Melbourne - Australia mulai berpuasa Ramadan 2021 pada Selasa 13 April 2021 berdasarkan keputusan Dewan Imam Nasional Australia. Namun, ada kekhawatiran serangan kebencian akan mewarnai Ramadan 2021.
Dilaporkan ABC Australia, Senin (12/4/2021), penelitian terbaru dari Charles Sturt University menunjukkan dari 75 masjid yang disurvei di Australia, lebih setengahnya mengalami serangan antara 2014 dan 2019.
Advertisement
Baca Juga
Jenis serangan dimaksud termasuk pembakaran, penyerangan jamaah secara fisik, coretan grafiti, vandalisme, pelecehan verbal, dan pelecehan secara online.
Dalam beberapa kasus, penelitian tersebut menyebutkan beberapa masjid menerima surat bernada kebencian bahkan ancaman pembunuhan. Tahun lalu masjid-masjid di Australia ditutup untuk tarawih karena pandemi COVID-19. Ramadan tahun ini masjid akan dibuka kembali bagi jemaah.
Namun menurut Dr Derya Iner, dosen dan peneliti di Centre for Islamic Studies and Civilisation dari Charles Sturt University, banyak umat Muslim di Australia merasa lebih berhati-hati pergi ke masjid sekarang.
Dr Derya juga adalah salah satu pengelola 'Islamophobia Register Australia', website yang mencatat setiap laporan serangan terhadap umat Islam di Australia. Ia menyebutkan, banyak orang pergi ke masjid dengan "rencana cadangan" jika sewaktu-waktu terjadi serangan.
Sikap ini meningkat setelah serangan yang yang terjadi di masjid di Christchurch, Selandia Baru. "Beberapa masjid menjadi sasaran serangan berulang. Alih-alih fokus untuk beribadah, mereka malah harus memeriksa pintu keluar, untuk berjaga-jaga," jelas Dr Derya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Masjid Komunitas Indonesia
Namun demikian, pengurus masjid yang dikelola warga Indonesia menyatakan akan tetap menggelar salat malam di bulan puasa tersebut, yang menurut jadwal akan dimulai Senin malam (12/04).
Menurut Andi Rosihan Anwar, takmir atau ketua Masjid Westall, salah satu dari masjid yang dikelola masyarakat Indonesia di negara bagian Victoria, pihaknya akan menggelar salat tarawih setiap malam selama bulan Ramadan tahun ini.
"Kebetulan Masjid Westall tidak pernah mengalami serangan seperti yang terjadi di masjid lainnya," ujar pria yang akrab disapa Petta Rukka ketika dihubungi.
Ia menjelaskan dinding luar Masjid Westall memang pernah dicoreti grafiti, namun hal itu bukan merupakan serangan kebencian.
"Itu hanya grafitti biasa, sebagaimana yang banyak kita temui pada dinding-dinding yang kosong di kawasan pertokoan," kata Petta Ruka.
Menurut Petta Rukka, setelah peristiwa penembakan jamaah salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019 yang menewaskan lebih 50 orang, justru muncul dukungan dari masyarakat sekitar Masjid Westall.
"Dua kali kegiatan Open Mosque diadakan setelah peristiwa itu, dan banyak sekali tetangga serta warga dari jauh yang sengaja datang ke Masjid Westall untuk memberikan dukungan dan simpati," jelasnya.
Advertisement
Serangan di Masjid Tertua
Ali Kadri, yang memimpin Masjid Holland Park di Brisbane mengaku sangat khawatir dengan rangkaian serangan rasial yang menargetkan tempat ibadah mereka.
Masjid ini adalah salah satu masjid tertua di Australia.
Jamaah di masjid ini, kata Ali, kerapkali mengalami penghinaan rasis dari orang-orang lewat yang berteriak dari mobil mereka.
Dua tahun lalu, Masjid Holland Park mengalami serangan terparah.
Masjid ini dicoreti kata "Santo Tarrant" disertai lambang swastika, merujuk pada terpidan teroris Brenton Tarrant, pelaku penembakan massal jamaah masjid di Christchurch.
Kepolisian negara bagian Queensland dalam sebuah pernyataan menyebutkan coretan ini "diselidiki secara menyeluruh" oleh Unit Penanggulangan Terorisme QPS.
Dikatakan, bila jamaah masjid merasa "terancam atau takut dengan tindakan orang lain" agar segera menghubungi polisi.
Namun, masjid ini juga menerima banyak dukungan dari warga sekitarnya yang mengirimkan karangan bunga dan pesan bernada simpatik tak lama setelah penembakan di Christchurch.
Menolak Takut
Riset yang dilakukan Dr Derya menunjukkan ujaran kebencian baik secara online maupun secara langsung, saling melengkapi dan bisa sangat berbahaya bagi umat Muslim.
"Mengasosiasikan dan menghubungkannya sangat berbahaya karena... mungkin suatu hari akan berakhir dengan serangan fisik," jelasnya.
Juru bicara badan intelijen Australia, ASIO dalam pernyataan kepada ABC menyebutkan pihaknya menyelidiki individu atau kelompok berdasarkan penggunaan atau advokasi kekerasan.
"Ekstremisme kekerasan yang bermotivasi ideologis di Australia itu nyata dan berkembang," kata pernyataan ASIO.
"Kelompok ekstrim sayap kanan telah menjadi perhatian ASIO selama beberapa dekade. Namun kami mengalokasikan sumber daya tambahan untuk menghadapi ancaman yang terus berkembang," tambahnya.
Sementara itu, dalam sebuah pernyataan kepada ABC, direktur kebijakan publik Facebook Australia dan Selandia Baru, Mia Garlick, menyebutkan masih banyak yang harus dilakukan dalam memerangi ujaran kebencian terhadap umat Muslim yang menggunakan Facebook.
"Kebijakan kami adalah melarang perkataan yang mendorong kebencian di Facebook, kami berupaya untuk mengatasi ujaran kebencian dan konten kekerasan yang lebih implisit, termasuk serangan terhadap komunitas Muslim," katanya.
Juru bicara Dewan Islam Victoria (ICV) Adel Salman menegaskan meski umat Muslim di Australia tetap berhati-hati menjalankan ibadahnya, tetapi tidak sampai membiarkannya mengganggu rencana beribadah di masjid pada Ramadan kali ini.
“Ada kecemasan dan kegelisahan umum karena dampak peristiwa Christchurch masih terasa di komunitas Muslim," katanya.
"Kejadian itu selalu ada dalam benak orang, tapi apakah akan memaksa mereka untuk tidak pergi ke masjid? Menurutku tidak," tambah Adel.
Ia menambahkan, masjid adalah tempat terbuka dan merupakan bagian dari ajaran Islam untuk membuatnya tetap terbuka.
"Umat Islam tidak akan membiarkan rasa takut merusak ibadah mereka," ujarnya.
Advertisement