Virus Kuno Mengancam Ribuan Penduduk Aborigin di Pedalaman Australia

Virus tersebut diyakini telah 'tiba' di Australia sejak 9.000 tahun lalu, namun kerap terabaikan oleh dunia medis.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 25 Apr 2018, 06:54 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2018, 06:54 WIB
Ilustrasi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Ilustrasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (iStockphoto)

Liputan6.com, Alice Springs - Ribuan orang dewasa dari suku Aborigin yang tinggal di pedalaman Australia, tengah terancam oleh sebuah virus kuno yang berisiko menjadi wabah.

Para ilmuwan di fasilitas laboratorium di kota Alice Springs, menyebut T-cell lymphotropic virus type 1 (HTLV-1) sejatinya tersebar di beberapa lokasi di dunia.

Namun, khusus untuk di Australia, tingkat risiko yang dimilikinya tercatat sebagai yang tertinggi di seantero jagat.

Dikutip dari Abc.net.au pada Selasa (24/4/2018), HTLV-1 merupakan 'sepupu jauh' virus HIV, yang dapat ditularkan melalui darah pada aktivitas seksual, atau dari ibu ke anak melalui kehamilan dan kegiatan menyusui.

Virus ini diketahui dapat menimbulkan peradangan pada kulit, mata, dan paru-paru. Menurut studi ilmah terkait, HTLV-1 juga berisiko memicu seseorang terkena gejala leukemia, kanker darah, dan cacat pada tulang belakang.

"Begitu beban pro-viral pada tubuh seseorang semakin tinggi, maka lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan yang kompleks," ujar Joel Liddle, salah seorang peneliti.

"Pada beberapa kasus, virus ini juga bisa membuat gejala leukemia berubah cepat menjadi risiko kesehatan yang fatal," lanjut Liddle.

Sejarah mencatat bahwa HTLV-1 paling banyak ditemukan di beberapa budaya kuno, seperti di selatan Jepang, Amerika Selatan, dan sebagian Afrika.

Virus ini diduga kuat sampai ke benua Australia melalui persinggahan maritim di Indonesia, dan kemudian memengaruhi kesehatan populasi masyarakat Aborigin secara luas.

Para peneliti Departemen Kesehatan Jantung dan Diabetes pada Baker Institute di Alice Springs, memperkirakan sebanyak 45 persen masyarakat Aborigin dewasa terkena dampak virus HTLV-1.

"Salah satu penyebab utama tersebar luasnya virus ini adalah karena mereka yang mengidap, tidak menyadari HTLV-1 bersarang di tubuhnya. Selain itu, sebagian besar masyarakat Aborigin belum pernah diuji lebih lanjut akan hal ini," jelas Liddle.

Di wilayah Australia Tengah, para peneliti memperkirakan ada sekitar 5.000 orang yang terinfeksi virus HTLV-1, dan sebagian besar berasal dari masyarakat Aborigin.

"Itu hanya di wilayah kami, kami tidak tahu apa yang terjadi di perbatasan," kata ahli penyakit menular Dr Lloyd Einsiedel.

"Yang mengkhawatirkan adalah HTLV-1  sekarang menyebar bersamaan dengan migrasi penduduk, dan kami telah melihat bukti nyatanya di Adelaide dan Perth," lanjutnya menjelaskan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Butuh Waktu Khusus untuk Menanggulangi Persebaran HTLV-1

Bendera negara Australia - AFP
Bendera negara Australia - AFP

Meski telah mewabah ke Australia sejak sekitar 9.000 tahun lalu, Dr Einsiedel yakin HTLV-1 telah lama diabaikan, sehingga temuan fenomenalnya saat ini mencengangkan publik.

Menurutnya, otoritas kesehatan sangat membutuhkan bantuan para pekerja asal Aborigin untuk mendidik masyarakat pedalaman, tentang pengetahuan dan risiko penyakit yang disebabkan oleh HTLV-1.

Menanggapi hal tersebut, seorang juru bicara Menteri Kesehatan, Ken Wyatt, mengatakan bahwa Pemerintah Federal telah mendanai penelitian, untuk menginformasikan protokol pengawasan baru dan pedoman kesehatan masyarakat.

"Pemerintah telah mengalokasikan 6,1 juta dolar Australia (sekitar Rp 64 miliar) kepada Pusat Akademi Sains Kesehatan Australia Tengah, sebagai pendukung proyek prioritas tentang studi yang membahas HTLV-1," katanya.

Diperkirakan sebanyak lima hingga sepuluh juta orang di dunia terkena dampak HTLV-1. Namun, upaya penanggulanan sistematis baru diterapkan di wilayah selatan Jepang.

Pemerintah Negeri Matahari Terbit mengadopsi seluruh tanggapan masyarakat yang berasal dari beberapa survei berkala, yang kemudian diformulasikan sebagai pedoman resep obat -- meski belum sepenuhnya efektif.

"Mereka telah mampu mengurangi tingkat risiko hingga sekitar 80 persen, yang memberi dampak positif pada jaminan keamanan bagi kegiatan menyusui," jelas Dr Einsiedel.

Meski begitu, Dr Einsiedel menyebut terlalu dini jika tindakan serupa diterapkan di Australia, khususnya untuk masyarakat Aborigin.

Menurutnya, dibutuhkan perhatian sangat khusus dan jangka waktu pelaksanaan yang cukup lama, untuk merancang pedoman kesehatan yang mudah dipahami oleh masyarakat Aborigin.

"Ketika mereka (masyarakat Aborigin) paham dengan pedoman kesehatan yang diberikan pemerintah, maka akan lebih mudah membujuk mereka melakukan pengobatan secara intensif," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya