Liputan6.com, Teheran - Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei pada Senin (6/3/2023) mengatakan bahwa jika serangkaian dugaan keracunan di sekolah perempuan terbukti disengaja maka pelakunya harus dihukum mati karena melakukan kejahatan yang tak termaafkan.
Ini adalah pertama kalinya pemimpin tertinggi Iran, yang memiliki keputusan akhir tentang semua urusan negara, berbicara secara terbuka tentang fenomena keracunan di negaranya yang dimulai akhir tahun lalu dan telah membuat ratusan anak perempuan sakit.
Pejabat Iran sejauh ini belum memberikan rincian lebih lanjut tentang siapa yang mungkin berada di balik serangan keracunan atau pemicunya. Tidak seperti negara tetangga Afghanistan, Iran tidak memiliki sejarah kelompok ekstremis yang menargetkan pendidikan perempuan.
Advertisement
"Jika peracunan siswa terbukti, mereka yang berada di balik kejahatan ini harus dihukum mati dan tidak akan ada amnesti bagi mereka," kata Khamenei seperti dikutip dari AP, Selasa (7/3).
Pihak berwenang telah mengakui keracunan melanda di lebih dari 50 sekolah di 21 dari 30 provinsi Iran sejak November tahun lalu.
Menteri Dalam Negeri Iran Ahmad Vahidi mengatakan pada akhir pekan bahwa "sampel mencurigakan" telah dikumpulkan oleh para penyelidik, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Dia meminta masyarakat untuk tetap tenang dan menuduh musuh yang tidak disebutkan namanya menghasut rasa takut untuk melemahkan Iran.
Vahidi mengungkapkan, setidaknya 52 sekolah terdampak keracunan, sementara laporan media Iran menyebutkan jumlah sekolah lebih dari 60. Setidaknya satu sekolah anak laki-laki dilaporkan terpengaruh fenomena ini.
Sakit Kepala hingga Tidak Bisa Bergerak
Anak-anak yang keracunan dilaporkan mengeluhkan sakit kepala, jantung berdebar-debar, merasa lesu atau tidak bisa bergerak. Beberapa menggambarkan mencium jeruk keprok, klorin, atau bahan pembersih.
Laporan menunjukkan setidaknya 400 anak telah jatuh sakit sejak November. Vahidi mengonfirmasi bahwa dua anak perempuan masih dirawat di rumah sakit karena kondisi kronis yang mendasarinya. Belum ada korban jiwa yang dilaporkan.
Ada lebih banyak serangan keracunan yang dilaporkan pada Minggu, di mana video yang diunggah di media sosial memperlihatkan anak-anak mengeluh tentang rasa sakit di kaki, perut, dan pusing. Media pemerintah menggambarkan sebagai reaksi histeris.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendokumentasikan fenomena serupa di Afghanistan dari tahun 2009 hingga 2012. Ratusan anak perempuan di seluruh Afghanistan saat itu mengeluhkan bau aneh dan keracunan. Tidak ada bukti yang ditemukan untuk mendukung kecurigaan tersebut dan WHO menduga fenomena itu merupakan psikogenik massal.
Advertisement
Sulit Memverifikasi
Iran telah memberlakukan pembatasan ketat pada media independen sejak pecahnya protes nasional pada September, sehingga sulit untuk menentukan sifat dan ruang lingkup dugaan peracunan.
Pada Senin, media Iran melaporkan bahwa pihak berwenang menangkap seorang jurnalis yang berbasis di Qom, Ali Pourtabatabaei, yang secara teratur melaporkan dugaan peracunan. Surat kabar garis keras, Kayhan, melalui tajuk rencananya menyerukan penangkapan penerbit surat kabar yang menerbitkan artikel tentang krisis kritis terhadap teokrasi Iran.
Protes skala nasional di Iran dipicu oleh kematian Mahsa Amini, yang ditahan oleh polisi moral karena diduga melanggar aturan berpakaian yang ketat di negara tersebut.
Kelompok ekstremis di Iran dilaporkan hanya "menyerang" para wanita yang mereka anggap berpakaian tidak sopan di muka umum dan pada puncak Revolusi Islam Iran tahun 1979 sekalipun, perempuan dan anak-anak perempuan terus bersekolah dan kuliah.