Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan belum usai Jumat siang itu, 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan memang telah dibacakan, bendera merah putih pun dikibarkan dalam sebuah upacara yang khidmat, meski sederhana. Namun, jalan terjal yang harus dilalui republik baru bernama Indonesia, masih panjang.
Kala itu, pasukan Jepang belum enyah. Mereka yang sudah kalah ditugasi menjaga status quo di Indonesia.
Sementara, pasukan Sekutu yang hadir lewat Pelabuhan Tanjung Priok, dengan niat melucuti senjata para serdadu Jepang, ternyata tak datang sendirian.
Advertisement
Sekutu dibonceng NICA (Netherland Indies Civil Administration). Tujuan Belanda kembali datang sudah jelas: ingin kembali menjajah. Mereka berniat membatalkan proklamasi yang gaungnya terlanjur tersebar ke penjuru Bumi.
Baca Juga
Â
Rakyat yang tak ingin kembali terjajah, kembali melawan. Merdeka atau mati!Â
Bambu runcing dihunus, taktik gerilya dilakukan, bedil-bedil rampasan dari tangan Jepang dikerahkan ke medan perang.Â
Pertempuran pun pecah di mana-mana, di Surabaya, Semarang, Ambarawa, Medan Area, hingga Bandung Lautan Api.
Tak hanya lewat pertempuran, perjuangan juga dilakukan lewat jalur diplomasi. Indonesia yang masih seumur jagung harus mendapatkan pengakuan. Kedaulatan RI mutlak harus diakui bangsa lain. Tanah tumpah darah tak boleh lagi jatuh ke tangan penjajah.
"Kalau kita lihat sejarah, kemerdekaan ini kita rebut tidak saja menggunakan senjata tapi diplomasi kita sudah bergerak untuk memperoleh atau untuk memperjuangkan kemerdekaan itu sendiri," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, kepada Liputan6.com.
"Terutama dalam konteks diplomasi. Untuk mendapat pengakuan atas negara baru Republik Indonesia."Â
Saksikan video wawancara Liputan6.com dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berikut ini:
Timur Tengah menjadi yang pertama memberikan pengakuan. Dimulai dari Mesir pada 10 Juni 1947.
Eksistensi Indonesia juga diperjuangkan lewat jalur perundingan -- Linggarjati, Renville, Roem-Roijen, hingga Konferensi Meja Bundar.
Pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan ke Republik Indonesia.
"Kedua negara (Belanda dan Indonesia) tak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan," kata Ratu Belanda Juliana kala itu, sesaat setelah naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani.
Proklamator, Mohammad Hatta yang hadir dalam pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) menekankan pentingnya penyelesaian damai terkait konflik dua negara.
Hatta yang lancar bicara Belanda kala itu memilih Berbahasa Indonesia. "...Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita," kata dia.
Akhirnya, seluruh rakyat Indonesia bisa bernafas lega. Diplomasi panjang membuahkan hasil.
"Tanggal 27 Desember 1947 itu sungguh merupakan suatu saat yang amat penting. Berpuluh-puluh negara di dunia menunggu saat itu untuk mengakui Indonesia," seperti dikutip dalam buku Mohamad Roem: Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI.
"Dan, sejak itu, seperti berlomba-lomba negara-negara mengakui Indonesia dan membuka perwakilan diplomatiknya di Jakarta."
Lantas, apa pentingnya pengakuan dari negara lain?
Lihat Taiwan dan Kosovo, selain pengakuan, segala syarat untuk jadi negara yang diatur dalam Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Tugas Negara sudah terpenuhi.
Secara de facto keduanya memiliki rakyat, wilayah permanen, dan pemerintahan. Sayangnya, mereka tidak mendapat pengakuan dari seluruh negara di dunia.Â
Â
Â