Liputan6.com, Jakarta - Saling ancam, melempar sanksi, hingga berupaya menutup perwakilan diplomatik satu sama lain. Hubungan panas Amerika Serikat dan China kini di ambang perang dingin.
Tensi panas antara China dan AS memperpanjang kisruh dua negara adidaya yang sudah kurang lebih telah berlangsung 18 bulan sejak Perang Dagang dimulai pada Juli 2018. Menurut laporan dari Public Policy Initiative Wharton University of Pennsylvania, sebagian besar perang dagang ini disebabkan dua faktor utama.
Yaitu persepsi Amerika Serikat bahwa perdagangan dengan China tidak setara, dan bahwa Tiongkok telah berpartisipasi dalam aksi intelektual yang tidak adil dalam praktik properti. Ketika perang perdagangan berlanjut, ekspor Amerika Serikat telah menderita, mempengaruhi bisnis dan konsumen, meskipun dengan cara yang berbeda.
Advertisement
China membalas dengan memberlakukan tarif yang mempengaruhi lebih dari 100 produk Amerika senilai sekitar US$ 50 miliar.
Puncak memanasnya tensi kedua negara ketika pemerintah AS meminta pihak China untuk menutup konsulatnya di Houston pada 22 Juli. Beijing pun membalasnya dengan memerintahkan AS menutup konsulat jenderalnya di kota Chengdu, provinsi Sichuan.
Sejumlah pengamat melihat eskalasi ini sebagai perang dingin baru. "Saya pikir kita berada dalam spiral yang berbahaya dan terjal ke bawah. Bukan tanpa sebab," ujar direktur Pusat Hubungan AS-China di Asia Society, Orville Schell seperti dilansir The New York Times.
Keparahan konfrontasi, menurutnya, "telah melompati tembok dari tantangan spesifik dan dapat dipecahkan hingga bentrokan sistem dan nilai-nilai."
Presiden Dewan Bisnis AS-China Craig Allen menambahkan, dirinya khawatir dengan meningkatnya "adu mulut" dari dua negara adidaya ini. Apalagi mereka mewakili 40% dari output ekonomi global.
"Jika kita (AS-China) saling berteriak dan membanting pintu, maka dunia akan menjadi tempat yang sangat tidak stabil dan bisnis tidak dapat direncanakan," kata Allen.
Baca Juga
Meski AS menggunakan alasan keamanan saat meminta China menutup konsulatnya di Houston, pengamat kurang yakin atas narasi itu. Tuduhan mata-mata dianggap sebagai lagu lama, dan motif politik ditaksir sebagai alasan penutupan konsulat China di Texas.
Aroma kampanye terselubung yang dilakukan Trump jelang Pilpres AS 2020 tercium. Pengamat politik AS Didin Nasirudin melihat Texas adalah daerah krusial yang saat ini menjadi swing state. Ini berbahaya bagi Trump pada Pilpres November mendatang, apalagi ia sedang menghadapi masalah pandemi Virus Corona COVID-19.
"Itu upaya Donald Trump untuk mengalihkan perhatian orang dari kesalahan dia. Seperti yang kita tahu Amerika adalah negara dengan jumlah kematian akibat COVID-19 yang terbesar di dunia," ujar Didin kepada Liputan6.com, Jumat (24/7/2020).
"Apalagi kalau dilihat polling-polling, sekarang (Trump) sudah jauh," lanjutnya.
Didin menunjukan, popularitas Donald Trump sedang jatuh baik di tingkat nasional maupun swing states. Peroleh suara Trump bahkan lebih rendah ketimbang pilpres 2016 ketika melawan Hillary Clinton.
Berikut data Joe Biden yang unggul dari RealClearPolitics per 24 Juli 2020:
Michigan: Biden +8 persen
Florida: Biden +7 persen
Pennsylvania: Biden +7,3 persen
Wisconsin: Biden +6 persen
North Carolina: Biden + 2 persen
Di tingkat nasional Joe Biden unggul 8,7 persen. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang Hillary Clinton yang hanya unggul 1,2 persen pada 24 Juli 2016.
Karena Presiden Trump diprediksi kalah di Florida, Didin menilai langkah penutupan konsulat China di Houston adalah upaya Trump melindungi popularitasnya di Texas.
Saat ini, Trump hanya unggul +0,2 persen di Texas menurut RealClearPolitics, bahkan survei lain dari Quinnipiac University menunjukkan, Biden sudah unggul. Padahal, Texas sejatinya adalah basis Partai Republik yang pro-Trump.
"Dengan menutup Konsulat China di Houston, Trump mungkin ingin menunjukkan kepada pemilih di Texas bahwa dia telah berjasa menghentikan kegiatan spionase China di negara bagian tersebut," jelas Didin.
Perseteruan antara AS dan China juga memiliki implikasi terhadap Laut China Selatan. China masih secara pihak mengklaim teritori Laut China Selatan. Klaim itu ditentang negara-negara ASEAN dan AS ikut melibatkan diri karena menganggap punya kepentingan.
Lantas bagaimana kans terjadinya konflik terbuka antara AS dan China di wilayah itu? Didin menilai nasib di Laut China Selatan, termasuk skenario terburuk, harus menunggu hasil dari Pilpres AS pada November mendatang.
"Amerika sekarang sedang masa transisi. Ketika presidennya berganti di Amerika mungkin policy-nya berubah. Saat ini perang dingin Amerika-China bikinan Trump. Jadi kalau pemerintahnya berubah, jadi mungkin akan berubah, kemungkinan besar tidak akan seperti sekarang," ungkap Didin.
Jika Donald Trump tidak terpilih lagi, ia melihat ada kemungkinan perang dagang dan ketegangan bisa mereda. "Trump konfrontatif dan Partai Republik itu terkenal hawkish, jadi peluangnya bisa konfrontasi, sementara Partai Demokrat lebih pragmatis," kata Didin. "Lihat November hasilnya seperti apa."
Indonesia sejatinya bersikap netral dalam perseturuan AS-China. Pemerintah memilih untuk bekerja sama dengan kedua belah pihak.
Namun, Didin melihat posisi itu belum tentu mudah dijalankan. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak kepentingan ekonomi dan bisnis dengan China sehingga bakal terdampak.
"Sebagai negara yang bebas-aktif, Indonesia secara prinsip kita mengambil hubungan baik dengan berbagai pihak, tetapi sebagai negara yang secara teritori dekat dengan China dan tergantung ke China untuk berbagai proyek di Indonesia, ya mau tak mau akan terseret juga," jelas Didin.
Beberapa proyek Indonesia bersama China adalah proyek Kereta Cepat dan Tol Trans Jawa. Baru-baru ini, BUMN PT Bio Farma (Persero) juga bekerja sama dengan perusahaan farmasi China, yakni Sinovac, untuk mengembangkan vaksin Virus Corona.
Terkait dampak perang dingin AS Vs China ke Indonesia, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menyatakan akan terasa baik langsung maupun tidak langsung. "Ketidak-harmonisan hubungan antara kedua negara besar, baik langsung ataupun tidak langsung akan berdampak bagi negara-negara di dunia," ujar Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com.
"Hal ini juga berdampak pada Indonesia," tambahnya.
Menurut Teuku Faizasyah, contoh dari ketidak-harmonisan hubungan dua negara besar ini akan berdampak pada banyak hal. Salah satunya dampak penggunaan teknologi dunia.
"Satu contoh saja terkait penggunaan teknologi artificial intelligence atau teknologi masa depan 5G," ujar Teuku Faizasyah.
Dikarenakan hal tersebut, Teuku Faizasyah menilai jika tersebut bisa menimbulkan kebingungan pada negara-negara di dunia. "Negara-negara di dunia akan dihadapkan pada pilihan antara menggunakan teknologi RRT atau negara Barat (AS)," Teuku Faizasyah memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
China Balas AS
China memerintahkan agar Amerika Serikat menutup konsulat jenderalnya yang berada di kota Chengdu, provinsi Sichuan. Gedung harus dikosongkan dalam 72 jam.
Perintah ini diberikan pada Jumat (24/7/2020) pukul 10 pagi waktu setempat. Pada Senin besok, pukul 10 pagi, konsulat sudah harus kosong.
Baca Juga
Berdasarkan laporan CGTN, Kementerian Luar Negeri China menilai perintah penutupan ini adalah respons yang diperlukan untuk membalas AS yang menutup konjen China di Houston, Texas.
Tindakan AS juga dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional, norma-norma dasar hubungan internasional, serta perjanjian konsulat antara AS dan China. Kemlu China berkata hal ini melukai relasi kedua negara.
Pihak Kementerian Luar Negeri AS berkata konsuler China di Houston harus tutup demi melindungi informasi pribadi dan hak kekayaan intelektual AS. China juga dituduh sudah bertahun-tahun melakukan tindak mata-mata secara ilegal.
Relasi antara AS dan China terus memburuk di era Presiden Donald Trump yang kerap menuduh China tidak adil dalam perdagangan, alhasil perang dagang pun terjadi. Selain itu, isu Huawei, TikTok, Uighur, Hong Kong, hingga COVID-19 juga membuat hubungan kedua negara makin keruh.
Kegagalan AS
Langkah pemerintah Amerika Serikat untuk menutup konsulat China di Houston adalah upaya untuk menyalahkan Beijing atas kegagalan Amerika menjelang pemilihan presiden pada November. Hal ini dilaporkan oleh media pemerintah China dalam tajuk rencana yang dipublikasikan pada Kamis 23 Juni.
Mengutip Channel News Asia, Kamis 23 Juli 2020, Amerika Serikat mengatakan pada hari Rabu pihaknya telah memberi China waktu hingga 72 jam untuk menutup konsulat "untuk melindungi kekayaan intelektual Amerika dan informasi pribadi Amerika".
Keputusan itu menandai peningkatan dramatis ketegangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia, di tengah tuduhan baru spionase China di Amerika Serikat dan seruan oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk koalisi global baru melawan Beijing.
Kedutaan besar China di Amerika Serikat menggambarkan langkah untuk menutup konsulat Houston sebagai "provokasi politik" dan meminta Washington untuk "segera mencabut" keputusan tersebut. Juru bicara kementerian luar negeri Hua Chunying menulis di Twitter bahwa China "pasti akan bereaksi dengan tindakan tegas".
Surat kabar resmi berbahasa Inggris, China Daily menggambarkan langkah itu sebagai "langkah baru dalam upaya pemerintah AS untuk melukis China sebagai aktor jahat di panggung dunia, dan dengan demikian menjadikannya ilegal bagi komunitas internasional."
"Langkah itu menunjukkan bahwa tertinggal di belakang lawan pemilihan presidennya dalam jajak pendapat ... pemimpin AS berusaha keras untuk menggambarkan China sebagai agen kejahatan," tambahnya.
The Global Times, sebuah tabloid berbahasa Inggris yang dijalankan oleh surat kabar People's Daily, Partai Komunis, juga menuduh, Presiden AS Donald Trump bermain politik.
"Pemilihan presiden pada bulan November nanti, membuat Washington marah," katanya.
Advertisement
AS Ajak Sekutunya Bertindak Tegas
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo menyatakan, Washington bersama sekutu-sekutunya harus menggunakan "cara yang lebih kreatif dan tegas" untuk menekan Partai Komunis China agar mengubah kebijakan.
Ketika berbicara di Perpustakaan Nixon di Yorba Linda, California, Kamis 23 Juli waktub setempat, Pompeo mengulangi tuduhan yang sering kali dilontarkan AS bahwa China melancarkan praktik perdagangan tidak adil, pelanggaran hak asasi manusia, dan upaya untuk menyusup ke masyarakat Amerika. Dia mengatakan militer China telah menjadi "lebih kuat dan lebih mengancam".
Ia juga mengatakan, pendekatan yang telah dilakukan selama ini belum membawa perubahan di dalam China.
"Kenyataannya adalah bahwa kebijakan kita --dan kebijakan negara-negara bebas lainnya-- membangkitkan kembali ekonomi China," ujar dia.
"Kita, negara-negara yang mencintai kebebasan di dunia harus mendorong China untuk berubah ... dengan cara yang lebih kreatif dan tegas, karena tindakan Beijing mengancam rakyat dan kesejahteraan kita," imbuh Pompeo, seperti dilansir Antara.
Ia menambahkan, "Jika dunia tidak berubah, Komunis China pasti akan mengubah kita."
Pompeo mengatakan, "mengamankan kebebasan kita dari Partai Komunis China adalah misi kita," dan Amerika berada pada posisi yang tepat untuk memimpinnya.
Pidato Pompeo muncul pada saat hubungan AS-China merosot ke titik terendah dalam beberapa dekade.
Ikatan kedua negara memburuk karena berbagai masalah, mulai dari pandemi COVID-19 yang pertama kali dilaporkan muncul di China, hingga praktik perdagangan dan bisnis Beijing, klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, dan tindakan kerasnya terhadap Hong Kong.
Washington pada Selasa 21 Juli memberi China waktu 72 jam untuk menutup konsulat di tengah tuduhan bahwa Beijing melancarkan aksi mata-mata secara luas.
Pompeo mengatakan, konsulat telah menjadi "pusat mata-mata dan pencurian kekayaan intelektual."
China mengatakan langkah AS itu telah "merusak" hubungan kedua negara.
South China Morning Post melaporkan bahwa China dapat menutup Konsulat AS di Kota Chengdu di China barat daya, sementara satu sumber mengatakan, China sedang mempertimbangkan untuk menutup konsulat AS di Wuhan.
Pada awal wabah virus corona, Amerika Serikat menarik stafnya yang bertugas di konsulat tersebut.
8 Penyebab Utama Memanasnya Hubungan AS Vs China
Tensi hubungan antara China dan Amerika Serikat kini kian tinggi.
Hubungan kedua negara yang telah lama memanas ini menjadi semakin tegang lantaran sejumlah hal.
Baca Juga
Salah satu kejadian yang menjadi puncaknya adalah ketika pemerintah AS meminta pihak China untuk menutup konsulatnya di Houston.
Melansir laman Channel News Asia, Kamis (23/7/2020), berikut adalah 8 hal utama yang menjadi penyebab panasnya hubungan antara kedua negara:
1. Pandemi Virus Corona COVID-19
Presiden AS Donald Trump kerap menuduh China kurang transparan tentang Virus Corona baru, yang pertama kali muncul di kota Wuhan di China akhir tahun lalu. Dia secara teratur menyebutnya sebagai "virus China".
Trump mengatakan para pejabat China "mengabaikan kewajiban pelaporan mereka" kepada Organisasi Kesehatan Dunia tentang virus - yang telah membunuh ratusan ribu orang di seluruh dunia - dan menekan badan PBB untuk "menyesatkan dunia".
Sebaliknya, China mengatakan telah transparan tentang wabah tersebut dan WHO telah membantah pernyataan Trump bahwa mereka mempromosikan "disinformasi" China tentang virus tersebut. Amerika Serikat pun berencana untuk keluar dari WHO pada pertengahan 2021 karena penanganan pandemi tersebut.
2. Perdagangan
Administrasi Trump mulai meningkatkan tarif impor dari China, mitra dagang terbesarnya, pada tahun 2018 sebagai bagian dari rencana ambisius untuk memaksa Beijing untuk mengekang subsidi pada manufaktur negara dan tuntutan berat terhadap perusahaan-perusahaan AS di China.
Setelah lebih dari satu tahun tarif tit-for-tat yang memperlambat pertumbuhan ekonomi global, negara-negara menandatangani kesepakatan perdagangan pada Januari 2020 yang memutar kembali beberapa tarif, tetapi tidak mengatasi masalah intinya.
Beijing telah berjanji untuk meningkatkan impor barang-barang AS sebesar US $ 200 miliar selama dua tahun.
Departemen Perdagangan dan Luar Negeri AS mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk memindahkan sumber dan manufaktur dari China.
3. Laut China Selatan
Amerika Serikat telah menegaskan posisinya dalam beberapa pekan terakhir terkait Laut China Selatan, di mana AS menuduh China berusaha membangun "kerajaan maritim" di perairan yang berpotensi kaya energi.
Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam menantang klaim China atas sekitar 90 persen wilayah laut.
Pernyataan pada 13 Juli oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo adalah pertama kalinya di mana Amerika Serikat menyebut klaim China itu melanggar hukum dan menuduh Beijing melakukan "kampanye penindasan".
4. Hong Kong
China dan Amerika Serikat telah berselisih tentang aksi protes yang terjadi di Hong Kong, di mana baru-baru ini Beijing memberlakukan undang-undang keamanan baru pada bekas koloni Inggris, yang kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997.
Trump bulan ini menandatangani perintah eksekutif untuk mengakhiri perlakuan ekonomi istimewa untuk Hong Kong, yang memungkinkan dia untuk menjatuhkan sanksi dan pembatasan visa pada pejabat China dan lembaga keuangan yang terlibat dalam memberlakukan hukum.
China pun kemudian telah mengancam sanksi pembalasannya sendiri.
5. Masyarakat Uighur
Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi terhadap pejabat, perusahaan, dan institusi China atas pelanggaran HAM terkait dengan perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur di wilayah Xinjiang barat negara itu.
China telah banyak dikutuk karena mendirikan kompleks di Xinjiang terpencil yang disebutnya sebagai "pusat pelatihan kejuruan" untuk membasmi ekstremisme dan memberi orang keterampilan baru.
6. Jurnalis dan Mahasiswa China
Amerika Serikat telah mulai memperlakukan beberapa outlet media negara China sebagai kedutaan asing dan memangkas jumlah jurnalis yang diizinkan untuk bekerja di kantor-kantor AS dari outlet media China itu menjadi 100 dari 160.
Sebagai tanggapan, China mengusir sejumlah koresponden Amerika dengan outlet-outlet utama AS dan meminta empat organisasi media AS untuk menyerahkan rincian tentang operasi mereka di China.
Washington pada bulan Mei juga memperkenalkan peraturan baru yang membatasi pemberian visa kepada mahasiswa pascasarjana China yang diyakini memiliki hubungan dengan militer China.
7. Huawei
Perusahaan teknologi China Huawei ditambahkan ke "daftar entitas" Departemen Perdagangan AS pada tahun lalu karena masalah keamanan nasional, di tengah tuduhan dari Washington bahwa mereka melanggar sanksi AS terhadap Iran dan dapat memata-matai pelanggan, tuduhan yang dibantah Huawei. Daftar ini sangat mengurangi aksesnya ke komponen dan pasokan penting dari pemasok AS.
Huawei mengatakan Washington ingin menggagalkan pertumbuhannya karena tidak ada perusahaan AS yang menawarkan teknologi yang sama dengan harga yang kompetitif.
Amerika Serikat telah berhasil mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk menjatuhkan Huawei.
8. Nuklir Korea Utara
China berselisih dengan Amerika Serikat atas Korea Utara, meskipun mereka berdua ingin negara itu menyerahkan senjata nuklirnya. Washington menuduh China melanggar sanksi PBB terhadap Korea Utara, tegas pernyataan Beijing.
China ingin mencabut beberapa sanksi, tetapi Amerika Serikat tidak setuju.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Trump telah bertemu tiga kali, tetapi gagal membuat kemajuan atas permintaan AS agar Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya dan tuntutan Korea Utara untuk mengakhiri sanksi.
Diplomat nomor dua di Departemen Luar Negeri, Stephen Biegun, mengatakan pada hari Rabu bahwa Washington dan Beijing masih bisa bekerja sama menentang pengembangan senjata pemusnah massal Korea Utara meskipun ada ketegangan saat ini.
Advertisement