Begini Kehidupan di Wuhan Sebulan Setelah Ditutup Akibat Virus Corona

Bagaimana keadaan warga di Wuhan, setelah menjalani karantina massal lebih dari satu bulan akibat Virus Corona COVID-19?

diperbarui 04 Mar 2020, 14:56 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2020, 14:56 WIB
Menengok Kondisi Terkini Kota Wuhan
Warga membawa makanan dan sayuran di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (3/3/2020). Hingga saat ini, jumlah total kasus virus corona secara global dilaporkan mencapai 89.770 kasus yang tersebar di sekitar 70 negara termasuk Indonesia. (AFP/STR)

Wuhan - Persebaran kasus COVID-19 kian meluas dan dikhawatirkan akan terus merebak. Indonesia melaporkan kasus pertamanya setelah Presiden Joko Widodo mengkonfirmasi dua warga positif terjangkit Virus Corona pada 2 Maret 2020.

Mengutip ABC Indonesia, Rabu (4/3/2020), perilaku panic buying atau membeli bahan kebutuhan hidup dalam jumlah besar dipicu dengan kepanikan juga mulai terjadi. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di Australia.

Para pakar kesehatan sejauh ini sudah mengatakan bahwa yang patut dilakukan untuk mewaspadai terkena Virus Corona adalah dengan menjaga kebersihan diri sendiri, seperti mencuci tangan, serta tidak menyentuh muka dengan tangan.

Apakah sudah diperlukan tindakan untuk menumpuk makanan di rumah?

Kota Wuhan, ibu kota Provinisi Hubei dengan penduduk sekitar 11 juta jiwa, diketahui menjadi tempat berasalnya Virus Corona. Sejak awal tahun, Wuhan sudah dinyatakan tertutup dan sampai sekarang masih membatasi sebagian besar pergerakan warganya.

Lantas, bagaimana keadaan warga di sana, setelah menjalani karantina massal lebih dari satu bulan?

Pada Selasa (3/2/2020), kantor berita China Xinhua melaporkan situasi di Wuhan masih mengkhawatirkan, tapi ada tanda-tanda positif.

"Jumlah kasus baru yang positif pada Minggu, 1 Maret di Wuhan adalah 193 orang, jumlah paling rendah, dan jumlah kasus yang dicurigai juga menurun," kata Chen Erzhen, yang memimpin tim medis asal Shanghai untuk membantu Provinsi Hubei menangani kasus Corona.

Dengan kasus baru yang berkurang, menurut Ma Xiaowei, Direktur Komisi Kesehatan Nasional China dalam jumpa pers hari Jumat, Kota Wuhan saat ini memiliki 5 ribu tempat tidur di 16 rumah sakit darurat yang bisa menampung pasien baru.

Disebutkan setiap harinya jumlah pasien yang boleh keluar dari rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan jumlah kasus baru.

Sampai hari Minggu di China, Provinsi Hubei melaporkan adanya 67.103 kasus Corona Virus COVID-19 dan 283 kematian.

Dari jumlah tersebut, 33.757 pasien di provinsi Hubei sudah dinyatakan sehat kembali dan meninggalkan rumah sakit. Sementara 26.901 masih dirawat di beberapa rumah sakit.

Namun menurut kantor berita Xinhua, situasi keseluruhan masih mengkhawatirkan.

"Walau angka penyebaran sudah berhasil dikurangi, namun pertarungan keseluruhan masih jauh dari selesai," kata Zhou Jiazi, peneliti dari Akademi Ilmu Kedokteran China. Sementara itu, sejumlah mahasiswa Indonesia yang sudah dievakuasi keluar dari Wuhan merasa belum ada kepastian kapan mereka bisa kembali ke Wuhan.

Mereka berharap situasi di Wuhan bisa kembali normal, agar mereka bisa segera menyelesaikan studinya.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Berdampak pada Kesehatan Mental

Menengok Kondisi Terkini Kota Wuhan
Warga mengenakan masker berjalan di sebuah jalan di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (3/3/2020). Sejauh ini, total 80.026 kasus virus corona terkonfirmasi di wilayah China daratan. (AFP/STR)

Karantina massal yang dilakukan di China di seluruh kota dan provinsi, seperti di Hubei dan Wuhan, tentu saja menimbulkan masalah bagi warganya.

Tidak saja secara fisik, menurut laporan media Inggris, The Guardian, masalah yang juga dihadapi warga adalah kesehatan mental.

Mengutip seorang mahasiswi PhD asal Wuhan di Inggris bernama Wi, Guardian melaporkan mengenai keadaan orangtua Wi yang tinggal di Wuhan dan sudah menjalani karantina selama lebih dari 20 hari.

"Sekarang dengan seluruh Wuhan ditutup, semua transportasi umum dan mobil pribadi tidak boleh beroperasi, jadi mereka bahkan tidak boleh mengendarai mobil sendiri di jalan," kata Wi.

"Jadi setiap hari mereka hanya di rumah, makan, tidur dan nonton televisi. Itu saja yang bisa mereka lakukan," katanya.

Orangtua Wi belum mendapatkan keterangan sampai kapan mereka harus tetap tinggal di rumah.

Wi mengatakan khawatir dengan kesehatan mental orang tuanya, setelah melihat di media sosial ada yang berkomentar lebih memilih bunuh diri dibandingkan harus menjalani karantina lebih lama lagi.

“Musuh terbesar adalah bukanlah virus Corona, tapi kesehatan mental.""Ketika kita harus tinggal dalam sebuah kamar selama setengah bulan, kita tidak bisa keluar atau menghirup udara segar," ujar Wi kepada The Guardian.

Bagaimana Warga Wuhan Penuhi Kebutuhan Hidup?

Menengok Kondisi Terkini Kota Wuhan
Seorang penduduk menerima sekantong makanan di atas tembok di Wuhan di provinsi Hubei tengah China (3/3/2020). Wuhan merupakan kota di China yang menjadi awal mula wabah virus corona. (AFP/STR)

Dengan kota seperti Wuhan yang ditutup dan warga dibatasi pergerakannya, bagaimana kehidupan warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka?

Menurut kantor berita AFP, sebagian warga Wuhan mendapatkan pasokan makanan dengan menggunakan jasa antar, sejenis Gojek di Indonesia.

Di China, jejaring sosial yang digunakan adalah WeChat, yang sedang sangat populer di negeri tersebut.

Sejak kota Wuhan ditutup Januari lalu, pemerintah masih mengizinkan warga untuk meninggalkan kediaman mereka tiga hari sekali, sehingga saat itu masih ada waktu bagi warga untuk membeli bahan makanan untuk disimpan.

Namun sekarang di beberapa kawasan, larangan bepergian ke luar rumah sudah tidak diperbolehkan sama sekali.

Supermarket dan toko-toko di Kota Wuhan bahkan sudah membuat layanan antar di WeChat, sehingga warga bisa membeli makanan, seperti daging, susu atau sayuran.

Di beberapa kawasan, warga bisa saling berhubungan. Mereka membeli barang dalam jumlah besar, untuk kemudian dikirimkan ke rumahnya masing-masing.

Salah seorang warga di Wuhan bernama Guo Jing mengatakan kepada AFP bahwa melakukan order bersama warga lain merupakan satu-satunya cara untuknya bisa membeli makanan.

Di kawasan permukimannya, dia mendapat jatah membeli 6 kg sayuran, yang terdiri dari lima jenis sayuran, dengan harga sekitar Rp 100 ribu.

"Kita tidak memiliki pilihan dengan makanan yang akan kita santap," kata Guo.

"Kita tidak memiliki pilihan pribadi lagi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya