Liputan6.com, Jakarta - Pejabat WHO tidak menyarankan lockdown sebagai solusi utama pengendalian COVID-19. Alasannya adalah faktor ekonomi.
Pendapat itu disampaikan Dr. David Nabarro yang merupakan Utusan Khusus (Special Envoy) dari pemimpin WHO. Ia menegaskan WHO tidak menganjurkan lockdown jadi satu-satunya solusi mencegah penyebaran COVID-19.
"Kami di World Health Organisation tidak mengadvokasi (menganjurkan) lockdown sebagai cara primer untuk mengendalikan virus ini," ujar Dr. Nabarro kepada The Spectator, seperti dikutip Yahoo, Senin (12/10/2020).
Advertisement
Baca Juga
Dr. Nabarro menyebut lockdown memiliki dampak intens kepada komunitas yang lebih miskin, sehingga kondisi ekonomi mereka menjadi rentan. Masyarakat pun bisa makin miskin.
"Lockdown memiliki satu konsekuensi yang anda jangan pernah kecilkan, dan itu adalah membuat rakyat miskin tambah miskin," ujar Nabarro.
"Lihat apa yang terjadi pada level kemiskinan. Ini sepertinya kita mungkin telah menggandakan kemiskinan dunia pada tahun depan. Kita mungkin setidaknya menggandakan malnutrisi anak," lanjutnya.
Petinggi WHO itu juga menyorot anjloknya industri pariwisata di berbagai daerah karena orang-orang tak bisa berlibur.
Dr. Nabarro berkata lockdown bisa dilakukan untuk membeli waktu saat mencoba mengistirahatkan dan mengkoordinasi sumber daya saat melawan virus. Namun, Nabarro tetap berkata, "kami lebih baik tidak melakukannya."
Komentar dari WHO itu cukup mencengangkan karena pemimpin WHO Dr. Tedros Ghebreyesus sempat mendukung lockdown, dan supaya pemerintah hati-hati sebelum melonggarkannya.
Alasannya, Dr. Tedros khawatir kasus COVID-19 kembali melonjak ketika sekolah-sekolah dan bisnis-bisnis kembali dibuka.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kasus COVID-19 di India Tembus 7 Juta, Akankah Jadi Nomor 1 di Dunia?
Kasus COVID-19 di India terus melesat dan sudah tembus 7 juta. Saat ini kasus di India adalah yang nomor satu di Asia, dan diperkirakan bisa menggeser posisi Amerika Serikat di nomor satu dunia.
Kementerian Kesehatan India pada hari Minggu 11 Oktober mencatat ada 74.383 kasus baru dalam 24 jam terakhir. Kementerian juga mencatat tambahan 108 kematian baru sehingga totalnya ada 108.334 pasien meninggal.
Total kasus COVID-19 di India sudah makin dekat dengan kasus di AS, selisihnya hanya sekitar 700 ribu. India diprediksi bisa melewati AS dalam beberapa pekan ke depan.
Meski demikian, jumlah kematian di Asia Selatan dan Asia Tenggara masih relatif lebih rendah ketimbang kematian di Amerika Serikat dan Eropa.
Pakar kesehatan di India menyebut kepadatan penduduk menjadi tantangan menekan COVID-19.
"Kami dapat memperlambat kenaikan kurva, tetapi saya setuju bahwa kita belum bisa menurunkannya secara agresif. Itu terkait kepadatan penduduk, keanekaragaman di negara kita, dan tantangan-tantangan sosio-ekonomi di negara kita," ujar pakar kesehatan pemerintah India Dr. Randeep Guleria seperti dikutip AP News.
Sebagian ahli meragukan angka kematian di India karena buruknya pelaporan dan infrastruktur kesehatan, serta testing yang belum mencukupi.
Rata-rata, India mencatat 70 ribu kasus COVID-19 baru pada Oktober ini, namun itu lebih rendah ketimbang September lalu yang mencatat rekor 97 ribu kasus baru dalam sehari. Kementerian Kesehatan India mencatat tingkat kesembuhan di India mencapai 85 persen.
Advertisement