Liputan6.com, California - Lima puluh tahun berlalu, setelah NASA mengirimkan tiga astronautnya ke Bulan pada 20 Juli 1969 melalui misi Apollo 11, delapan tahun setelah Presiden Amerika Serikat kala itu, John F. Kennedy, mengumumkan ambisi besarnya.
Setelah itu, lima kru misi lainnya pun sukses menapaki kaki mereka lewat Apollo 12, Apollo 14, Apollo 15, Apollo 16, dan Apollo 17. Setelahnya, NASA seolah memilih rehat dari perjalanan panjang pencapaian terbesar umat manusia.
Sejak saat itu, belum pernah ada antariksawan yang kembali ke tetangga terdekat Bumi tersebut, meskipun banyak wahana dan robot yang dikirim ke Bulan untuk meneliti atau sekedar menjelajah, berharap menemukan sesuatu yang baru. Namun mesin-mesin ini tak berawak.
Advertisement
Sesungguhnya, NASA telah membangun beberapa proyek berawak sejak Apollo berakhir, termasuk Constellation Program pada pertengahan 2000-an. Namun tidak satupun dari program-program tersebut yang mampu menempuh jarak jauh di antariksa.
Jadi, mengapa NASA bisa cepat memproses seluruh misi Apollo pada zaman dahulu, sedangkan sekarang tidak? Apa yang membedakan Apollo dengan misi sekarang?
Alasannya sederhana, sebab waktu itu Amerika Serikat sedang berlomba-lomba dengan Uni Soviet untuk merajai ruang angkasa, biasa disebut "Cold War Space Race."
"Itu adalah pertempuran dengan cara lain, memang seperti itu kenyataannya, benar-benar demikian," ujar Roger Launius, yang menjabat sebagai kepala sejarawan NASA dari 1990 hingga 2002 dan menulis buku "Apollo's Legacy" (Smithsonian Books, 2019).
"Kita belum memilikinya lagi sejak itu (Apollo)," lanjutnya, seperti dikutip dari Space.com pada Senin (22/7/2019).
Uni Soviet menembakkan beberapa salvo pertama dalam perang proksi ini. Negara yang kiini dikenal sebagai Rusia tersebut meluncurkan satelit pertamanya, Sputnik 1, pada Oktober 1957 dan menempatkan manusia pertama di angkasa luar, Yuri Gagarin, pada April 1961. Namun tidak sampai ke Bulan.
Pertunjukan itu mungkin membuat para pejabat Amerika Serikat khawatir, yang menginginkan kemenangan besar mereka sendiri. Putar otak, akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim orang ke Bulan, dengan maksud menggeser posisi Soviet sebagai idola dunia di bidang kedirgantaraan.
Â
Â
Persaingan AS dan Uni Soviet
AS ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa masa depan terletak pada sistem politik dan ekonominya, bukan pada saingan komunisnya. Program ini lalu dinamakan "Apollo."
"Misi Apollo pada dasarnya bukan tentang pergi ke Bulan," ujar John Logsdon, seorang profesor emeritus ilmu politik dan hubungan internasional di Elliott School of International Affairs di The George Washington University.
"Mereka berniat untuk menunjukkan kepemimpinan global Amerika dalam kompetisi Perang Dingin dengan Uni Soviet," lanjutnya.
NASA kemudian diberikan segala sesuatunya, sumber daya vital yang diperlukan untuk melakukan peluncuran ke Bulan. Suntikan dana dalam jumlah besar juga digelontorkan oleh administrasi pusat, yakni sekitar US$ 25,8 miliar untuk Apollo, terhitung dari tahun 1960 hingga 1973 --atau hampir US$ 264 miliar dalam dolar saat ini.
Selama pertengahan 1960-an, NASA mendapat sekitar 4,5% pemasukan dari anggaran federal. Namun di satu sisi, NASA juga menderita sejumlah sentimen yang telah dijalankan pada masa lalu.
Misalnya, Constellation Program yang terbentuk di bawah Presiden George W. Bush, dibatalkan pada tahun 2010 oleh Presiden Barack Obama.
Obama mengarahkan NASA untuk mengirim astronaut ke asteroid dekat Bumi. Namun sekarang, Presiden Donald Trump mematahkan rencana itu pada tahun 2017, membuat agensi ini kembali ke jalur awalnya: fokus ke Bulan.
NASA pada mulanya menargetkan pengiriman manusia ke satelit alami Bumi pada tahun 2028, perdana sejak misi Apollo berakhir, tetapi pada Maret lalu, Wakil Presiden Mike Pence menginstruksikan NASA untuk menyelesaikan targetnya pada tahun 2024.
Advertisement
Tekanan dari Pemerintah?
Tekanan serupa pun datang dari Trump sendiri, yang menyetarakan misi ke Bulan sebanding dengan peluncuran berbagai rover ke Mars. Dengan pengalaman yang mumpuni, lima kali mendaratkan manusia di Bulan, mungkin bukan sebuah hal yang mustahil bagi NASA untuk membuat AS berjaya lagi.
Akan tetapi, administrator NASA Jim Bridenstine mengatakan ada "risiko politik" yang menghancurkan Constellation Program dan program lainnya.
"Risiko politik muncul lantaran prioritas berubah, anggaran berubah, administrasi berubah, Kongres berubah," Bridenstine menyampaikan pidato di hadapan seluruh staf NASA di balai kota, 14 Mei.
"Jadi, bagaimana kita menghindari risiko politik sebanyak mungkin? Kami mempercepat program. Pada dasarnya, semakin pendek program itu, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan, dan semakin sedikit risiko politik yang kami tanggung. Dengan kata lain, kami dapat mencapai kondisi akhir," lanjutnya.
Rencana pendaratan yang ditargetkan bisa dicapai pada 2024 adalah bagian dari program Artemis, yang bertujuan untuk membangun fasilitas penunjang manusia jangka panjang dan berkelanjutan di dan di sekitar Bulan.
Namun, tujuan utamanya hanya satu, adalah sebagai batu loncatan bagi perjalanan kru ke lokasi di mana ambisi terbesar NASA berada: Mars. NASA sesungguhnya ingin sekali 'mencetak' jejak sepatu boot manusia pertama di Planet Merah sekitar tahun 2030-an.
Akan tetapi, tampaknya rencana besar itu harus ditahan untuk sementara waktu dan menitikberatkan pada permintaan dari pemerintah pusat: kembali ke Bulan. Â