Usia Istri Jauh Lebih Tua, Ini 3 Fakta Unik Presiden Baru Prancis

Pada usia 39 tahun, Emmanuel Macron sudah jadi orang nomor satu di negerinya. Mendekati rekor Napoleon Bonaparte.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Mei 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2017, 19:00 WIB
Emmanuel Macron (AP)
Emmanuel Macron (AP)

Liputan6.com, Paris - Prancis akan punya presiden baru. Ia muda, ia 'hijau di dunia politik', dan ia unik. Namanya Emmanuel Macron.

Di usia yang belum genap kepala empat, pria 39 tahun itu akan segera menduduki kursi kepresidenan Prancis.

Ia berhasil mengalahkan Marine Le Pen pada putaran kedua Pilpres 2017 dengan selisih prosentase yang cukup besar, yakni sebesar 31 persen, menurut penghitungan lembaga independen.

Kemenangan Macron dianggap mampu memberikan aura segar bagi kancah perpolitikan domestik maupun Eropa. Macron yang berhaluan non-populis, internasionalis, pro-imigran, serta liberal non-partisan dianggap mampu memberikan warna baru bagi Benua Biru yang kerap dirundung isu populisme, proteksionisme, dan anti-Uni Eropa pada beberapa waktu terakhir.

"Pembaruan kehidupan masyarakat akan dimulai esok," ujar sang pemenang Pilpres Prancis 2017, seperti yang dikutip Time, Minggu (7/7/2017).

Kejayaan sang pemimpin gerakan En Marche! pada pesta demokrasi Prancis 2017 itu ternyata menyimpan sejumlah fakta keunikan tersendiri.

Statusnya sebagai pemimpin Prancis --yang akan resmi pada beberapa bulan mendatang-- di usianya yang masih 39 tahun, ternyata mendekati rekor yang telah dipertahankan selama 169 tahun oleh Napoleon Bonaparte. Kaisar Prancis itu menduduki takhta pada usia 40 tahun.

Berikut tiga fakta unik seputar Emmanuel Macron, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber.

 

1. Karier 'Melenceng'

Anak sulung dari pasangan Jean-Michel Macron dan Francoise Macron-Nogues itu ternyata lahir dari sebuah keluarga yang meniti karier di bidang sains dan kesehatan.

Sang ayah, Jean-Michel, merupakan ahli saraf di University Hospital of Amiens. Sementara sang ibu, Francoise, merupakan seorang ahli pediatrik (ahli kesehatan anak). Dua saudara kandungnya pun juga seorang ahli medis di bidang jantung dan ginjal.

Sedangkan Macron meniti studi di ranah yang berbeda-beda. Ia memiliki riwayat studi di bidang sains, filsafat, ilmu politik, ilmu administrasi, dan perbankan.

Sejak menamatkan studi terakhirnya di Ecole Nationale D'administration (ENA), Macron meniti karier sebagai bankir investasi di Rotschild & Cie.

Riwayat karier di Rotschild digunakan sang sulung sebagai batu loncatan untuk masuk di dunia politik dan membuatnya berhasil hinggap di Istana Elysee sebagai deputi sekretaris jenderal.

Karier cemerlangnya di Elysee membuat presiden petahana Francois Hollande mengangkat putra sulung Jean-Michel itu sebagai Menteri Ekonomi pada 2012.

 

2. Muda dan Beda

Macron merupakan presiden pertama Prancis pasca-revolusi yang tidak condong pada dua poros utama spektrum kekuatan politik Negeri Mode itu.

Sejak Revolusi Prancis 1789-1799, Istana Elysee selalu dipimpin oleh pemimpin dari kubu nasionalis-kanan atau kubu sosialis-kiri. Situasi itu dinamakan sebagai clivage gauche-droite (left-right politics).

Masing-masing poros politik beserta presidennya memanifestasikan dua poros yang berlawanan pada kancah perpolitikan domestik dan internasional. Dua poros itu antara lain sosialis atau nasionalis, keteraturan atau reformasi.

Pada Pilpres Prancis 2017, keberpihakan terhadap dua poros itu mengalami dekonstruksi. Hal ini terbukti dengan kekalahan seluruh kandidat presiden yang berasal dari dua poros haluan politik tradisional itu dan kemunculan Emmanuel Macron sebagai pemenang.

Sang pemenang, merupakan politikus muda berhaluan sentris, berideologi sosial-liberal, dan non-partisan (tanpa afiliasi dengan partai politik). Latar belakang kariernya pun tidak menunjukkan afiliasi politik kanan atau kiri, meski ia menjabat sebagai Menteri Ekonomi di masa pemerintahan Francois Hollande yang berhaluan sosialis-kiri.

Menurut Business Insider (22/3/2017), Macron cenderung berhaluan bisnis, pro-Uni Eropa, dan berusaha untuk berdiri di tengah tanpa menunjukkan preferensi politik yang bersifat nasionalis atau sosialis.

Pendirian En Marche!--sebuah organisasi politik non-partisan sosial-liberal yang didominasi politisi muda Prancis dan anggota gerakan sipil-politik--oleh Macron menambah warna baru serta berbeda bagi wajah politik Prancis.

 

3. Kisah Asmara Tak Biasa

Macron bertemu calon istrinya--saat itu adalah gurunya--kala ia berusia 15 tahun dan jatuh cinta. Ia berjanji akan menikahi perempuan itu pada suatu hari.

"Di usia ke 17, Emmanuel berkata padaku, 'apa pun yang kamu lakukan, aku akan menikahimu," kata Brigitte Trogneux kepada majalah Prancis tahun lalu seperti dikutip Daily Mail.

Hubungan mereka bermula ketika Macron turut dalam teater binaan Brigitte ketika pria itu berusia 18 tahun sekolah di sebuah pendidikan swasta Jesuit di Amiens, Prancis Utara.

Saat itu, Brigitte telah menikah dan memiliki anak tiga. Ia kaget bahwa pemuda itu menjadi anggota kelab sandiwara yang ia kelola.

Macron lalu pindah ke Paris di akhir tahun sekolahnya.

"Kami saling telepon tiap waktu. Kami menghabiskan waktu di telepon berjam-jam," kenang perempuan yang kini berusia 64 tahun itu.

"Dan pelan-pelan, ia benar-benar meruntuhkan pertahananku, dengan cara yang luar biasa, dengan penuh kesabaran," lanjutnya.

"Ia tak sekedar remaja. Ia memiliki hubungan yang luar biasa dengan orang dewasa di sekelilingnya," ujar Brigitte.

Setelah 'pertahanannya' runtuh, ia bersatu dengan Macron ke Paris dan menceraikan suaminya. Semenjak saat itu, keduanya tak terpisahkan satu sama lain.

Setelah suaminya menjabat jadi presiden, Brigitte Trogneux juga segera punya jabatan baru: Ibu Negara Prancis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya