Protes RUU Ekstradisi, Warga Hong Kong Kembali Padati Gedung Pemerintahan

Warga Hong Kong kembali memadati gedung pemerintahan pada hari Rabu, saat RUU ekstradisi China diperdebatkan.

oleh Siti Khotimah diperbarui 12 Jun 2019, 10:33 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2019, 10:33 WIB
Warga Hong Kong protes menolak ekstradisi (AP Photo)
Warga Hong Kong protes menolak ekstradisi (AP Photo)

Liputan6.com, Hong Kong - Ribuan warga Hong Kong kembali berunjuk rasa pada Rabu, 12 Juni 2019 di sekitar gedung pemerintahan. Massa demonstran dan polisi setempat terjebak dalam kebuntuan, saat kemarahan masyarakat terkait RUU ekstradisi ke China daratan semakin membesar.

Massa aksi mengenakan topeng dan helm di wajah, memblokir jalan-jalan utama di sekitar gedung pemerintah. Polisi dengan pakaian anti huru-hara merespons dengan menggunakan semprotan merica pada pengunjuk rasa untuk membubarkan mereka. Petugas keamanan menambahkan, mereka siap untuk "menggunakan kekuatan," lapor BBC News dikutip Rabu (12/6/2019).

Protes pada Rabu ini berlangsung beberapa jam sebelum Dewan Legislatif akan memperdebatkan RUU ekstradisi yang dimaksud. Pemerintah mengatakan akan terus mendorong upaya ekstradisi, terlepas dari masifnya penolakan dari masyarakat Hong Kong.

Pemungutan suara final diharapkan akan terlaksana pada 20 Juni mendatang, dengan Dewan Legislatif pro-Beijing, kata BBC, diperkirakan akan meloloskan RUU tersebut.

Dalam adegan-adegan yang menyerupai gerakan Payung pro-demokrasi 2014, ribuan pengunjuk rasa - kebanyakan anak muda dan pelajar - telah turun ke jalan dan berusaha memblokir akses ke gedung-gedung pemerintah menjelang debat.

Kepolisian Hong Kong mengatakan melalui sebuah twit pada Rabu, bahwa tindakan protes itu "telah melampaui ruang lingkup pertemuan damai."

"Kami meminta (para pengunjuk rasa) untuk pergi sesegera mungkin ... kalau tidak kami akan menggunakan kekuatan yang sesuai," lanjut kepolisian.

Kritik terhadap RUU amandemen undang-undang ekstradisi menyebut dugaan penggunaan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan pengakuan paksa dalam sistem peradilan China daratan.

Pemerintah telah menjanjikan perlindungan hak asasi manusia yang mengikat secara hukum dan langkah-langkah lain, berusaha menghilangkan kekhawatiran akan ekstradisi.

Namun demikian, hal ini telah menyebabkan aksi unjuk rasa terbesar di wilayah tersebut sejak ia dikembalikan ke China oleh Inggris pada tahun 1997.

Polisi mengatakan mereka juga sedang menyelidiki ancaman pembunuhan yang ditujukan pada Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dan anggota departemen kehakiman terkait dengan RUU tersebut.

Simak pula video pilihan berikut:

Pemerintah: RUU Ekstradisi Tetap Menjamin HAM

Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong terpilih
Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong terpilih (Kin Cheung/AP)

Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan ia tidak akan membatalkan RUU Ekstradisi yang kontroversial, meskipun ada protes massal yang dihadiri ratusan ribu orang. Ia menilai, RUU justru memberikan manfaat bagi wilayah eks-koloni Inggris itu.

Pada Minggu 9 Juni 2019, ratusan ribu orang berunjuk rasa menentang Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 yang dikhawatirkan para kritikus dapat memungkinkan China untuk meminta untuk mengekstradisi lawan politik di wilayah tersebut dan membawanya untuk diadili di Tiongkok daratan.

Dalam penjelasannya pada Senin 10 Juni, Lam bersikeras bahwa hukum itu perlu dan mengatakan perlindungan hak asasi manusia sudah ada, demikian seperti dikutip dari keterangan pers tertulis yang diterima Liputan6.com dari Hong Kong Economic and Trade Office Jakarta (HKETO Jakarta), Selasa 11 Juni 2019.

"Kami sudah mendengar sejumlah masukan dari berbagai sektor ... terutama terkait perlindungan HAM, dan hal itu sekarang sudah dibahas oleh para pemangku kepentingan, dan kami akan terus melakukannya," jelas Lam kepada reporter di Hong Kong pada 10 Juni 2019.

Lam mengatakan bahwa pada area HAM, pemerintahannya tengah berusaha untuk membentuk 'pengaman' tambahan, "bahkan hingga menyerupai standar Konvensi Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICPR) serta memiliki ketetapan hukum yang mengikat."

"Kami (juga) akan meminta pihak yang meminta ekstradisi untuk memenuhi penjaminan hak asasi manusia sebelum penyerahan tahanan dilakukan," ujarnya.

Perihal yurisdiksi ekstradisi, Carrie Lam juga mengatakan bahwa pemerintah Hong Kong masih terus memperbaiki berbagai sektor, yang dinilai para kritikus, berpotensi menimbulkan celah untuk pelanggaran.

"Semua ini merupakan faktor penting untuk menjamin good governance di Hong Kong," kata Lam.

AS dan Inggris Dukung Demonstran

Tolak RUU Ekstradisi, Pengunjuk Rasa di Hong Kong Bentrok dengan Polisi
Polisi terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa yang menolak RUU Ekstradisi di luar gedung parlemen, Hong Kong, Senin (10/6/2019). Pihak berwenang menyatakan massa aksi mencapai 240.000 orang. (AP Photo/Kin Cheung)

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan lembaga serupa milik Inggris untuk urusan Asia-Pasifik menyatakan dukungan terhadap warga Hong Kong yang memprotes RUU ekstradisi China. Dukungan tersebut disampaikan pada Senin, 10 Juni 2019 dengan pemerintah Negeri Paman Sam mengekspresikan "keprihatinan serius".

"Demonstrasi damai dari ratusan ribu warga Hong Kong kemarin jelas menunjukkan oposisi publik terhadap amandemen yang diusulkan," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus dalam konferensi pers reguler sebagaimana dikutip dari South China Morning Post.

Demonstrasi yang dimaksud merujuk pada protes Minggu, 9 Juni 2019 di Hong Kong, yang menurut panitia telah menerjunkan lebih dari satu juta orang.

Pernyataan AS datang ketika Mark Field, menteri Inggris untuk Asia dan Pasifik, berbicara tentang hak dan kebebasan Hong Kong.

Field mengatakan pawai protes "adalah demonstrasi yang jelas dari kekuatan perasaan di Hong Kong".

"Banyak yang sangat khawatir warga negara Hong Kong dan penduduk berisiko ditarik ke dalam sistem hukum China, yang dapat melibatkan penahanan pra-persidangan yang panjang, pengakuan di televisi dan tidak adanya perlindungan hukum seperti yang kita lihat di Hong Kong dan di Inggris," kata Field.

Field juga berbicara lebih jauh isu Hong Kong tersebut saat ditanya di House of Commons dari anggota parlemen Partai Buruh Catherine West, khususnya tentang dampak RUU ekstradisi pada Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris.

"Kami akan terus menekankan kepada otoritas Hong Kong dan China bahwa kebijakan 'satu negara, dua sistem' harus dipertahankan. Hong Kong harus menikmati sepenuhnya tingkat otonomi dan aturan hukum yang tinggi sebagaimana ditetapkan dalam deklarasi bersama dan diabadikan dalam Undang-Undang Dasar (Basic Law)," kata Field.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya