Mahasiswa RI di Australia Menang Lomba Esai Kesehatan Mental

Dua mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Queensland di Brisbane berhasil memenangkan kompetisi esai.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 15 Jun 2017, 06:54 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2017, 06:54 WIB
Andrian Liem dan Bernike Jacinta Effendi yang memenangankan lomba esai di Universitas Queensland, Brisbane, Australia. (Istimewa)
Andrian Liem dan Bernike Jacinta Effendi yang memenangankan lomba esai di Universitas Queensland, Brisbane, Australia. (Istimewa)

Liputan6.com, Brisbane - Dua mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Queensland di Brisbane, Australia berhasil memenangkan kompetisi esai bertema "Sustainable Development".

Lomba diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) tahun 2017.

Andrian Liem dan Bernike Jacinta Effendi mengangkat topik mengenai kesehatan mental sebagai aspek yang terlupakan dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang holistik di Indonesia.

Panitia memilih tema tersebut sebagai cerminan The Sustainable Development Goals yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.

Kesehatan mental adalah topik yang sangat akrab bagi kedua mahasiswa Indonesia yang karib disapa Andrian dan Keke tersebut, karena keduanya memiliki latar belakang pendidikan psikologi.

Andrian sedang menempuh pendidikan doktor di bidang psikologi klinis-kesehatan dan Keke baru saja memulai studi masternya di bidang konseling.

Dalam penjelasan mereka kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia Sastra Wijaya yang Liputan6.com kutip Kamis (15/6/2017), esai yang mereka tulis menggambarkan kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia dan layanan kesehatan mental yang disediakan Tanah Air.

Setelah itu, Andrian dan Keke memaparkan program kesehatan mental yang ada di Australia dan panduan dari WHO. Esai ditutup dengan alternatif solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan layanan kesehatan yang holistik di Indonesia.

Secara umum kasus gangguan jiwa, khususnya kecemasan dan depresi, terus meningkat, baik secara global maupun secara khusus di Indonesia.

Dari data yang mereka kumpulkan, jumlah orang dengan gangguan jiwa di Indonesia mencapai sekitar 6%, dan lebih banyak ditemui pada kelompok usia produktif. Akan tetapi, karena stigma dan diskriminasi yang masih kuat yang menimpa orang dengan gangguan jiwa dan keluarga mereka, banyak kasus yang tidak dilaporkan sehingga menjadi seperti fenomena gunung es.

Diprediksikan jumlah orang dengan gangguan jiwa di Indonesia secara riil dapat mencapai 15 persen. Ironisnya, rasio tenaga kesehatan mental di Indonesia sangat kecil, yaitu 3 psikiater dan 2 psikolog di antara 1 juta jiwa.

"Oleh karena itu praktik pasung masih cukup sering dijumpai di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan atau lokasi yang jauh dari pusat layanan kesehatan." tulis Andrian dan Keke dalam esai mereka.

Layanan di rumah sakit jiwa juga masih di bawah standar yang ditetapkan WHO. Misalnya pasien dikunci di dalam kamar, jumlah pasien yang melebihi kapasitas kamar, dan kebersihan kamar yang sangat rendah.

Walau Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa telah disahkan pada tahun 2014, implementasinya dalam peningkatan layanan kesehatan mental belum terasa secara nyata.

Berdasarkan kajian yang mereka lakukan, Andrian dan Keke merekomendasikan empat prinsip untuk mewujudkan intervensi kesehatan mental yang sukses.

Pertama adalah menghormati martabat orang dengan gangguan jiwa. Kedua adalah menghargai kearifan lokal dan melibatkan anggota komunitas sebagai bentuk dukungan sosial.

Prinsip ketiga adalah kesetaraan, yaitu layanan kesehatan mental harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan tanpa diskriminasi apapun.

Terakhir, layanan kesehatan mental harus diberikan oleh tim kesehatan yang merupakan kolaborasi dari multidisiplin profesi.

Prinsip-prinsip tersebut kemudian dipecah ke dalam empat kegiatan.

Langkah pertama adalah promosi kesehatan mental melalui menghilangkan stigma terhadap gangguan jiwa, mewujudkan lingkungan yang ramah psikologis, dan melatih keterampilan personal.

Hal selanjutnya adalah melakukan pencegahan gangguan jiwa dengan mendorong perilaku mencari pertolongan melalui program "pertolongan pertama untuk kesehatan mental".

Program Pencegahan Gangguan Jiwa

Program pencegahan gangguan jiwa ini kali pertama dikembangkan di Australia pada tahun 2000, dan kini telah diadopsi secara global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa promosi kesehatan mental dan pencegahan gangguan jiwa dapat menekan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa.

Langkah ketiga dan keempat berkaitan dengan perawatan dan rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa.

Pada tahun 2013 baru tersedia 72 rumah sakit jiwa di seluruh propinsi di Indonesia dan semua berlokasi di kota besar.

"Oleh karena itu intervensi awal sangat diperlukan di daerah pelosok, sekaligus peningkatan kuantitas dan kualitas profesi kesehatan mental," tulis Andrian.

Puskesmas sebagai lini terdepan layanan kesehatan primer dapat menjadi salah satu alternatif dalam penyediaan layanan kesehatan mental di daerah terpencil, misalnya dengan menghadirkan psikolog klinis di sana.

Langkah ini telah dipelopori oleh Kabupaten Sleman di Propinsi DI Yogyakarta bekerja-sama dengan Fakultas Psikologi UGM.

Andrian, yang juga seorang psikolog dan penerima beasiswa LPDP RI menekankan, bahwa kearifan dan komunitas lokal perlu dilibatkan dalam program rehabilitasi.

"Di Bali ada institut kesehatan mental yang memadukan pendekatan pengobatan medis konvensional dan psiko-spirit-sosio-kultural dalam pelayanan yang diberikan." jelas Andrian.

Sementara Keke yang pernah menjadi guru bimbingan dan konseling di sebuah SMP di Bandung sangat berharap bahwa rekomendasi ini benar-benar ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia, demi meningkatkan kesehatan mental masyarakat Indonesia.

Berdasarkan pengalamannya sebagai guru, Keke melihat masih kurangnya kesadaran dan pemahaman orangtua, murid, dan staf guru akan fungsi dan manfaat konseling yang mengakibatkan meningkatnya stigma akan kesehatan mental di masyarakat.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Keke akan mempresentasikan esai mereka di Kongres PPIA 2017 yang akan dihadiri juga oleh Konsulat Jenderal RI di Sydney.

Selain itu, kumpulan esai terbaik dari kompetisi ini akan dikirimkan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya