Liputan6.com, Islamabad - Amarah menyelimuti Nisar Ahmed, penduduk Desa Wasayo, pinggiran Kota Larkana, Provinsi Sindh, Pakistan setelah putrinya yang berusia satu tahun dinyatakan positif mengidap HIV pada Mei 2019 lalu.
Padahal, Ahmed dan istri mengaku tidak pernah terjangkit penyakit itu seumur hidup mereka. Membayangkan saja tak pernah.Â
Advertisement
Baca Juga
"Saya mengutuk (orang) yang telah menyebabkan anak-anak ini terinfeksi," kata Nisar Ahmed di klinik medis setempat seperti dikutip dari Channel News Asia.
Ia menuduh bahwa penyebab penyakit yang diderita si balita dan sejumlah anak lain, sejatinya berasal dari pihak yang berada di luar kendali para orangtua.
Sementara itu, Imam Zadi dari Sindh, Pakistan yang mengantar lima anaknya untuk diperiksa, juga memperlihatkan rasa terpukul. "Seluruh keluarga sangat sedih," katanya kepada AFP.
Orangtua lain mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka yang suram setelah terinfeksi HIV. Terlebih di sebuah daerah di Pakistan di mana warganya kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.
"Dengan siapa ia akan bermain? Dan ketika dewasa, siapa yang sudi menikahinya?" kata seorang ibu yang tak mau disebut namanya, kepada wartawan sambil menangis. Putrinya yang berusia empat tahun baru saja dinyatakan positif HIV.
Otoritas kesehatan di Pakistan masih berjuang untuk mengendalikan wabah HIV di selatan negara itu setelah setidaknya 751 orang, 604 di antaranya adalah anak-anak berusia 2 hingga 15 tahun.
Para pasien didiagnosis mengidap HIV dalam kurun waktu hanya beberapa pekan terakhir.
Berdasarkan penelusuran sementara, menurut para pejabat kesehatan, wabah tersebut dipicu penggunaan jarum suntik yang tidak steril, yang digunakan kembali untuk anak-anak di Provinsi Sindh. Namun, penyebab pasti belum disimpulkan.Â
Akibatnya, kecemasan melanda seluruh negeri, di tengah ketidakpercayaan publik terhadap sistem kesehatan dan rasa skeptis skeptis terhadap program imunisasi.
Wabah HIV tidak biasa menyerang anak-anak -- yang biasanya tertular HIV dari ibu mereka selama kehamilan, kelahiran atau menyusui.
Dan dengan bertambahnya jumlah kasus, para ahli khawatir bahwa virus yang dapat menyebabkan AIDS akan menyebar.
Investigasi awal mengungkapkan bahwa jarum suntik yang dikemas ulang mungkin meningkatkan jumlah kasus HIV dan penyakit lain secara signifikan, kata Zafar Mirza, pejabat kesehatan terkemuka Pakistan, dalam konferensi pers pekan lalu.
"Penggunaan jarum suntik yang tidak aman mungkin menjadi salah satu penyebab penyebaran penyakit ini, tetapi pemerintah berupaya keras untuk memastikan penyebab pastinya," lanjut Mirza, seperti dikutip dari NDTV India, Senin (10/6/2019).
Kekhawatiran bahwa virus itu menyebar dengan cepat tumbuh sejak April 2019 setelah para orangtua di Kota Ratodero memberi tahu dokter setempat bahwa anak-anak mereka jatuh sakit, demam yang tidak dapat mereka kendalikan -- gejala awal yang umum dari HIV.
Ketika hasil tes menunjukkan bahwa anak-anak itu tertular virus HIV, petugas kesehatan menjadi bingung. Apalagi mereka berasal dari orangtua yang bebas virus yang menyerang sistem imun tersebut.
Jarum Suntik Bekas atau...?
Kemudian pejabat melacak sejumlah keluarga yang terinfeksi HIV, hingga akhirnya mengantarkan mereka ke seorang dokter.
Pihak berwenang menangkapnya pada akhir April, menuduhnya menginfeksi puluhan pasien dengan virus melalui jarum suntik yang kotor.
Polisi kemudian menjatuhkan penyelidikan atas dugaan apakah ia sengaja melakukannya, tetapi ia tetap di balik jeruji besi saat penyelidikan berlanjut.
Pengacara dokter itu, mengatakan kepada CNN bahwa kliennya tidak menggunakan jarum suntik yang terinfeksi, dan "telah dijadikan kambing hitam untuk krisis yang lebih besar di wilayah ini."
Ketika berita menyebar di Provinsi Sindh bahwa banyak anak telah terinfeksi HIV, ribuan orang masuk ke pusat kesehatan setempat, meminta untuk dites. Segera, rumah sakit penuh sesak dan ratusan orang lagi menerima diagnosis positif, kata Zafar Mirza, pejabat kesehatan terkemuka Pakistan.
Merespons merebaknya wabah, para pejabat akhirnya menutup klinik yang mereka anggap tidak aman.
Sementara itu, para ahli memperingatkan bahwa masalahnya mungkin jauh melebihi satu dokter karena jarum suntik biasanya digunakan kembali di seluruh wilayah.
"Saya merasa sulit membayangkan itu hanya satu jarum suntik atau satu dokter atau hanya satu kumpulan jarum suntik," kata Werner Buehler, manajer Global Fund untuk program memerangi AIDS, tuberkulosis dan malaria.
Ketika ratusan orang menerima diagnosis dalam periode waktu yang singkat, "itu terlihat seperti praktik yang tersebar luas," lanjut Buehler.
Wilayah Pakistan pernah mengalami wabah HIV sebelumnya, tetapi biasanya mempengaruhi populasi yang lebih tua dan berasal dari tingkat infeksi yang tinggi pada pekerja seks dan pengguna narkoba suntik.
Penggunaan jarum suntik bekas di fasilitas medis secara luas dilarang karena jarum dapat dengan mudah menyebarkan virus seperti HIV dan Hepatitis C di antara pasien.
Meskipun dianggap malapraktik, jarum suntik sering digunakan kembali di Pakistan, "terutama di kalangan orang miskin," kata Quaid Saeed, penasihat HIV/AIDS untuk Program Pengendalian AIDS Nasional Pakistan.
Namun, fakta bahwa sebagian besar dari mereka adalah anak-anak merupakan "hal yang luar biasa (dalam makna negatif)," kata Werner Buehler.
Advertisement
Penyelidikan PBB
Pada akhir Mei 2019, atas permintaan pemerintah Pakistan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengirim tim ke wilayah itu untuk menyelidiki penyebab wabah tersebut. Grup akan mengumumkan temuannya pada akhir Juni 2019.
Mereka datang untuk menjawab pertanyaan yang perlu dijawab sehingga tindakan pencegahan dapat diadopsi untuk menghindari wabah seperti itu di tempat lain di Pakistan, di kawasan dan seluruh dunia.
Dipimpin oleh Dr Oliver Morgan, Direktur Informasi Darurat Kesehatan dan Penilaian Risiko, dalam Program Kedaruratan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebuah tim internasional beranggotakan 11 orang membahas secara terperinci wabah HIV yang sedang berlangsung di Ratodero dan berencana memulai penyelidikan epidemiologis ke dalam wabah di Larkana, Pakistan.
"Masih ada banyak permasalahan dan situasi yang kompleks terkait fenomena (baru-baru) ini," kata Abdul Razak Shaikh, pensiunan pejabat Provinsi Sindh, dalam kolom opini untuk Pakistan Observer.
Sementara itu, Zafar Mirza, pejabat pemerintah, mengatakan Pakistan telah meminta tambahan 50.000 alat pendeteksi dan rencana untuk mendirikan tiga pusat perawatan baru di Provinsi Sindh, tempat wabah dimulai.
Bahkan sebelum wabah itu, Pakistan tertinggal jauh di belakang tujuan ambisius PBB mengenai standardisasi pengobatan dan pencegahan HIV secara global.
Pada tahun depan, Badan PBB urusan Penanggulangan AIDS (UNAIDS) bertujuan untuk mendiagnosis HIV pada 90 persen orang yang terinfeksi, menyediakan 90 persen dari mereka dengan ARV (antiretroviral) dan menekan virus pada 90 persen dari mereka yang diobati.
Tetapi badan tersebut telah memperingatkan bahwa epidemi ini meluas di Pakistan, dengan kasus di antara kaum muda meningkat sebesar 29 persen antara 2010 dan 2017.
Mirza mengatakan bahwa perkiraan kasar untuk jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Pakistan adalah sekitar 163.000.
Tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang terdaftar dalam program bantuan yang dikelola pemerintah, sebagian besar, katanya, karena penyakitnya "dibawa ke sini sebagai stigma besar yang memalukan."
Bahwa sebagian besar diagnosis dalam beberapa pekan terakhir pada anak-anak memiliki tantangan lain: hanya ada sejumlah kecil obat antiretroviral ramah anak yang tersedia, karena HIV lebih jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Sebelum wabah itu merebak, WHO telah mendokumentasikan hanya 1.200 kasus anak-anak yang diobati dengan ARV di seluruh negara.
Mencoreng Nama Pakistan?
Merebaknya wabah HIV dianggap sebagai kemunduran pejabat kesehatan Pakistan, terutama dari kacamata warga lokal yang selama ini mendiskreditkan program-program pemerintah.
Selama beberapa dekade, Pakistan telah memerangi kesalahpahaman di antara warganya, misalnya bahwa imunisasi polio menyebabkan kelumpuhan dan infertilitas.
Banyak kemajuan telah dibuat untuk memastikan partisipasi warga yang pernah resisten terhadap vaksin itu, yang diberikan melalui obat tetes mulut. Buktinya, jumlah kasus polio berkurang dari 20.000 pada tahun 1994 menjadi 12 pada tahun lalu.
Tetapi awal tahun ini, kepanikan muncul setelah desas-desus beredar bahwa vaksinasi polio justru menyebabkan anak-anak sakit.
Pada awal tahun ini, dalam waktu tiga pekan, enam petugas vaksin dan pengawal mereka ditembak mati, memaksa para pejabat untuk sementara waktu menunda upaya imunisasi . Dan setidaknya 15 kasus polio baru telah dilaporkan tahun ini.
Advertisement