Liputan6.com, Beijing - Parlemen China secara aklamasi telah memilih kembali Presiden Xi Jinping untuk masa jabatan kedua, tanpa pembatasan berapa periode ia bisa menjabat.
Sebelumnya pada Minggu 11 Maret lalu, telah disetujui sebuah amendemen kontroversial untuk menghapus batas dua masa jabatan presiden bersama 20 perubahan lainnya. Amendemen itu lolos dengan mudah di Kongres Rakyat Nasional -- dengan lima suara menentang.
Baca Juga
Diskusi tentang perubahan itu dilarang di media sosial. Pemerintah China mengambil tindakan cepat untuk membungkamnya, bahkan perbedaan pendapat yang kecil sekalipun.
Advertisement
Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (17/3/2018), para pemimpin Partai Komunis berpendapat perubahan pada Pasal 79 undang-undang dasar diperlukan karena jabatan kunci lainnya yang dipegang Xi Jinping sebagai ketua partai dan kepala Komisi Militer Pusat tidak disertai pembatasan waktu.
Penghapusan batasan masa jabatan diyakini akan menjamin China terus mempertahankan kepemimpinan yang kuat, menjelang masa reformasi penting dan negara adidaya yang baru bangkit itu berada pada tahap kritis dalam pembangunan ekonominya.
Pendahulu Xi Jinping, Hu Jintao dan Jiang Zemin juga memegang ketiga jabatan tersebut, tetapi masing-masing mengundurkan diri sebagai presiden dan kemudian beralih ke peran kepemimpinan -- umumnya setelah dua masa jabatan.
Memicu Kengerian?
Bagi Xi yang saat ini secara luas dianggap sebagai pemimpin China paling dominan sejak Mao Zedong, hasil pemungutan suara terkait penghapusan batas masa jabatan presiden merupakan kemenangan penting dalam pertarungannya mempertahankan kekuasaan di negara yang menjadi kekuatan ekonomi kedua di dunia.
Sementara para penentang amendemen meminta keputusan tersebut dibatalkan untuk mencegah kengerian era Mao Zedong terulang kembali. Dikhawatirkan, perubahan kontroversial dalam konstitusi China akan memicu sebuah bencana yang berisiko menenggelamkan negeri itu ke era baru pergolakan politik dan kediktatoran tunggal.
"Ini bisa menghancurkan China dan rakyatnya. Jadi saya tidak bisa berdiam diri. Saya harus membuat mereka tahu bahwa ada pihak yang menentang keputusan itu," ucap Li Datong, seorang pensiunan editor yang menjadi wajah oposisi liberal.
Sementara itu, pengamat politik Cary Huang mengatakan, upaya Xi untuk menjadi "penguasa de facto" China merupakan babak paling kontroversial dalam perkembangan sejarah politik Negeri Tirai Bambu tersebut.
"Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak pemimpin politik yang mengejar jabatan seumur hidup belum berhasil mewujudkan visinya. Beberapa dari mereka justru digulingkan ... sebagian lainnya dibunuh oleh lawan politiknya," tutur Huang.
Ia menambahkan, "Taruhannya sangat tinggi, yakni permusuhan baru di antara rival politik dan penindasan akibat perbedaan politik menempatkan China pada risiko mengulang tragedi era Mao."
Advertisement