Liputan6.com, Naypyidaw - Pasukan keamanan Myanmar telah menembak mati setidaknya enam orang di Negara Bagian Rakhine sebelah barat pada Kamis, 2 Mei 2019. Insiden itu terjadi setelah menahan ratusan orang di sebuah sekolah.
Menurut sumber militer, enam orang yang ditembak mati adalah bagian dari 275 orang yang ditahan. Mereka didapat dari operasi pencarian anggota kelompok pemberontak bernama Arakan Army.
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, terdapat simpang siur informasi terkait korban penembakan, dengan anggota parlemen Myanmar Khim Maung Lat, menyebut mereka adalah warga desa.
"Para warga desa ditembak mati dengan delapan lainnya terluka parah," kata Khim tanpa merinci jumlah korban meninggal, mengutip laporan Al Jazeera, Jumat (3/5/2019).
Sementara itu, menurut juru bicara militer Myanmar Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, enam tahanan yang ditembak itu berusaha merampas senjata pada Kamis pagi. Hal itu menyebabkan aparat melepaskan tembakan.
"Kami telah memperingatkan mereka secara verbal. Kemudian kami melepas tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan kelompok itu namun mereka tidak bergerak. Karenanya tembakan dilepaskan (ke arah mereka)," katanya.
Terdapat kemungkinan kasus penembakan itu bukan hanya terjadi di satu desa. Khim mengatakan, empat warga sipil juga dibunuh selama proses interogasi yang berlangsung di desa yang lain.
ICRC Prihatin
Sementara itu, organisasi palang merah dunia ICRC menyatakan keprihatinannya atas jumlah korban sipil yang meningkat selama beberapa minggu terakhir. Kepala delegasi ICRC di Myanmar, Stephan Sakalian mendesak semua pihak dalam konflik untuk melindungi warga sipil sesuai Hukum Humaniter Internasional.
Rakhine telah menjadi perhatian global sejak adanya gelombang pengungsi besar-besaran muslim Rohingya ke Bangladesh. Sebanyak 740.000 orang melarikan diri dari kekerasan dengan militer pada 2017 lalu.
Akibat kejadian 2017 itu, penyelidik PBB telah menyerukan perwira militer senior untuk dituntut atas dakwaan "pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran." Meski demikian, militer membantah melakukan kesalahan tersebut.
Baru-baru ini, warga sipil terperangkap dalam bentrokan antara militer dan Arakan Army.
Sejak November 2018, pertempuran telah menggusur hampir 33.000 orang di sebagian besar Rakhine tengah dan utara, dengan sebagian Negara Bagian Chin, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.
Advertisement
Pemerintah Bersumpah Tumpas Pemberontak Rakhine
Sementara itu, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyerukan upaya penumpasan kaum pemberontak sejak Januari 2019 lalu. Dalam langkah itu ia mengatakan bahwa militer dapat terlibat aktif.
Dikutip dari The Straits Times, juru bicara pemerintah Zaw Htay saat itu mengatakan bahwa Aung San Suu Kyi, bersama Presiden Win Myint dan anggota kabinet lainnya bertemu dengan para pemimpin militer untuk membahas "urusan luar negeri dan keamanan nasional".
"Kantor Presiden telah menginstruksikan militer untuk melancarkan operasi guna menumpas para teroris," kata Zaw Htay dalam konferensi pers di ibu kota Naypyidaw.
Sementara Suu Kyi dilarang menjabat sebagai presiden berdasarkan Konstitusi yang dirancang oleh militer, Win Myint adalah seorang loyalis dan dia dipandang sebagai pemimpin de factopemerintah sipil Myanmar, sementara militer tetap bertanggung jawab atas keamanan.
Sementara itu, menurut PBB, pertempuran antara pasukan pemerintah Myanmar dan pemberontak Tentara Arakan di negara bagian Rakhine telah membuat ribuan orang mengungsi sejak awal Desember.
Tentara Arakan menginginkan otonomi yang lebih besar bagi Rakhine, di mana kelompok etnis setempat yang mayoritas beragama Budha memiliki pengaruh kuat bagi masyarakat di sana.
Dalam serangan baru-baru ini, kelompok pemberontak itu menyasar empat pos polisi pada Jumat 4 Januari, menewaskan 13 petugas dan melukai sembilan lainnya.
Serangan tersebut berlangsung tepat ketika Myanmar tengah merayakan hari kemerdekaannya, media nasional negara itu melaporkan.
Seorang juru bicara Tentara Arakan --yang berada di luar Myanmar-- mengatakan kepada kantor berita Reuters pada pekan lalu, bahwa serangan mereka adalah baalsa terhadap operasi militer besar-besaran yang dilakukan di negara bagian Rakhine, di mana turut menargetkan warga sipil