Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun 2015, sebuah tim ilmuwan mendokumentasikan 5.476 virus dari jenis yang berbeda di laut lepas. Lalu satu tahun setelahnya, tim tersebut memperbarui temuannya menjadi 15.222 virus.
Tetapi dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada minggu ini dalam jurnal ilmiah Cell, jumlah itu meroket ke angka 195.728, meningkat lebih dari dua kali lipat.
"Ini adalah penelitian yang sangat menakjubkan," kata Louis-Marie Bobay, seorang ahli genetika mikroba dari University of North Carolina-Greensboro, yang tidak terlibat dalam riset itu.
Advertisement
"Kami mengetahui sedikit tentang ekologi virus di sebagian besar lautan, dan ini adalah data yang paling mengesankan yang pernah dikumpulkan," imbuhnya, sebagaimana dilansir dari Wired, Selasa (30/4/2019).
Baca Juga
Merebaknya jumlah virus di laut lepas terdeteksi melalui proyek Tara Oceans yang mencari inventaris keanekaragaman mikroba dan virus laut yang lebih lengkap, dengan mengambil sampel air laut di seluruh dunia.
Sekunar (kapal layar bertiang dua terbuat dari kayu) Tara Oceans telah mengumpulkan sampel dari permukaan ke kedalaman laut dan dari kutub ke kutub, termasuk dari 43 lokasi di Kutub Utara yang tidak digunakan dalam studi tahun 2015 dan 2016.
Sekitar 40% populasi virus baru berasal dari sampel di Arktik, sisanya merupakan analisis ulang dari penelitian sebelumnya.
"Algoritma yang kami gunakan untuk mengumpulkan genom virus dari potongan DNA menjadi jauh lebih baik," ujar Ann Gregory, ahli ekologi mikroba dari Catholic University of Leuven di Belgia dan salah satu penulis utama penelitian ini.
Selain menyatukan untaian DNA dari fragmen-fragmen itu, Gregory dan rekan-rekannya harus menentukan cara untuk mengklasifikasikan berbagai genom virus yang mereka dapatkan.
Mendefinisikan spesies virus adalah sesuatu yang kontroversial, karena mereka bereproduksi secara aseksual dan sering bertukar DNA antara satu sama lain dan inangnya.
Alih-alih spesies, Gregory mengklasifikasikan virus ke dalam populasi di mana ada lebih banyak jenis gen dalam suatu kelompok daripada di antara kelompok-kelompok virus lain. Metode ini menghasilkan hampir 200.000 populasi.
Sekitar 90 persen dari mereka tidak dapat dipetakan ke taksonomi apa pun yang sudah diketahui, sehingga mereka benar-benar dianggap sebagai spesies baru dalam sains.
Meskipun virus tidak secara tradisional digolongkan ke dalam famili, seperti Homo untuk manusia atau Staphylococcus untuk bakteri staph, Gregory menyimpulkan bahwa keragaman populasi yang terdapat pada sampel itu sudah termasuk ke dalam banyak famili baru.
Virus Beradaptasi dengan Suhu Bumi
Selain itu, para peneliti juga mengemukakan keberadaan lima kelompok virus lain yang dipetakan ke zona ekologi laut yang berbeda, berdasarkan suhu dan kedalaman samudra: Arktik, Antarktika, permukaan dan sub-permukaan laut dari wilayah beriklim tropis, serta laut dalam.
Di dalam genom komunitas ini, para ilmuwan menemukan bukti adanya adaptasi genetik dari setiap biota laut untuk masing-masing zona ekologis.
"Suhu adalah indikator terbesar dari struktur sebuah koloni," ujar Ahmed Zayed, seorang mahasiswa pascasarjana di Ohio State University yang ikut memimpin analisis itu. Variasi suhu mendukung berbagai jenis kelompok inang mikroba, Zayed melanjutkan, dan virus pun turut beradaptasi.
Secara global, pola keanekaragaman hayati yang diamati di antara virus agak berbenturan dengan tren ekologis yang sudah eksis. "Ada paradigma bahwa keragaman tertinggi ada di khatulistiwa, sedangkan di kutub menjadi berkurang," papar Zayed.
Para peneliti memang menemukan peningkatan keanekaragaman hayati di garis ekuator, tetapi mereka juga menemukan jumlah keberagaman yang mengejutkan di Kutub Utara.
"Kami terkejut ketika mendapati Kutub Utara sebagai hotspot dari keanekaragaman hayati, yang sangat relevan karena perairan ini adalah salah satu yang paling cepat berubah di planet ini akibat perubahan iklim," ujar Matthew Sullivan, ahli mikrobiologi di Ohio State University dan penulis senior dari studi.
Sedangkan Gregory mengatakan masih banyak penelitian yang perlu dilakukan untuk memahami mengapa mikroba di Arktik sangat beragam, tetapi ia berpikir itu mungkin ada hubungannya dengan sel inang yang lebih kecil yang hidup di perairan dingin ini.
"Habitat yang lebih kecil berarti lebih banyak tempat untuk hidup, yang berarti pula lebih banyak kesempatan bagi virus untuk melakukan diversifikasi," Gregory menjabarkan.
Advertisement
Peran Virus bagi Atmosfer Bumi
Menurut Curtis Suttle, ahli ekologi mikroba di University of British Columbia, virus memainkan peran utama dalam siklus biogeokimia global, termasuk siklus karbon, di mana karbon bergerak di antara biosfer dan atmosfer Bumi.
"Saya sudah mencoba membuat kasus bahwa virus laut sangat penting untuk waktu yang lama," kata Suttle, yang tidak terlibat dalam penelitian baru itu. "Merilis data seperti ini ke masyarakat sangat penting untuk memahami peran virus dalam proses global."
Suttle menjelaskan bahwa lautan saat ini menyerap sekitar setengah dari emisi karbon yang disebabkan oleh manusia, dan jumlah karbon dioksida yang diresap terus meningkat. Virus mempengaruhi tingkat kejenuhan air laut di mana saja, dari 20 hingga 40 persen populasi bakteri global terbunuh setiap hari oleh virus.
Ketika bakteri terbunuh oleh infeksi virus, dinding selnya meledak. "Semua karbon yang membentuk bakteri dilepaskan ke lautan," katanya, dan beberapa karbon akhirnya diasingkan jauh di laut.
Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa suatu hari, virus dapat digunakan untuk mengubah siklus karbon dan mengurangi jumlah karbon dioksida di atmosfer.