Liputan6.com, Washington DC - Rabu sore itu, 25 November 2009, Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang dikenal sebagai musuh Amerika Serikat, bersiap menyambut tamu istimewa. Mengenakan setelan gelap yang dipadu dengan kemeja biru dan dasi merah, ia berdiri di depan Palacio de Miraflores.
Ia kemudian ada di samping koleganya, Mahmoud Ahmadinejad, presiden Iran kala itu, saat band militer memainkan lagu kebangsaan kedua negara.
"Kami di sini untuk menyambut Anda, Saudaraku Ahmadinejad. Pemimpin. Saudara. Kamerad," kata Chavez seperti dikutip dari CNN, (24/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Tak mau kalah, Ahmadinejad menyebut Chavez sebagai, "saudara laki-lakiku yang gagah berani".
"Saudaraku," kata Ahmadinejad. "Yang menentang sekuat gunung, terhadap segala niat imperialisme dan kolonialisme."
Keduanya kemudian saling berjabat tangan. Erat. Ditutup dengan pelukan hangat.
Ahmadinejad ada di Venezuela dalam rangkaian kunjungannya ke tiga negara Amerika Latin. Tujuannya, untuk menguatkan dukungan demi melawan Amerika Serikat.
Di Bolivia ia bertemu dengan President Evo Morales. Sementara di Brasil, Ahmadinejad bersua dengan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva.
Ahmadinejad sebelumnya juga telah mengunjungi Gambia di Benua Afrika. Dan sebelum pulang ke Iran, ia juga akan mampir ke Senegal.
Presiden keenam Iran itu berharap bisa mempererat aliansi ekonomi dengan lima negara tersebut. Namun, yang lebih penting lagi, Ahmadinejad ingin memperkuat hubungan politik dengan pemerintah yang bersimpati ketika ia mencoba untuk melawan upaya AS dan Eropa untuk membatasi ambisi nuklir Teheran.
Ahmadinejad juga ingin memperbaiki citra Iran pasca-represi aparat terhadap para demonstran yang menolak hasil pilpres pada Juni 2009. Mantan dosen itu kembali terpilih, namun tak sedikit warganya yang menuding bahwa pemilu berlangsung curang.
Sementara, Chavez adalah pendukung utama Ahmadinejad di Amerika Latin. Keduanya menemukan kesamaan dalam penentangan mereka terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Baik Ahmadinejad maupun Chavez beberapa kali menyebut kata 'imperialis' beberapa kali dalam pernyataan mereka.
Aliansi Iran dengan Venezuela menghadirkan tantangan bagi kepentingan nasional AS.
Jaksa Distrik Manhattan Robert M. Morgenthau, dalam sebuah kolom di Wall Street Journal, mengatakan bahwa "Ahmadinejad dan Hugo Chavez telah menciptakan kemitraan di bidang keuangan, politik dan militer, dengan nyaman, yang berakar pada kebencian dan perasaan anti-Amerika."
Dalam kunjungan Chavez ke Iran sebelumnya, ia menggarisbawahi sejumlah usaha patungan, termasuk pembangunan pabrik etanol di Venezuela dan eksplorasi gas di Iran oleh perusahaan minyak milik negaranya.
Chavez juga mengungkap, ia berniat membangun 'desa nuklir' dengan bantuan Iran.
Saksikan video terkait Amerika Serikat berikut ini:
Alam Hening Sebelum Gempa Dahsyat di Sumatera
Tak hanya pertemuan Ahmadinejad dan Chavez yang menjadi peristiwa bersejarah pada tanggal 25 November.
Pada 1883, lindu dengan kekuatan 8,8 sampai 9,2 skala Richter mengguncang, pusatnya berada di lepas pantai barat Andalas. Penyebabnya adalah pecahnya segmen palung Sumatera sepanjang 1.000 km.
Lindu dirasakan kuat di Padang, Sumatera Barat. Awalnya, getaran dianggap biasa. Namun, disusul guncangan kencang.
"Orang-orang berhambur keluar, khawatir bakal terkubur di bawah bangunan yang bergetar hebat," demikian tulis seorang ilmuwan Dr. A.F.W. Stumpff, seperti Liputan6.com kutip dari makalah ilmiah berjudul 'Source parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 in ferred from coral microatolls' yang salah satu penulisnya adalah ahli Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja.
Di luar, Stumpff menambahkan, orang-orang panik merasakan Bumi yang berguncang di bawah kaki mereka. "Diterangi cahaya rembulan, ada yang melihat bangunan dan pepohonan bergetar hebat, semburan air muncul di antara retakan tanah dengan kekuatan hebat, sungai-sungai luber, lautan menggelegak."
Dr. A.F.W. Stumpff mencatat, pada bulan Agustus, September dan Oktober terpantau terjadi panas dan kelembaban ekstrem. "Sementara di hari gempa terjadi (ia menuliskannya pada tanggal 24 November) ditandai dengan keheningan yang mendalam seluruh alam. Yang tidak disadari banyak orang."
Sementara, J.C. Boelhauwer seorang komandan militer Belanda di Pariaman mencatat, semua orang dicekam ketakutan luar biasa. "Bahkan orang pribumi yang paling tua pun tidak pernah mengingat hal seperti itu pernah terjadi”, demikian tulis J.C. Boelhauwer. "Seluruh alam terasa dalam huru-hara, segala sesuatunya terguncang dan jatuh berpecahan."
Peristiwa tersebut hanya terjadi 3 menit, namun dampaknya luar biasa.
Gempa memicu terjadinya tsunami yang menerjang pesisir barat Sumatera dengan wilayah terdekat dari pusat gempa adalah Pariaman hingga Bengkulu.
Tsunami juga menyebabkan kerusakan parah di Maladewa, Sri Lanka, dan Seychelles. Gelombang raksasa juga dilaporkan mencapai Australia bagian utara, Teluk Benggala, dan Thailand meskipun dalam intensitas kecil.
Namun bencana ini tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak diketahui dengan pasti dampak dan berapa banyak korbannya.
Sementara, sebuah artikel yang dimuat situs AusGeoNews Maret 2005 mempertanyakan apakah tsunami 26 Desember 2004 adalah pengulangan dari apa yang terjadi pada 1833.
"Gempa dahsyat pada 1833 disebabkan pecahnya segmen zona subduksi di sekitar 1.000 km tenggara dari segmen yang pecah pada 2004," demikian kutipan dalam artikel berjudul 'The Boxing Day 2004 tsunami—a repeat of the 1833 tsunami?
Advertisement