Liputan6.com, Reykjavik - Tepat 42 tahun lalu, 24 Oktober 1975, sekitar 90 persen perempuan di Islandia turun ke jalan dan berunjuk rasa. Mereka menolak bekerja, memasak, dan mengasuh anak selama sehari dan menuntut kesetaraan hak dengan laki-laki.
Lewat unjuk rasa bersejarah itu, perempuan dilihat dengan sudut pandang berbeda di Islandia dan membuat negara tersebut menjadi negara terdepan yang berjuang meraih kesetaraan gender.
"Apa yang terjadi saat itu adalah langkah pertama bagi emansipasi perempuan di Islandia," ujar Mantan Presiden Islandia yang menjabat dari 1 Agustus 1980 hingga 1996, VigdÃs Finnbogadóttir.
Advertisement
"(Unjuk rasa) itu melumpuhkan negara dan membuka mata para laki-laki," imbuh dia.
Bank, perusahaan, dan sejumlah toko tutup pada hari itu. Sekolah dan tempat penitipan anak juga tutup dan memaksa para ayah untuk mengasuh anak mereka sambil bekerja.
Terdapat sejumlah laporan yang menyebut bahwa para ayah saat itu 'mempersenjatai' dirinya dengan permen dan pensil warna untuk menghibur anak-anak mereka di tempat kerja. Makanan yang mudah dimasak, seperti sosis, juga habis terjual.
"Kami mendengar anak-anak bermain di taman belakang sementara pembaca berita menyampaikan informasi di radio, merupakan hal yang menyenangkan untuk didengar. Kami juga akhirnya sadar bahwa laki-laki juga harus mengurus semuanya," ujar VigdÃs.
Saat itu, VigdÃs, ibunya, dan anak perempuannya yang berusia tiga tahun ikut turun ke jalan dan bergabung dengan 25.000 perempuan. Mereka bernyanyi, berpidato, dan membicarakan hal-hal untuk menciptakan kesetaraan.
Angka itu cukup besar, mengingat populasi Islandia saat itu berjumlah 220.000 orang.
"Ada kekuatan besar di dalamnya dan perasaan luar biasa atas solidaritas dan kekuatan di antara perempuan yang berdiri di tengah alun-alun yang diterpa sinar Matahari," kenang VigdÃs.
Gagasan unjuk rasa itu pertama kali diajukan oleh Red Stockings, kelompok gerakan perempuan radikal yang didirikan pada 1970. Namun beberapa perempuan Islandia merasa gerakan itu terlalu konfrontatif.
"Gerakan Red Stockings telah menimbulkan kegemparan atas serangan mereka terhadap pandangan tradisional perempuan -- terutama di kalangan generasi tua yang mencoba menguasai 'seni' menjadi ibu rumah tangga yang sempurna," ujar Dosen Senior Sejarah di University of Iceland, Ragnheidur Kristjansdottir.
Namun saat mogok kerja itu berganti nama menjad 'Women's Day Off', dukungan pun datang dari berbagai pihak, termasuk dukungan solid dari serikat pekerja.
"Segala halnya berubah normal pada hari berikutnya, namun orang-orang mengetahui bahwa perempuan juga merupakan pilar masyarakat, sama seperti laki-laki," ujar VigdÃs.
"Banyak perusahaan dan institusi tak berjalan saat itu dan hal tersebut menunjukkan kekuatan dan kebutuhan perempuan -- ini benar-benar mengubah cara berpikir," imbuh dia.
Selain Women's Day Off, sejarah mencatat tanggal 24 Oktober 1931 sebagai hari kejatuhan bagi gembong mafia di Chicago, Al Capone.
Setelah berkali-kali lolos dari hukuman penjara dan mendapatkan perlakuan khusus saat dihukum, akhirnya ia tak lagi bisa berkutik dan dijebloskan ke penjara dengan penjagaan superketat di Pulau Alcatraz.
Sementara itu pada 24 oktober 1945, organisasi perdamaian dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berdiri. PBB didirikan setelah Perang Dunia II berakhir, yang dimenangkan oleh kubu Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet), mengalahkan kubu Poros (Jerman, Jepang, dan Italia).
Lahirnya PBB dicanangkan oleh negara sekutu untuk tujuan utama perdamaian dunia dan mencegah terjadinya perang dunia kembali pada masa mendatang. PBB juga didirikan agar negara-negara dunia bisa terus bekerja sama menghadapi tantangan dan masalah global, terkait isu sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan pergeseran budaya.