China: Mayoritas Uighur di 'Fasilitas Pendidikan' Xinjiang Telah Keluar

Pejabat Xinjiang, provinsi terbarat China, mengatakan, sebagian besar Uighur yang berada di fasilitas pendidikan kontroversial, telah kembali ke masyarakat.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 31 Jul 2019, 13:03 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2019, 13:03 WIB
Pusat pelatihan vokasional di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) dari tampak jalan raya (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Pusat pelatihan vokasional di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) dari tampak jalan raya (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Liputan6.com, Urumqi - Pejabat di Xinjiang, provinsi terbarat China, mengatakan bahwa sebagian besar orang Uighur yang berada di "fasilitas pendidikan" kontroversial, telah kembali ke masyarakat dan menandatangani "kontrak kerja" dengan perusahaan lokal.

Kabar itu datang di tengah sorotan konstan dari media-media Barat, yang menuduh China telah "menahan jutaan orang Uighur dan etnis minoritas lain" dalam sebuah "kamp pendidikan ulang" sejak kerusuhan etnis berdarah di Xinjiang pada 2009.

Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR) --nama resmi Xinjiang-- adalah rumah bagi Uighur, Kazakh, dan kelompok etnis minoritas Muslim lainnya.

China konsisten membantah tuduhan dan menyebut bahwa fasilitas itu adalah "pusat pelatihan vokasional" yang juga berfungsi sebagai cara untuk menanggulangi benih-benih "separatisme, radikalisme dan ekstremisme."

Pada jumpa pers di Beijing pada Selasa 30 Juli 2019, Shohrat Zakir, Gubernur Xinjiang, menolak mengatakan berapa banyak orang ditahan di pusat-pusat itu, tetapi membela sistem itu sebagai pendekatan yang efektif dan "perintis" untuk melawan "terorisme".

"Sebagian besar lulusan dari pusat pelatihan kejuruan telah diintegrasikan kembali ke masyarakat," kata Zakir seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (31/7/2019).

"Lebih dari 90 persen lulusan telah menemukan pekerjaan yang memuaskan dengan pendapatan yang baik," tambah sang gubernur.

Amerika Serikat, kelompok hak asasi manusia dan analis independen Barat memperkirakan bahwa sekitar satu juta Muslim telah ditahan secara sewenang-wenang di fasilitas-fasilitas interniran Xinjiang yang dijaga ketat.

Wakil kepala pemerintahan Xinjiang, Alken Tuniaz mengatakan laporan penganiayaan di kamp-kamp tersebut hanya dibuat oleh beberapa negara dan media.

Orang-orang Uighur dan lainnya diizinkan untuk "meminta waktu istirahat" serta "pulang secara teratur." Sementara mereka tidak diizinkan mempraktikkan agama mereka selama "masa studi," namun, dapat melakukannya begitu mereka berada di rumah, katanya.

Para pejabat tidak membahas apakah program itu bersifat sukarela atau seberapa sering orang diizinkan pulang.

Simak video pilihan berikut:

Turki Berencana Kirim Tim ke Xinjiang

Seorang "siswa" menggunakan fasilitas telpon di pusat pelatihan vokasional di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Seorang "siswa" menggunakan fasilitas telpon di pusat pelatihan vokasional di Atush, Prefektur Otonomi Kizilsu Kirgiz, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR), China. (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Pada kabar lain, Turki mengumumkan tengah bersiap untuk mengirim "tim pengamat" ke provinsi terbarat China, Xinjiang, rumah bagi etnis minoritas Uighur yang sedang menjadi sorotan.

Pengumuman itu datang dari Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu yang mengatakan bahwa pengiriman tim dilakukan setelah Ankara membahas situasi Uighur dengan Tiongkok, Reuters melaporkan seperti dikutip dari situs berita Turki Ahval News, Rabu (31/7/2019).

Sejak kerusuhan di Xinjiang pada 2009, China telah meningkatkan kehadiran polisi di wilayah tersebut dan mendirikan apa yang disebutnya "fasilitas pendidikan vokasional" untuk warga Uighur dan sekelompok etnis minoritas lain, seperti Kazakh dan Kirgiz.

Panel HAM PBB pada Agustus 2018 menyebut bahwa setidaknya "jutaan" orang Uighur di Xinjiang ditampung dalam fasilitas tersebut.

Terkait kehadiran fasilitas itu, kelompok-kelompok hak asasi seperti Human Rights Watch (HRW) menuduh Beijing melakukan kampanye massal pelanggaran sistematis hak asasi manusia terhadap Uighur yang masuk dalam kelompok Bangsa Turk.

Tetapi, China menjustifikasi kehadiran fasilitas yang disebutnya sangat diperlukan untuk menanggulangi benih-benih "separatisme, radikalisme, ekstremisme, hingga terorisme."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya