Liputan6.com, Khartoum - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan, pihak yang bertikai di Sudan telah menyetujui gencatan senjata 72 jam. Terhitung mulai tengah malam pada Senin (24/4/2023) waktu setempat.
Setidaknya ini adalah gencatan senjata ketiga yang diumumkan sejak kekerasan meletus bulan ini. Namun, tidak ada satupun yang dijalankan penuh.
Menurut Menlu Blinken, kesepakatan terbaru dicapai antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah negosiasi selama 48 jam. Demikian seperti dilansir BBC, Selasa (25/4/2023).
Advertisement
RSF mendukung pengumuman Blinken dan menggarisbawahi komitmen mereka untuk gencatan senjata penuh. Namun, pihak SAF belum memberi komentar.
Sedikitnya 400 orang tewas sejak perang saudara Sudan meletus pada 15 April 2023.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa kekerasan di Sudan berisiko menyebabkan "kebakaran dahsyat" yang dapat melanda seluruh wilayah dan sekitarnya.
Sejak kekerasan dimulai, penduduk di ibu kota Khartoum telah diminta untuk tetap tinggal di rumah. Namun, persediaan makanan dan minuman dilaporkan semakin menipis.
Pengeboman telah menghantam sejumlah infrastruktur utama seperti pipa air. Dan hal itu disebut membuat orang-orang terpaksa mengonsumi air dari Sungai Nil.
Ada harapan bahwa gencatan senjata memungkinkan warga sipil meninggalkan arena konflik dan memungkinkan pemerintah asing melakukan evakuasi lanjutan.
Sebelumnya pada Senin, Menlu Blinken mengungkapkan bahwa sejumlah konvoi yang terlibat dalam proses evakuasi telah mengalami perampokan dan penjarahan.
Kondisi Sudan Sangat Menantang
AS, sebut Menlu Blinken, sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan kehadiran diplomatiknya di Sudan. Namun, dia menggambarkan kondisi di sana "sangat menantang".
"Sudan menderita 'pemadaman internet' dengan konektivitas pada 2 persen dari tingkat biasa," kata kelompok pemantau NetBlocks pada Senin.
Di Khartoum, internet mati sejak Minggu (23/4) malam.
Diperkirakan puluhan ribu orang, termasuk warga Sudan dan yang berasal dari negara tetangga, mengungsi akibat perang saudara.
Kekerasan pecah terutama di Khartoum, antara faksi-faksi militer yang bersaing untuk menguasai negara terbesar ketiga di Afrika itu. Ini terjadi setelah berhari-hari ketegangan ketika anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam suatu tindakan yang dianggap sebagai ancaman oleh militer.
Sejak kudeta tahun 2021, Sudan dijalankan oleh dewan jenderal, yang dipimpin oleh dua jenderal yang menjadi pusat perselisihan: Kepala Angkatan Bersenjata sekaligus Presiden Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pemimpin RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang lebih dikenal Hemedti.
Mereka tidak setuju dengan arah negara menuju pemerintahan sipil. Yang dilaporkan menjadi masalah utama adalah rencana untuk meleburkan 100.000 pasukan RSF ke dalam militer dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru itu.
Jenderal Dagalo menuduh pemerintahan Jenderal Burhan Islam radikal dan bahwa dia bersama RSF berjuang untuk rakyat Sudan demi memastikan kemajuan demokrasi yang telah lama mereka dambakan.
Banyak yang menganggap pesan ini sulit dipercaya, mengingat rekam jejak RSF yang brutal.
Jenderal Burhan mengatakan dia mendukung gagasan untuk kembali ke pemerintahan sipil, tetapi dia hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih.
Advertisement