Kematian Akibat COVID-19 di Inggris Diprediksi Naik 2 Kali Lipat dari Gelombang Pertama

Angka kematian akibat Virus Corona COVID-19 di Inggris diprediksi bakal mencapai dua kali lipat dari gelombang pertama.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 04 Nov 2020, 07:51 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2020, 15:12 WIB
Pemandangan Sepi Kota London Imbas COVID-19
Pemandangan Jembatan Westminster dan Gedung Parlemen di London, Inggris (18/3/2020). PM Inggris Boris Johnson mengatakan seluruh sekolah akan ditutup mulai Jumat (20/3) setelah otoritas kesehatan mengonfirmasi total 2.626 kasus infeksi COVID-19 dan 104 kematian. (Xinhua/Tim Ireland)

Liputan6.com, Jakarta - Kematian akibat COVID-19 di Inggris diprediksi mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan gelombang pertama pandemi selama musim dingin, kata PM Boris Johnson kepada anggota parlemen.

Dalam pernyataannya, dia mengatakan "tidak ada alternatif" yang bisa dilakukan selain memutuskan menerapkan aturan lockdown (karantina wilayah). Meski demikian, Johnson menjelaskan, dia "benar untuk mencoba setiap opsi yang mungkin" sebelum memerintahkan orang untuk tetap tinggal di rumah.

Mengutip laman BBC, Selasa (3/11/2020), Partai Buruh mengatakan akan mendukung aturan penguncian, tetapi mengkritik penundaan itu.

Boris Johnson mengumumkan pada konferensi pers di Downing Street bahwa langkah-langkah ketat akan mencakup penutupan pub, restoran, pusat kebugaran, toko non-esensial dan tempat ibadah.

Namun, Sekretaris Perumahan Robert Jenrick mengonfirmasi bahwa kegiatan pindah rumah masih akan diizinkan selama pembatasan, serta menambahkan bahwa perusahaan pemindahan, agen perumahan, dan pedagang dapat terus bekerja namun harus mengikuti pedoman keselamatan COVID-19.

Kanselir Rishi Sunak mengatakan kepada program Today BBC Radio 4 bahwa skema cuti di seluruh Inggris, yang akan berakhir pada 31 Oktober, diperpanjang hingga Desember "untuk memberikan kemudahan bagi bisnis di masa sulit ini".

Dia mengatakan itu adalah "harapan" bahwa penguncian Inggris akan "cukup" untuk "keluar kembali ke pendekatan berjenjang" dalam waktu satu bulan.

Sekretaris Bisnis Alok Sharma membela keputusan penguncian pemerintah pada Konferensi Tahunan Konfederasi Industri Inggris pada hari Senin, dengan mengatakan, "Biaya kelambanan akan lebih besar daripada tindakan yang diambil saat ini."

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

Tak Ada Alternatif

Kemunculan Pertama PM Inggris
PM Inggris, Boris Johnson selesai memberikan pernyataan pada hari pertamanya kembali bekerja setelah pulih dari virus Corona di Downing Street, London, Senin (27/4/2020). Ini menjadi kemunculan pertama PM Johnson di depan publik setelah hampir sebulan terinfeksi COVID-19. (AP/Frank Augstein)

Dalam pidatonya kepada anggota parlemen di House of Commons, Johnson diharapkan untuk mengatakan, "Model ilmuwan kami menunjukkan bahwa kecuali kita bertindak sekarang, kita bisa melihat kematian selama musim dingin yang dua kali lebih buruk atau lebih dibandingkan dengan gelombang pertama. Menghadapi angka-angka terbaru ini, tidak ada alternatif selain mengambil tindakan lebih lanjut di tingkat nasional."

Johnson diharapkan untuk mengakui bahwa beberapa anggota parlemen percaya "kami seharusnya mencapai keputusan ini lebih awal", tetapi akan mempertahankan kebijakan sebelumnya untuk mencoba mengendalikan virus dengan "tindakan lokal yang kuat dan kepemimpinan lokal yang kuat."

Prof Andrew Hayward, profesor epidemiologi penyakit menular di University College London, mengatakan kepada program Today Radio BBC 4, data perkiraan korban tewas yang diberikan kepada pemerintah termasuk "kisaran prediksi"."

Dari beberapa model, mereka semua benar-benar menunjukkan tingkat kematian yang tidak dapat diterima dan fakta bahwa layanan NHS akan kewalahan dalam beberapa minggu ke depan," katanya.

Perdana menteri akan memberi tahu anggota parlemen bahwa pemerintah akan "berusaha untuk melonggarkan pembatasan" pada 2 Desember dan kembali ke sistem tiga tingkat saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya