Kisah Cinta Pria Tionghoa dengan Perempuan India Ini Bikin Baper

Sang pria berasal dari etnis Tionghoa, sementara perempuannya berdarah India. Kisah cinta mereka bak cerita sinetron.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 01 Apr 2018, 18:36 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2018, 18:36 WIB
Singapura
Ilustrasi Foto Singapura (iStockphoto)

Liputan6.com, Singapura - Kisah cinta ini merupakan hal unik bagi masyarakat Singapura, dan kian menggetarkan ketika menilik pada pengorbanan dan ketulusan yang dibina oleh sejoli berbeda ras ini.

Ketika Koh Leng Kiat meninggal di usia 83 tahun pada 5 Maret, para anak tirinya yang beretnis India, bersama dengan anak kandungnya yang mewarisi genetik Tionghoa, berkumpul melakukan upacara pemakaman dalam ajaran Tao, yang sejatinya tidak benar-benar mereka pahami tata caranya.

Dilansir dari Asia One pada Minggu (1/4/2018), keluarga mereka tidaklah seperti kebanyakan warga Singapura. Mereka merupakan percampuran etnis Tionghoa dan Tamil, suatu takdir cinta yang berawal dari sebuah insiden pada 1966 silam.

Pada tahun tersebut, sebuah kecelakaan mobil menewaskan suami Meena Jaganathan. Perempuan itu berusia 24 tahun saat ditinggal mati suaminya.

Pasangan ini memiliki delapan anak, termasuk yang termuda di antaranya baru berusia dua bulan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Meena pun bergabung dengan perusahaan konstruksi sebagai buruh kasar pada 1967.

Setelah beberapa bulan bekerja, Meena mengalami radang usus buntu. Tuan Koh (32), yang merupakan atasannya, membawa ia ke rumah sakit untuk dirawat.

Putus asa karena tidak ada yang merawat anak-anaknya, Meena pun menoleh ke Koh, meminta bantuannya.

Koh setuju membantunya, dan segera membawa kedelapan anak Meena ke rumahnya yang berlokasi di sebuah kampung di kawasan Joo Chiat.

Apa yang dilihatnya sangatlah menyedihkan, lima anak laki-laki dan tiga perempuan dengan masa depan yang tidak pasti, tinggal di rumah kecil tanpa ayah.

Tergugah oleh kesulitan mereka, Koh pun bertekad untuk melakukan sesuatu.

Setelah Meena kembali, Koh mulai membantu sedikit demi sedikit, memberikan bantuan keuangan dan membeli barang untuk sembilan orang anggota keluarga barunya.

Untuk membalas kebaikannya, Nyonya Meena sering memasak dan menyajikannya makanan, setiap kali Koh berkunjung ke rumahnya.

Perlahan tapi pasti, cinta tumbuh meski ada hambatan bahasa dan budaya.

Bantuan tulus yang diberikan oleh Koh membuat hati Meena luluh, dan menjadikannya kian kagum pada pria beretnis Tionghoa itu.

"Appa (ayah) sangat menyukai masakan amma (ibu). Dia menyukai dalcha, kari daging kambing, kari ayam, dan kari ikan. Dia sering bercanda bahwa dia jatuh cinta karena hidangan itu," kata anak pertama pasangan itu, Chitra (46).

Meskipun masing-masing orangtua mereka menolak untuk memberikan restu, Koh tetap menikahi Meena pada 1970. Pasangan itu hidup penuh cinta di Joo Chiat.

 

Simak video pilihan berikut: 

Tumbuh dengan Sifat Kekeluargaan yang Erat

Pesan Hotel Menginap Bareng Keluarga Besar? Pastikan 3 Hal Ini
Ilustrasi keluarga sepakat.(iStokphotos)

Dari pernikahan mereka, Koh dan Meena dikaruniai empat orang anak. Dua pria dan dua wanita.

Semua anak mereka diberi nama Tionghoa pada akte kelahirannya, namun dipanggil dengan nama Tamil di kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, nama Chitra, anak pertama mereka, adalah Koh Geok Yen.

Kelahiran Chitra juga menjadi momentum mulai kembali diterimanya pasangan tersebut oleh masing-masing keluarga besarnya.

Keluarga multikultur tersebut tumbuh dengan keakraban yang sangat erat, meski menggunakan berbagai bahasa untuk saling berkomunikasi satu sama lain.

Meena berkomunikasi dengan Koh dalam bahasa Tamil, bahasa yang tidak bisa diucapkan, namun dimengerti dengan cukup baik olehnya.

"Kami belum pernah mendengar percakapan antara appa dan amma. Appa akan bertanya di mana amma berada. Dia jarang memanggilnya dengan nama," kata Nalandran (58), salah satu anak yang dibawa oleh Meena.  

"Appa dan amma pergi bekerja. Pada satu titik waktu, appa melakukan dua atau tiga pekerjaan. Setelah bekerja penuh waktu di perusahaan konstruksi, dia akan bekerja paruh waktu," kenang Chitra.

"Appa akan mengajak kita jalan-jalan. Kita akan mengemas makanan dan membawanya. Appa suka pergi ke kebun binatang," tambahnya.

Ketika berkunjung ke bioskop, Koh akan membelikan semua anaknya tiket menonton film India. Baru setelahnya, ia akan mengajak untuk berlanjut menonton pemutaran film Cina.

"Appa adalah pria yang baik. Dia tidak merokok atau minum alkohol. Dia selalu pulang langsung ke rumah setelah bekerja. Dia selalu menghabiskan waktu bersama kami," kenang Nalandran.

Dia mengatakan bahwa pada akhir 1980-an, keluarganya pindah ke sebuah unit apartemen tiga ruang di kawasan Bedok.

Sedihnya, Meena meninggal pada 1994. Saat itu ia berusia 52 tahun. Koh merasa sedih dan sulit menerima kepergian sang istri.

Bersikap Adil Kepada Seluruh Anaknya

Anak bermain di luar
Ilustrasi anak bermain (iStockphoto)

Seluruh anak dari pasangan tersebut mengaku Koh selalu berlaku adil, tidak membedakan antara tiri atau kandung.

"Di antara para putra, aku adalah yang paling dekat dengan appa. Bahkan, aku lebih dekat dengan appa dibanding dengan amma," katanya Nalandran seraya menitikkan air mata.

Karena Koh mencintai anak-anaknya, dia sering mengunjungi mereka bahkan setelah mereka tumbuh dewasa dan membina keluarga.

Dia juga tidak akan melewatkan ulang tahun seluruh anak dan cucunya.

Koh diketahui memiliki 24 cucu dan 17 cicit yang semua akan berbicara dengannya dalam Bahasa Inggris.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya