Liputan6.com, Caracas - Nicolas Maduro mengabaikan badai kecaman internasional untuk memulai masa jabatan keduanya sebagai presiden Venezuela setelah resmi dilantik pada Kamis 1 Januari 2019, menyusul kemenangannya dalam pemilihan yang disengketakan Mei 2018.
Sebagai gantinya, ia justru menuduh bahwa Uni Eropa dan Amerika Serikat telah mengobarkan "perang dunia" imperialis terhadap bangsanya yang dilanda krisis ekonomi menahun, demikian seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (11/1/2019).
Maduro, yang mewarisi revolusi Bolivarian Hugo Chavez setelah kematiannya pada tahun 2013, memerintah ketika Venezuela mengalami penurunan yang sangat drastis dalam kekayaan negara.
Advertisement
Rentetan kecaman domestik dan internasional memberondong pria 56 tahun itu, ketika ia mengambil sumpah di hadapan Mahkamah Agung Venezuela --alih-alih parlemen atau Majelis Nasional-- di Caracas.
Baca Juga
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, mengutuk "perebutan kekuasaan secara tidak sah" oleh Maduro dan berjanji untuk "menggunakan kekuatan penuh ekonomi dan diplomatik AS untuk mendesak pemulihan demokrasi Venezuela".
Uni Eropa menyebut pemungutan suara tahun lalu "tidak bebas, tidak adil", dan mengatakan Maduro "memulai mandat baru berdasarkan pemilihan yang tidak demokratis".
Pemerintahan negara Amerika Latin juga mengecam pelantikan itu, dengan Paraguay dan Peru memutuskan hubungan diplomatik dan presiden Argentina, Mauricio Macri, melabel Maduro sebagai "diktator yang berlagak korban".
Maduro menentang serangan itu selama pidato 80 menit penuh semangat kepada sesama chavista dan sekutu kiri internasional, termasuk Presiden Nikaragua, Daniel Ortega, Presiden Bolivia Evo Morales, dan Presiden Kuba Miguel DÃaz-Canel.
"Kami adalah demokrasi sejati, mendalam, populer dan revolusioner ... bukan demokrasi elit ... jutawan super yang berkuasa untuk memperkaya kelompok ekonomi mereka dan merampok rakyat," katanya. "Dan saya, Nicolás Maduro Moros, adalah seorang presiden yang benar-benar demokratis."
Maduro, yang menghadapi tekanan regional yang meningkat ketika politik Amerika Latin berubah haluan menjadi ke 'kanan' (right-wing politics), mengklaim negaranya "berada di pusat perang dunia" yang diupayakan oleh imperialis AS dan "pemerintah satelit" mereka di Amerika Latin.
Dia menyerang presiden Kolombia, Iván Duque, dan pemimpin kanan baru Brasil, Jair Bolsonaro, menyebutnya "fasis".
Maduro juga menyerang Uni Eropa.
"Berhenti, Eropa ... Jangan datang lagi dengan kolonialisme lamamu. Jangan datang lagi dengan agresi lama Anda. Jangan datang lagi, Eropa lama, dengan rasisme lama Anda, "katanya.
"Sudah ada cukup banyak perbudakan - penjarahan yang Anda alami selama 500 tahun ... Menghormati Venezuela ... atau lebih cepat daripada nanti Anda akan membayar harga historisnya."
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Pengamat Memperkirakan Maduro Akan Tumbang di Tengah Jalan
Masa jabatan kedua Presiden Nicolas Maduro akan berakhir enam tahun, namun, beberapa pengamat meragukan dia akan mencapai sejauh itu, mengingat krisis ekonomi dan politik yang menghantam negaranya.
Tahun lalu inflasi dilaporkan mencapai 1,35 juta persen sementara eksodus besar-besaran yang menyebabkan hampir 10 persen populasi negara berkurang, masih terus meninggalkan negara itu.
"Secara ekonomi kita berada dalam spiral kematian," kata Phil Gunson, pakar Crisis Group yang berbasis di Caracas.
"Ada perasaan nyata bahwa seluruh negeri terhenti - dan analisis dingin harus mencapai kesimpulan bahwa tidak mungkin untuk terus seperti ini."
Tetapi dengan oposisi "hancur berkeping-keping" --yang sebagian besr berkat Maduro-- Gunson mengakui tidak ada tanda-tanda bahkan perbaikan politik atau ekonomi jangka menengah.
"Beberapa orang mengatakan pemerintah mungkin runtuh karena telah meruntuhkan seluruh negara dan tidak ada cara untuk melanjutkan. Tetapi jika tidak ada yang mengambil alih darinya, maka, bahkan jika Venezuela runtuh, ia akan tetap berkuasa," jelas Gunson menggarisbawahi besarnya ego Maduro.
David Smilde, seorang ahli Venezuela dari kelompok advokasi Washington Office on Latin America mengatakan, Maduro berharap menjalin "jaringan alternatif" kemitraan dengan negara-negara otoriter termasuk China, Rusia dan Turki akan memungkinkan Maduro untuk menghadapi badai.
"Mereka berpikir ... bahwa jika mereka bisa terus bertahan, dalam beberapa tahun mereka dapat menunggu kemitraan dari mereka dan negara-negara oposisi akan bosan menekan Venezuela dan pada akhirnya hal-hal akan normal kembali."
"Tapi saya pikir, mereka hanya akan menggantung harapan tanpa rencana nyata yang bagus," jelas Smilde.
Advertisement