Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara memperingatkan Amerika Serikat bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk membuat senjata nuklir lagi, jika Washington DC tidak mengakhiri sanksi ekonominya yang keras terhadap pemerintahan Kim Jong-un.
Selama bertahun-tahun, Korea Utara telah mengambil kebijakan "byungjin", yakni mengembangkan kemampuan nuklir demi memajukan perekonomian.
Namun, pada April 2018, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, dengan mengatakan adanya "iklim segar dan penurunan tensi" di Semenanjung Korea, menyatakan bahwa kebijakan nuklir mereka telah selesai. Mereka kini mulai akan berfokus pada "pembangunan ekonomi sosialis".
Advertisement
Namun, pernyataan yang dikeluarkan oleh Kemeterian Luar Negeri Korea Utara baru-baru ini mengatakan bahwa Pyongyang dapat kembali ke kebijakan sebelumnya jika AS tidak mencabut sanksi.
Baca Juga
"Kebijakan 'byungjin' mungkin akan muncul lagi dan itu akan dipertimbangkan secara serius," kata pernyataan resmi dari Kemlu Korea Utara, seperti yang yang disiarkan oleh kantor berita resmi KCNA pada Jumat, 2 November 2018 malam, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (5/11/2018).
Niat itu tampak akan tidak diterima dengan baik oleh Amerika Serikat. Karena, pada pertemuan bersejarah di Singapura Juni lalu, Presiden AS Donald Trump dan Kim Jong-un menandatangani kesepakatan--yang samar--tentang denuklirisasi.
Namun pada gilirannya, kesepakatan itu hanya sedikit membuat kemajuan dan tensi antara kedua negara tampak kembali meninggi dengan AS mendorong untuk mempertahankan sanksi terhadap Korea Utara sampai "denuklirisasi akhir yang sepenuhnya diverifikasi" dan Pyongyang mengutuk tuntutan AS sebagai "seperti preman".
Pernyataan itu adalah tanda terbaru meningkatnya kekecewaan Pyongyang dengan Washington.
Bulan lalu, media negara bagian Utara membawa hampir 1.700 kata komentar panjang yang menuduh AS memainkan "permainan ganda", secara implisit mengkritik Trump karena komentarnya yang ditujukan untuk melarang Korea Selatan mencabut sanksi terhadap Pyongyang.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in telah lama menginginkan kedekatan dengan Korea Utara, dengan syarat mereka tetap tunduk pada beberapa sanksi Dewan Keamanan PBB atas program rudal nuklir dan balistiknya.
Sebagai gantinya, Presiden Moon telah menjanjikan investasi besar dan proyek-proyek lintas batas bersama sebagai insentif untuk langkah-langkah menuju denuklirisasi.
Namun, Amerika Serikat tak setuju dengan rencana itu hingga Pyongyang sepenuhnya membongkar program persenjataannya.
Dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada hari Jumat, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan kembali bahwa sanksi akan tetap berlaku sampai Pyongyang melakukan komitmen denuklirisasi yang dibuatnya di Singapura Juni lalu, dan menambahkan bahwa ia akan bertemu rekan Korea Utara pekan depan.
Â
Simak video pilihan berikut:
Pompeo: AS Siap Bertemu Korea Utara Lagi Awal Tahun Depan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan pada Rabu, 31 Oktober 2018 waktu setempat bahwa Washington berharap KTT kedua antara Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un akan berlangsung awal tahun depan.
"Kami berharap dapat membuat terobosan substansial dalam menindaklanjuti ancaman nuklir dari Korea Utara," jelas Pompeo di Gedung Putih.
Washington telah menuntut langkah-langkah seperti pengungkapan penuh fasilitas nuklir dan rudal milik Korea Utara, sebelum menyetujui berbagai tujuan utama Pyongyang, termasuk pencabutan sanksi internasional.
"Ada banyak pekerjaan yang tersisa, dan perwakilan Ketua Kim telah menjelaskan kepada saya, bahwa ia memiliki niat untuk denuklirisasi dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk membantunya melanjutkan komitmen itu," lanjut Pompeo, sebagaimana dikutip dari Asia One pada Kamis, 1 November 2018.
Pompeo tidak menyebutkan nama rekannya dari Korea Utara, tetapi Kim Yong-chol, seorang pembantu dekat Kim Jong-un, disebut telah memimpin sesi negosiasi dengan Menlu AS.
Kementerian Luar Negeri AS menolak memberikan rincian lebih lanjut, tetapi pertemuan itu diperkirakan akan berlangsung di New York.
Di lain pihak, Kim Jong-un disebut masih terus mengecam sanksi terhadap Korea Utara, yang dinilainya kejam dan mengecewakan, serta di luar semangat pembicaraan damai dengan Donald Trump, pasca-pertemuan bersejarah di Singapura pada 12 Juni lalu.
Kim juga menyuarakan beberapa kritiknya tentang sanksi yang membatasi arus barang dan modal ke Korea Utara, saat mengunjungi sebuah situs konstruksi di kota pesisir timur laut Wonsan, lapor kantor berita pemerintah setempat.
Sanksi pembatasan akses perdagangan dan perjalanan telah menempatkan upaya Korea Utara dalam mengembangkan daerah tersebut, berada dalam "situasi yang sulit dan tegang".
Advertisement