Liputan6.com, Singapura - Maskapai Singapura, Singapore Airlines memutuskan untuk mengubah rute penerbangan dari Asia ke Amerika Serikat. Ini dipicu kekhawatiran rudal Korea Utara.
Juru bicara Singapore Airlines mengatakan, maskapai itu mengubah rute penerbangan dari Seoul ke Los Angeles. Keputusan itu diambil setelah Korea Utara meluncurkan rudal pada Juli 2017.
Baca Juga
Sebelumnya, Singapore Airlines tak mengumumkan perubahan itu. Namun, mereka kemudian memutuskan untuk terang-terangan.
Advertisement
Dikutip dari CNNMoney, pada Kamis (7/12/2017 ), ada alasan di balik perubahan sikap tersebut. Yakni, munculnya pengakuan pilot dari dua maskapai Asia yang menjadi saksi detik-detik peluncuran rudal Korea Utara pada 29 November 2017.
Kala itu, Cathay Pasific mengatakan, awak pesawat dari penerbangan San Francisco ke Hong Kong melaporkan penampakan misil masuk kembali ke atmosfer Bumi atau re-entry.
Tak hanya itu, Korean Air juga mengatakan, awaknya juga menyaksikan hal aneh di angkasa. "Mereka melihat kilatan dan orang-orang yang melihat berasumsi itu misil."
Singapore Airlines mengatakan bahwa pesawatnya tidak melakukan perjalanan "di sekitar lintasan rudal" karena adanya perubahan rute yang dilakukan untuk menghindari wilayah laut di antara Semenanjung Korea dan Jepang.
Pesawat milik Cathay Pasific juga tidak melintasi bagian laut itu, demikian menurut data pelacakan penerbangan.
Maskapai tersebut mengatakan bahwa penerbangannya "jauh dari lokasi peluncuran" dan tidak terpengaruh oleh rudal tersebut.
Meski demikian, awak pesawat melaporkan penampakan tersebut ke pihak pengendali lalu lintas udara Jepang sesuai dengan prosedur.
"Kami telah menghubungi otoritas, pihak yang relevan dalam industri penerbangan, juga maskapai lain. Saat ini, tidak ada perubahan rute atau parameter operasi apa pun," kata pihak Cathay. "Kami tetap waspada dan meninjau kembali situasi saat ini."
Korean Air tidak memberikan rincian penerbangan yang melihat "kilatan", atau mengatakan di mana pesawat berada pada saat peluncuran berlangsung.
Perubahan rute Singapore Airlines dilakukan pada bulan Juli, setelah sebuah penerbangan Air France melintas tepat di sebelah timur lokasi uji coba rudal Korea Utara, kira-kira lima sampai 10 menit sebelum senjata tersebut menghujam ke perairan.
Pada saat itu, juru bicara Departemen Pertahanan AS Jeff Davis memperingatkan bahwa rudal Korea Utara "terbang melalui wilayah udara sibuk yang dilalui pesawat komersial."
Civil Aviation Organization, sebuah badan milik PBB yang bertugas untuk mengatur keselamatan udara, menyatakan bahwa semua negara memiliki "tanggung jawab untuk mengeluarkan peringatan mengenai risiko ancaman terhadap keselamatan pesawat terbang sipil yang beroperasi di wilayah udara mereka."
Pemberitahuan tersebut dikeluarkan untuk memperingatkan pilot dan maskapai penerbangan mengenai risiko potensial selama penerbangan.
Kemungkinan sebuah pesawat yang diserang secara acak oleh sebuah rudal adalah "satu banding miliaran," menurut analis keselamatan penerbangan CNN, David Soucie.
Korea Selatan mengatakan, Korea Utara tidak pernah memberikan pemberitahuan kepada awak pesawat saat menembakkan rudal.
Horor MH17
Meski kemungkinannya kecil, sebuah pesawat bisa saja celaka terkena rudal yang ditembakkan di udara.
Pada Kamis 17 Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines Penerbangan MH17 mengudara dari Amsterdam, Belanda menuju ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Sekitar pukul 12.15 waktu setempat, di langit Ukraina Timur yang bergolak, perjalanan itu berhenti untuk selamanya.
MH17 ditembak jatuh. Badan pesawat hancur, 298 orang yang ada di dalamnya tewas seketika. Kapal terbang Malaysia Airlines nahas itu ditembak di ketinggian 10.000 meter.
Namun, hingga tiga tahun pasca-peristiwa nahas itu, dalang di balik kecelakaan belum berhasil diseret aparat guna dimintai pertanggungjawaban hukum. Padahal, satgas investigasi khusus dari Belanda mengklaim telah mengidentifikasi 100 terduga pelaku. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka secara resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh otoritas.
Para satgas investigasi menaruh kecurigaan pada aktor dari kelompok militan pro Rusia. Praduga semakin kuat ketika tim penyelidik mengindikasikan bahwa sistem misil pertahanan udara tipe Buk/SA-11 Gadfly --senjata yang menembak jatuh pesawat-- diselundupkan dari Rusia ke Ukraina.
Tak hanya itu, insiden tersebut juga terjadi hanya beberapa bulan setelah krisis aneksasi Krimea yang berlangsung pada Maret 2014. Jatuhnya pesawat MH17 juga masih berada di dalam kawasan yang secara de facto dikuasai oleh kelompok pro-Rusia, meski secara de jure, Provinsi Donetsk merupakan wilayah kedaulatan Ukraina.
Sejumlah pihak bersikukuh bahwa jika suatu saat nanti otoritas Belanda berhasil menetapkan tersangka, maka yang bersangkutan akan diekstradisi dari wilayah asalnya (Rusia atau Ukraina) ke Negeri Holandia. Meski begitu, hukum acara pidana Belanda mengatur bahwa, proses persidangan pelaku dapat dilakukan secara ' in absentia' atau 'sidang tanpa kehadiran terdakwa'.
Di sisi lain, Rusia dan kelompok pro Moskow membantah terlibat dalam peristiwa nahas tersebut. Sebaliknya, Presiden Ukraina Petro Poroshenko tegas menuding bahwa Negeri Beruang merah atau grup pro mereka, bertanggung jawab.
Advertisement