Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menyerang posisi ISIS di Afghanistan mengejutkan banyak pihak. Sebab, Daesh -- nama lain kelompok teror itu -- tak menghadirkan ancaman yang signifikan seperti halnya di Suriah atau Irak.
Apalagi, untuk itu, AS mengerahkan bom non-nuklir terbesarnya: GBU-43/B yang dikenal dengan julukan 'mother of all bombs'.
Advertisement
Sebelumnya, Donald Trump yang mengusung jargon kampanye 'America First' melancarkan serangan ke Suriah menggunakan rudal Tomahawk.
AS berdalih langkah tersebut merupakan respons atas serangan kimia yang mereka tuding dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad. Setidaknya 87 orang dilaporkan tewas dalam peristiwa tragis tersebut, termasuk di antaranya lebih dari 30 anak-anak.
Pertanyaan pun kemudian mengerucut, apakah Korea Utara akan jadi sasaran selanjutnya?
Baca Juga
Dalam cuitan di akun Twitternya, Donald Trump mengatakan, jika China enggan, AS sendiri yang akan menyelesaikan masalah Korea Utara.
"Korea Utara sedang mencari masalah. Jika China memutuskan untuk membantu, itu akan luar biasa. Jika tidak, kita akan menyelesaikan masalah ini tanpa mereka! U.S.A," tulis Trump di akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump pada 11 April 2017.
Sikap Trump, yang telah mengirimkan armada tempur ke Semenanjung Korea, ditanggapi keras pihak Pyongyang.
"Kami siap untuk menanggapi perang habis-habisan dengan perang habis-habisan," kata pejabat militer Korea Utara Choe Ryong-Hae, seperti dikutip dari BBC.
Namun, seperti dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (15/4/2017), meski pemerintahan Trump mengindikasikan opsi militer terhadap rezim Kim Jong-un, ada sejumlah alasan mengapa AS tak bisa menyerang Korut -- seperti halnya terhadap Suriah:
1. Korut Beda dengan Suriah
Korut dan Korsel secara teknis masih berperang karena Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai yang semestinya.
Pertempuran dua Korea dihentikan pada 27 Juli 1953, dengan gencatan senjata yang juga melibatkan pihak Washington DC dan Beijing.
Dua orang membubuhkan tanda tangan di perjanjian itu, yakni Letnan Jenderal William Harrison, Jr dari US Army mewakili United Nations Command (UNC) dan Jenderal Korut Nam Il mewakili tentara Pyongyang dan pasukan relawan China.
Jika Amerika Serikat memulai serangan, maka itu akan membatalkan perjanjian yang disahkan oleh PBB.
Advertisement
2. Korut Punya Senjata Nuklir
Saat Suriah masih bercita-cita memiliki senjata nuklir, kemampuan Korea Utara telah matang dalam beberapa tahun terakhir.
Pyongyang telah melakukan lima uji coba nuklir dan mengklaim telah berhasil membuat miniatur hulu ledak nuklir -- meski klaim tersebut belum terverifikasi secara independen.
Sebelumnya, Korut mencatat sejumlah kegagalan memalukan saat peluncuran rudal balistik jarak menengah, Musudan tahun lalu.
Meski demikian, sejumlah ahli militer percaya, Korut telah belajar banyak dari kegagalan-kegagalan itu dan bahkan mungkin bisa mengembangkan, rudal balistik antarbenua dengan hulu ledak nuklir, yang bisa mencapai Amerika Serikat dalam empat tahun mendatang -- selama Trump masih jadi presiden.
Korut juga memamerkan sejumlah persenjataan terbaru saat parade 15 April 2017.
Ada yang diduga sebagai rudal balistik kapal selam atau submarine-launched ballistic missiles (SLBMs) -- yang bisa dikembangkan membawa hulu ledak nuklir yang mampu mencapai target di seluruh dunia.
Pyongyang juga pamer selongsong rudal yang diduga rudal balistik antarbenua atau intercontinental ballistic missile (ICBM).
3. China Diduga Akan Membela Korut
China adalah sekutu Pyongyang. Pada 1961 dua negara menandatangani kerja sama persahabatan Sino-North Korean Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty.
Termuat dalam kerja sama itu, kedua belah pihak wajib menawarkan banyuan militer atau lainnya jika salah satu dari mereka menghadapi serangan pihak luar.
Perjanjian tersebut diperpanjang dua kali dan berlaku hingga 2021.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan, jika perang sampai bergelora, tak ada pihak manapun yang keluar jadi pemenang.
"Kami menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dari memprovokasi dan mengancam satu sama lain, baik dalam kata-kata atau tindakan," kata Wang Yi. "Jangan biarkan situasi mencapai level tak bisa diubah dan dikendalikan."
Advertisement
4. Kekhawatiran Terbesar China
Jika perang terbuka antara Korut dan Amerika Serikat sampai pecah, China menjadi salah satu pihak yang paling khawatir.
Sebab, kalau rezim Kim -- yang kini diwakili Kim Jong-un -- sampai runtuh, mereka khawatir perbatasan akan dipenuhi pengungsi dari Korut.
Dari sudut pandang geopolitik, Beijing melihat Korut sebagai buffer zone atau zona penyangga dari potensi perambahan kekuasaan sekutu-sekutu AS -- termasuk Jepang dan Korea Selatan.
China bahkan telah engerahkan 150.000 pasukannya ke perbatasan Korea Utara sebagai persiapan menghadapi kemungkinan serangan Amerika Serikat -- pasca Washington DC menyerang Suriah.
Pasukan China tersebut, dikerahkan untuk menangani adanya pengungsi Korea Utara dan sejumlah keadaan tak terduga.
5. Risiko Besar di Pihak Donald Trump
Selain China, masih ada sejumlah negara lain yang menentang -- atau setidaknya mengkhawatirkan dampak -- serangan ke kubu Pyongyang.
Baik Korea Selatan maupun Jepang lebih condong ke opsi non-militer.
Ibukota Korsel, Seoul hanya berjarak 40 kilometer dari perbatasan dua negara dan sangat rentan terhadap serangan Korut.
Sam Gardiner, pensiunan Angkatan Udara AS, dalam wawancara dengan majalah The Atlantic mengatakan, serangan Donald Trump kian membuat Seoul rentan.
"AS tak akan bisa melindungi Seoul dalam 24 jam pertama, atau bahkan dalam 48 jam," kata dia.
Meski mantan Presiden Bill Clinton pernah berniat mengebom reaktor Yongbyon pada tahun 1994, ia diyakinkan oleh pejabat pertahanan bahwa risikonya akan besar.
"Intensitas pertempuran dengan Korea Utara akan lebih besar dari apa yang disaksikan dunia sejak Perang Korea."
Advertisement