15-12-1945: AS Akhiri Shinto Sebagai Agama Resmi Jepang

Hari ini, 72 tahun yang lalu, Jenderal AS mengeluarkan sebuah keputusan yang mengakhiri status Shinto sebagai kepercayan resmi Jepang.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Nov 2024, 14:44 WIB
Diterbitkan 15 Des 2017, 06:00 WIB
Jenderal Douglas MacArthur (tengah, duduk) (Wikimedia Commons)
Jenderal Douglas MacArthur (tengah, duduk) (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Tokyo - Hari ini, 72 tahun yang lalu, Jenderal Amerika Serikat Douglas MacArthur, dalam kapasitasnya sebagai Komandan Besar Sekutu untuk Teater Pasifik - Perang Dunia II, mengeluarkan sebuah keputusan yang mengakhiri status kepercayaan tradisional Jepang sebagai agama resmi warga Negeri Sakura.

Pada 15 Desember 1945, Jenderal MacArthur mengeluarkan putusan yang wajib dipatuhi Jepang agar Shintoisme tak lagi berlaku sebagai agama resmi kenegaraan Negeri Sakura. Demikian seperti dikutip dari History.com, Jumat (15/12/2017).

Beberapa bulan sebelumnya, tepat pada 2 September 1945, di atas kapal tempur AS USS Missouri yang tengah berlabuh di Teluk Tokyo, Jenderal MacArthur menandatangani surat penyerahan diri Jepang -- tanda kekalahan Nippon dalam Perang Dunia II.

Usai penandatanganan itu, Sekutu, khususnya Amerika Serikat, memiliki agenda untuk mereformasi Jepang. Tujuannya, agar Negeri Sakura tak lagi menimbulkan ancaman serupa seperti yang dilakukan pada Perang Dunia II -- dengan menginvasi negara lain.

Langkah pertama dalam rencana reformasi itu adalah dengan melakukan demiliterisasi dan demobilisasi angkatan bersenjata Jepang. Sekutu juga memerintahkan Tokyo untuk menarik seluruh pasukan mereka di luar negeri untuk kembali ke tanah air.

Tak hanya itu, Sekutu juga mendesak Jepang agar segala macam doktrin dan kebijakan berbau militer harus dinegasikan sedemikian rupa.

Langkah kedua adalah membongkar Shintoisme dari statusnya sebagai agama nasional Jepang. Seperti dikutip dari History.com, langkah itu diformalkan tepat pada 15 Desember 1945, dalam dokumen yang diberi nama 'Directive for the Disestablishment of State Shinto, 1945'.

Sekutu percaya, pembongkaran itu dilakukan guna mempermulus proses langkah mereka untuk mendemokratisasikan Jepang. Sedangkan, sejumlah sejarawan melihat langkah Sekutu itu sebagai sebuah usaha untuk melunturkan pengaruh kekaisaran dan kaisar Jepang -- mengingat Shintoisme adalah kepercayaan tradisional yang dilestarikan lewat sistem monarki Nippon sejak masa kuno.

Mantan Kaisar Jepang, Hirohito (AFP)

Apalagi, salah satu doktrin Shintoisme adalah menganggap Kaisar Jepang (Hirohito pada era Perang Dunia II) sebagai jelmaan dewa serta memiliki status ke-ilahi-an.

Maka, ketika Shintoisme dilucuti, Sekutu berharap agar warga Jepang tak lagi menganggap sang kaisar sebagai jelmaan dewa.

Lantas, ketika kekuasaan sang kaisar luntur, warga Nippon tak lagi harus secara 'mentah-mentah' mematuhi perintahnya -- seperti misalnya, kebijakan untuk melakukan konflik bersenjata semesta seperti pada Perang Dunia II.

Seperti dikutip dari BBC, keputusan Sekutu -- khususnya AS -- tersebut tak hanya dipandang sebagai sekedar langkah melucuti status Shintoisme sebagai agama resmi negara. Namun juga, upaya untuk melakukan sekulerisasi terhadap Jepang, dengan memisahkan agama dari sistem pemerintahan.

"Demi mencegah kambuhnya penyimpangan ajaran dan doktrin Shintoisme menjadi sebuah propaganda militeristik dan ultra-nasionalistik yang dirancang untuk menipu orang-orang Jepang dan membawa mereka ke dalam perang agresi," tulis sebuah kutipan dalam pakta Directive for the Disestablishment of State Shinto, 1945.

Meskipun Shintoisme bukan lagi agama negara, banyak orang Jepang masih menganggapnya sebagai agama nasional. Namun Shintoisme pasca Perang Dunia II sangat berbeda dengan versi pra-1946, yang telah dibersihkan dari unsur-unsur politik, nasionalistik dan militeristik seperti yang banyak terkandung dalam doktrin kepercayaan tradisional Nippon itu.

 

Ilustrasi Bom
Ilustrasi Bom

Peristiwa Lain

Selain itu, pada tanggal yang sama tahun 2014, sebuah drama penyanderaan terjadi di Kafe Lindt di Sydney, Australia. Mon Haron Monis, seorang ulama Iran yang mendapatkan status pencari suaka di Australia membawa pistol dan menodongkan ke kepala manajer kafe, Tori Johnson.

Ia lalu menyandera 17 orang dan membunuh korban Katrina Dawson. Beberapa sandera berhasil kabur dari pintu belakang.

Polisi akhirnya menembaknya hingga tewas dan mengakhiri drama penyanderaan 16.

Dalam peristiwa terpisah lainnya, tepatnya 15 Desember 1981, bom mobil bunuh diri menargetkan Kedutaan Besar Irak di Beirut, Lebanon. Setidaknya 61 orang tewas termasuk Duta Besar Irak untuk Lebanon.

Peristiwa itu tercatat sebagai bom bunuh diri pertama yang terjadi di era modern.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya