Liputan6.com, Gaza - Hamas telah menyerahkan kontrol administratif lima penyeberangan perbatasan di Gaza kepada Otoritas Palestina (PA). Serah terima yang dilakukan pada Rabu waktu setempat merupakan pertama kali terjadi dalam lebih dari satu dekade.
Langkah tersebut merupakan bagian dari kesepakatan rekonsiliasi Hamas-Fatah yang difasilitasi Mesir di Kairo pada 12 Oktober 2017.
Seperti dikutip dari Al Jazeera pada Rabu (1/11/2017), Juru Bicara Fatah, Osama Qawasmeh mengatakan bahwa tidak ada syarat yang ditetapkan oleh Hamas atau Fatah terkait dengan serah terima tersebut.
Advertisement
"Masalahnya hanya mengembalikan status quo di bawah kendali Otoritas Palestina, seperti yang terjadi sebelum perpecahan tahun 2007," ujar Qawasmeh.
Tiga dari lima penyeberangan yang akan diambil alih adalah Karam Abu Salem yang berbatasan dengan Mesir, Rafah, dan Beit Hanoun.
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa waktu setempat, Menteri Urusan Sipil PA Hussein al-Sheikh mengatakan bahwa pemerintah persatuan nasional siap bekerja sama dengan otoritas Mesir untuk menyiapkan pengoperasian perbatasan Rafah pada 15 November. Hal tersebut sesuai dengan perjanjian tahun 2005.
Baca Juga
Rafah, perbatasan utama di selatan Jalur Gaza, telah ditutup sejak Hamas mengambil alih wilayah tersebut.
Qawasmeh menerangkan bahwa serah terima kontrol administrasi ini akan membuat kehidupan warga Palestina di Gaza "jauh lebih mudah".
"Tidak diragukan lagi ini akan membantu warga untuk bepergian ke luar Gaza atas alasan apa pun seperti mencari perawatan medis, mengambil beasiswa dan berwisata," tutur Qawasmeh.
"Pergerakan produk akan difasilitasi lebih cepat dan akan mempermudah perdagangan ekspor impor," imbuhnya.
Hazem Qassem, juru bicara Hamas, mengamini pernyataan Qawasmeh. "Kami berharap penyerahan kontrol ini akan menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Palestina di Jalur Gaza."
Â
Mengelola 'Penjara Raksasa'
Meski demikian, bagaimanapun, direktur lembaga Al-Shabaka, Alaa Tartir, mengatakan pengalihan kontrol administratif "tidak harus diterjemahkan sebagai rekonsiliasi nasional dan persatuan".
"Dengan asumsi bahwa hanya penggantian personel di perbatasan dan penyeberangan akan menghapus pengepungan di Gaza adalah asumsi yang naif dan berbahaya," kata Tartir.
"Ini adalah ujian bagi kerapuhan atau daya tahan perjanjian rekonsiliasi baru-baru ini."
"Sangat penting untuk mengakui bahwa Israel, sebagai kekuatan pendudukan, akan tetap menjadi penguasa de facto atas perbatasan dan penyeberangan. Ini hanya akan berubah saat pendudukan Israel berakhir. Persoalan siapa yang akan 'mengelola' perbatasan dan penyeberangan, Fatah atau Hamas, hanyalah pertarungan siapa yang akan 'memerintah' penjara raksasa," imbuhnya.
Sejak Hamas mengambil alih Gaza pada 2007, Israel telah memberlakukan blokade udara, laut, dan darat di wilayah tersebut.
Juru Bicara Fatah, Osama Qawasmeh mengatakan bahwa penutupan penyeberangan perbatasan disebabkan oleh tidak adanya "pemerintah yang sah" dan hari ini hal tersebut "kembali normal".
Qawasmeh juga menekankan bahwa pengalihan kontrol sebenarnya bukanlah "barang mewah".
"Penyerahan kontrol hanyalah persoalan protokol. Isu sebenarnya adalah keputusan Hamas untuk sepenuhnya mentransfer seluruh kekuasaan kepada pemerintah persatuan nasional sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan rekonsiliasi terakhir," jelas Qawasmeh.
Perundingan rekonsiliasi berikutnya antara Hamas-Fatah akan berlangsung di Kairo pada 21 November, di mana keduanya akan fokus pada administrasi logistik dan keamanan di Jalur Gaza.
Advertisement