata Navalny dalam akun Twitternya, @Navalny.