Hakim AS Hentikan Deportasi Warga Kamboja Eksodus Khmer Merah

Pengadilan AS di tingkat distrik Negara Bagian California melaporkan tengah menghentikan sementara deportasi sejumlah warga Kamboja.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Des 2017, 08:42 WIB
Diterbitkan 20 Des 2017, 08:42 WIB
Gedung Putih (White House)
Gedung Putih (White House)

Liputan6.com, California - Pengadilan Amerika Serikat tingkat distrik di Negara Bagian California melaporkan tengah menghentikan sementara deportasi sejumlah warga Kamboja.

Mereka yang terancam dideportasi merupakan peserta eksodus massal dari Kamboja ke Negeri Paman Sam sejak belasan tahun lalu, yang dipicu oleh krisis akibat kekejaman rezim Khmer Merah.

Sebelumnya, sekitar 50 orang warga negara Kamboja dijadwalkan akan dipulangkan secara paksa oleh otoritas keimigrasian AS (ICE) untuk kembali ke tanah air mereka. Demikian menurut catatan Pengadilan California, seperti dikutip dari VOA, Rabu (20/12/2017).

Namun, para pengacara para warga Kamboja itu berargumen bahwa klien mereka akan mengalami "kerugian yang tidak bisa diperbaiki", kalau mereka dikembalikan ke negara yang hampir tidak mereka ingat lagi.

Para advokat meminta agar otoritas AS membuka kembali kasus imigrasi warga Kamboja itu supaya mereka dapat mengajukan banding atas perintah deportasi tersebut.

Akhirnya, hakim Distrik Amerika, Cormac Carney di Santa Ana, California, mengeluarkan perintah menghentikan deportasi sementara untuk meninjau kembali hak-hak mereka berdasarkan hukum.

Sementara itu, Jenny Zhao, salah satu pengacara dalam kasus imigran Kamboja itu mengatakan, "Menangkap dan memasukkan mereka ke pesawat sebelum menjalani proses pengadilan di sini melanggar hak mereka. Kami juga mendesak agar pemerintah AS membuka kembali kasus imigrasi mereka."

Sebagian besar dari mereka yang terancam dideportasi adalah peserta eksodus massal dari Kamboja ke AS, ketika terjadi kekejaman rezim Khmer Merah merebak pada 1970-an. Namun, usai melarikan diri ke AS, banyak di antara mereka yang tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan penuh.

Saat melakukan eksodus, banyak di antara mereka berstatus anak-anak yang dilahirkan dari orangtua tinggal di kamp-kamp pengungsi pelarian Khmer Merah di luar Kamboja.

 

Imigran Indonesia Mengalami Kondisi Serupa

Ilustrasi Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat (iStockphoto)
Ilustrasi Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat (iStockphoto)

Beberapa bulan lalu, sempat mencuat kabar mengenai puluhan hingga ratusan warga Indonesia eksodus tragedi 1998 yang terancam dideportasi dari Amerika Serikat.

Para warga Indonesia--yang sebagian besar keturunan Tionghoa--itu terancam dideportasi akibat overstayed visa dan ditolaknya permohonan mereka untuk mencari suaka serta menjadi warga negara di Negeri Paman Sam oleh Dinas Keimigrasian AS (ICE).

Para WNI tersebut menggunakan alasan sebagai pencari suaka politik eksodus tragedi 1998 guna mengajukan permohonan untuk menetap dan menjadi warga negara AS.

Sejak 1998, ICE menetapkan status puluhan hingga ratusan WNI tersebut sebagai imigran ilegal. Akan tetapi, otoritas lokal menoleransi mereka untuk menetap di AS, sepanjang mereka melakukan wajib lapor berkala ke kantor keimigrasian setempat.

Namun, semua itu berubah sejak Donald Trump naik menjadi presiden ke-45 AS, bersama dengan kebijakan keimigrasian yang ketat.

Pada Agustus 2017, otoritas ICE mulai menyuruh beberapa WNI di AS untuk membeli tiket sekali jalan, keluar dari Negeri Paman Sam dan kembali ke Indonesia dalam waktu dua bulan.

Mendengar kabar itu, Kementerian Luar Negeri RI mengaku tengah memantau situasi perihal puluhan WNI yang terancam dideportasi tersebut.

"Kita masih mendalami WNI yang sudah tercatat dalam deportation order Dinas Keimigrasian AS (ICE). Jumlahnya sekitar puluhan. Berapa angka pastinya masih kita dalami," jelas juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, di Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.

Dari puluhan WNI yang terancam dideportasi, ada dua di antaranya yang diketahui telah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan setempat, agar permohonan mereka untuk mencari suaka di AS dapat dikabulkan oleh ICE. Mereka adalah pasangan suami istri Meldy dan Eva Lumangkun.

"Khusus yang dua itu, kita mengikuti perkembangannya dan perlu dibedakan dengan kasus-kasus lainnya. Mereka (Meldy dan Eva) sudah masuk dalam daftar final overstayer dan deportation order ICE," ujar Arrmanatha.

"Terkait langkah hukum yang dilakukan mereka, tujuannya adalah untuk meminta suaka politik. Dalam konteks ini, hakim memutuskan untuk tidak melakukan deportasi sebelum dapat keputusan pasti."

Sang jubir menambahkan, terkait WNI eksodus 1998 lain yang terancam dideportasi dari AS, pihak Kemlu RI, melalui KBRI dan KJRI di Amerika Serikat, mengaku tengah melakukan pemantauan serta siap memberikan sosialisasi dan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan.

Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal, turut mengamini hal serupa ketika dimintai keterangan terkait kabar tersebut.

"Iya betul ada puluhan orang yang terancam dideportasi karena sudah mendapatkan final deporation order. Pada umumnya mereka adalah peminta suaka yang sudah ditolak permintaan suakanya oleh pengadilan. Informasi terakhir yang kami peroleh mereka sudah melakukan upaya hukum kembali," ujar Iqbal melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Rabu, 18 Oktober.

"Terkait detail berapa orang yang akan dideportasi, kami belum tahu persisnya saat ini, karena pihak imigrasi tidak menginfokan."

Ketika ditanya soal langkah hukum atau bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap Meldy, Eva, serta WNI eksodus 1998 lain yang terancam dideportasi dari AS, Arrmanatha Nasir menjelaskan, "Masalahnya begini, kita kan tidak mungkin menawarkan bantuan ke orang Indonesia yang ingin menjadi warga negara lain."

"Tapi kita tetap siap untuk memberikan bantuan hukum kepada mereka, jika mereka membutuhkan," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya