Liputan6.com, Jakarta - Jauh sebelum insiden 11 September 2001 atau 9/11 terjadi, ketika stigma 'teroris' belum dilekatkan pada kelompok tertentu, Kota New York, Amerika Serikat menghadapi ancaman bom beruntun.
Pada 14 November 1940, bom pipa ditemukan di Gedung Edison, bersama sebuah pesan yang ditulis di secarik kertas: "Con Edison crooks, this is for you" -- "Con Edison, ini untukmu."
Baca Juga
Consolidated Edison adalah perusahaan peralatan listrik yang ada di New York.
Advertisement
Itu baru awal. Kemudian hingga pertengahan 1950-an, setidaknya 33 bom ditemukan di seantero kota berjuluk 'Big Apple'. Sebanyak 22 di antaranya meledak dan melukai 15 orang.
Bahan peledak itu diletakkan di lokasi umum. Di terminal, taman, perpustakaan, bar, toilet umum, boks telepon, dan lainnya.
Suatu ketika pelaku mengirim serangkaian surat ke surat kabar New York Herald Tribune, menggunakan rangkain huruf yang digunting dari koran atau majalah. Ia minta maaf atas akibat yang ditimbulkan dari aksinya, dan memberitahu bahwa yang dilakukannya demi menuntut keadilan. Inisial 'FP' dibubuhkan dalam pesan itu.
Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Press, polisi, dan masyarakat menyebutnya sebagai 'Mad Bomber'. Pengebom gila.
Tindakannya dinilai serius setelah 2 ledakan bom yang terjadi pada 1956. Yang pertama terjadi di kamar mandi Penn Station, melukai seorang kakek. Lainnya di bioskop Paramount Theatre di Brooklyn yang bikin cidera 6 orang, 3 di antaranya luka parah.
Petunjuk akhirnya didapat pada Januari 1957. Sekretaris perusahaan Con Edison -- yang juga jadi target bom --menemukan kesamaan inisial FP yang dipublikasikan di surat kabar dengan salah satu pekerjanya: George Peter Metesky.
Siapa George Metesky?
George Metesky adalah mantan pekerja di Con Edison. Dan ia menyimpan amarah pada perusahaan yang pernah mempekerjakannya itu sejak tahun 1931.
Suatu hari, instalasi boiler di tempatnya bekerja meledak. Metesky menjadi korban dan mengalami disabilitas yang membuatnya bergantung pada perawatan dua saudarinya di Connecticut.
Ia mengklaim, perusahaannya menolak untuk memberikan kompensasi. "Biaya medis dan perawatanku menghabiskan ribuan dolar -- tapi aku tak mendapatkan sesen pun atas penderitaan yang kualami seumur hidup," tulis dia dalam salah satu surat yang disampaikannya pada media.
Karena ancaman bom yang ditujukan pada pihak perusahaan tak mempan, Metesky pun menempuh cara lain: dengan meneror masyarakat New York.
Di sisi lain, pihak Con Edison menyebut, Metesky terlambat mengajukan klaim. Itu mengapa ia tak mendapat kompensasi.
Pada 22 Januari 1957, sepak terjang Metesky sebagai 'Mad Bomber' berakhir. Ia tertangkap di rumahnya di Waterbury.
Pria itu konon menemui para polisi yang ada di muka rumahnya. "Aku tahu mengapa kalian ada di sini. Kalian pikir aku adalah Mad Bomber," kata dia seperti dikutip dari situs The Bowery Boys: New York City History.
Di garasi rumah pria yang berusia 50-an tahun itu, polisi menemukan alat-alat pembuat bom. Dalam foto penangkapannya, Metesky terlihat menyeringai di tengah polisi yang mengerumuninya.
Advertisement
Butuh Waktu Lama untuk Menangkap
Orang-orang kala itu bertanya-tanya, mengapa butuh waktu sangat lama untuk menangkapnya.
Dalam buku 'The Mad Bomber of New York: The Extraordinary True Story of the Manhunt That Paralyzed a City', Michael M. Greenburg mengemukakan analisis.
"Metesky mahir mencair di tengah masyarakat dan menjauh dari radar aparat," kata dia seperti dikutip dari NPR.
Dengan penampilannya yang tenang, tak ada orang yang mengiranya sebagai pelaku kejahatan yang jadi buronan nomor satu polisi.
Setelah ditangkap, ia tak lantas mendekam di balik jeruji penjara dalam waktu lama. Atas alasan mengakui gangguan mental Metesky dikirim ke rumah sakit jiwa pada 1957 hingga hari pembebasannya pada 1973.
Tak hanya penangkapan 'Mad Bomber' yang menjadi peristiwa penting dalam sejarah yang terjadi pada tanggal 22 Januari.
Pada 1970, Boeing 747, pesawat jumbo pertama di dunia, melakukan penerbangan komersial perdana dari John F. Kennedy International Airport ke London Heathrow Airport.
Sementara, pada 1987, aparat Filipina melepaskan tembakan ke arah para demonstran di Jembatan Mendiola -- yang menghubungkan kota dengan Istana Malacanang, 13 orang tewas karenanya.