Demo Kenaikan Harga BBM di Prancis, Trump Salahkan Kesepakatan Iklim Paris

Donald Trump menyalahkan Perjanjian Iklim Paris sebagai biang keladi atas aksi protes massal BBM di Prancis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 09 Des 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 09 Des 2018, 12:00 WIB
Presiden Amerika Serikat ke-45 Donald Trump (AP/Nicholas Kamm)
Presiden Amerika Serikat ke-45 Donald Trump (AP/Nicholas Kamm)

Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyalahkan Kesepakatan Iklim Paris (UNFCC), sebagai biang keladi atas aksi protes massal tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Prancis yang terus berlanjut hingga memasuki pekan ke-4.

"Kesepakatan Iklim Paris tidak berjalan dengan baik untuk Paris," kata Trump lewat akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump pada Sabtu 8 Desember pagi waktu setempat, seperti dikutip dari CNN, Minggu (9/12/2018).

"Protes dan kerusuhan terjadi di seluruh Prancis. Orang tidak ingin membayar sejumlah besar uang ke negara-negara dunia ketiga (yang dipertanyakan), demi melindungi lingkungan," lanjut Trump.

Dalam tweetnya, Trump juga menegaskan bahwa pengunjuk rasa Paris telah meneriakkan "kami ingin Trump" - klaim yang belum bisa dibuktikan.

Cuitan dari Trump muncul ketika Paris dan beberapa kota besar lainnya di Prancis menggelar demonstrasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang berujung rusuh dan diwarnai bentrok dengan aparat pada sepanjang Sabtu 8 Desember 2018.

Gerakan "Gilets jaunes (rompi kuning)" --sebagaimana demonstran menamai dirinya karena mengenakan rompi visibilitas berwarna kuning-- telah menggelar aksi serupa selama empat pekan terakhir berturut-turut.

Demonstrasi di Paris telah meletus ke dalam kerusuhan terburuk yang dialami Prancis dalam beberapa dasawarsa dan krisis politik bagi Presiden Perancis Emmanuel Macron. Gerakan itu dimulai sebagai teguran terhadap kenaikan harga bahan bakar di negara itu dan berevolusi menjadi protes yang lebih luas terhadap tekanan hidup dan kemarahan terhadap pemerintahan Macron.

Terkait Kesepakatan Iklim Paris

Sejak menjabat pada Mei 2017, Macron telah menjadi pengkampanye teguh Kesepakatan Iklim Paris atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) tahun 2015, menegaskan kembali komitmennya ketika Trump mengumumkan tahun lalu bahwa ia menarik Amerika Serikat dari perjanjian tersebut.

Namn, pengunjuk rasa marah dengan Macron karena memperluas kebijakan lingkungan yang dilaksanakan di bawah pendahulunya, mantan Presiden François Hollande.

Pada Selasa 4 Desember, Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe mengumumkan bahwa kenaikan pajak yang direncanakan --bagian dari langkah-langkah yang bertujuan untuk memerangi perubahan iklim-- akan tertunda selama enam bulan, dari 1 Januari hingga pertengahan 2019, dengan harapan menundukkan protes.

"Saya senang teman saya (Macron) dan para pemrotes di Paris setuju dengan kesimpulan yang saya capai dua tahun lalu," tandas Trump, Selasa 4 Desember. "Kesepakatan Iklim Paris adalah cacat fatal karena menaikkan harga energi untuk negara-negara yang bertanggung jawab sementara menghamburkan beberapa pencemar terburuk ... di dunia."

Keesokan harinya, kantor Macron mengumumkan bahwa kenaikan pajak tidak akan diperkenalkan pada 2019.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Protes Kenaikan Harga BBM di Prancis Rusuh, Ratusan Orang Diciduk Aparat

Kenaikan Harga BBM Picu Kerusuhan di Prancis
Demonstran membakar barang-barang saat kerusuhan menentang kenaikan harga bahan bakar di Paris, Prancis, Sabtu (24/11). Lebih dari 100.000 orang mengambil bagian dalam sekitar 1.600 aksi protes di seluruh Prancis. (AP Photo/Kamil Zihnioglu)

Polisi Prancis telah menangkap setidaknya 1.000 orang dalam demonstrasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berujung rusuh dan diwarnai bentrok dengan aparat pada sepanjang Sabtu 8 Desember 2018.

Mereka yang ditangkap, kata aparat, diduga melakukan aksi provokatif dalam unjuk rasa tersebut.

Demi meredam rusuh, polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata ke demonstran, yang sebelumnya telah memblokade jalan, melakukan pembakaran, merusak properti publik, dan menjarah demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (9/12/2018).

Diperkirakan 125.000 demonstran berkumpul di seluruh Prancis pada Sabtu siang, dengan 10.000 di antara mereka memadati ibu kota.

Hingga sejauh ini, Paris menjadi kota yang terdampak berat atas demonstrasi tersebut. Otoritas rumah sakit Paris mengatakan, 126 orang terluka dalam pelaksanaan demo, tetapi tidak ada yang serius. Setidaknya tiga petugas polisi juga terluka.

Rekaman video menunjukkan seorang demonstran tertembak peluru karet saat berdiri di depan garis polisi dengan tangannya ke atas. Tiga anggota pers juga terkena peluru karet aparat.

Meriam air dikerahkan di jalan timur pusat kota Paris. Ketika malam tiba, para pemrotes berkumpul di Place de la République, dan polisi berjaga di Champs-Elysées.

Menyikapi demonstrasi terbaru, Perdana Menteri Edouard Philippe dalam sebuah pidato televisi pada Sabtu malam mengatakan "casseurs (pembuat onar)" masih melancarkan aksinya.

Dia menyerukan komunikasi lebih lanjut antara pemerintah dan demonstran untuk menyelesaikan konflik. "Dialog telah dimulai," katanya. "Sekarang perlu membangun kembali persatuan nasional," tambah Philippe.

Awal pekan ini, pemerintah Prancis juga telah membatalkan rencana kenaikan pajak BBM --yang merupakan pangkal dari demonstrasi selama empat pekan terakhir-- untuk meredakan situasi. Penundaan itu akan menelan biaya anggaran Kementerian Keuangan Prancis hingga sekitar 4 miliar Euro (berkisar Rp 66,2 triliun).

Tetapi, protes telah meluas menjadi pemberontakan anti-Presiden Emmanuel Macron.

Demonstran mengecam biaya hidup yang tinggi dan reformasi ekonomi liberal yang direncanakan Macron.

Massa mengatakan, kebijakan reformasi ekonomi Macron hanya mendukung orang kaya dan ia tidak melakukan apa pun untuk membantu orang miskin.

Pemrotes juga ingin agar Macron melangkah lebih jauh untuk membantu rumah tangga miskin yang tertekan, peningkatan upah minimum, pajak yang lebih rendah, gaji yang lebih tinggi, pajak dan biaya energi yang lebih murah, tunjangan pensiun yang lebih baik dan bahkan pengunduran diri sang presiden Prancis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya