Liputan6.com, Hilversum - Pim Fortuyn, seorang politikus sayap kanan Belanda yang memimpin partai anti-imigrasi ke posisi terkemuka di Belanda, dibunuh pada 6 Mei 2002.
Fortuyn tewas setelah memberikan wawancara kepada jaringan radio 3FM di Hilversum, sekitar 16 kilometer tenggara Amsterdam, Belanda.
Baca Juga
Fortuyn saat itu sedang menuju mobilnya, tetapi ia ditembak enam kali. Paramedis yang merawat Fortuyn di mana ia jatuh di pintu masuk gedung, sempat memompa dadanya untuk menyadarkannya.
Advertisement
Beberapa jam setelah penembakan, tubuh Fortuyn masih terbaring di tempat ia ditembak, ditutupi kain putih.
Mantan Perdana Menteri Belanda saat itu, Wim Kok pun mengkonfirmasi kematian Fortuyn, demikian dikutip dari The Guardian, Rabu (3/5/2023).
Televisi Belanda mengatakan mantan akademisi dan kolumnis meninggal di usia 54 tahun, serta menceritakan bagaimana Fortuyn menjalani gaya hidup gay secara terbuka.
Fortuyn ditembak di kepala, leher, dan dada. Serangan itu terjadi sembilan hari sebelum pemilihan nasional, dan jajak pendapat memperkirakan ia akan memimpin salah satu partai terbesar di parlemen.
"Setelah pembunuhan ini, Pim Fortuyn tiada," kata Kok di Den Haag setelah memutuskan kampanye. "Ini adalah tragedi yang mendalam. Saya terkejut. Ini adalah tragedi yang mendalam bagi mereka yang dekat dengannya, untuk orang yang dicintainya dan untuk negara kita dan demokrasi kita."
Kejadian itu adalah pertama kalinya dalam sejarah modern seorang pemimpin politik Belanda dibunuh.
"Ini adalah hal-hal yang menurut Anda tidak mungkin dilakukan di Belanda," ucap Ad Melkert, penerus Kok sebagai pemimpin Partai Buruh yang berkuasa dan calon perdana menterinya. "Ini titik rendah bagi demokrasi kita."
Siapa yang Bunuh Pim Fortuyn?
Mengutip BBC, pembunuh Pim Fortuyn pada 6 Mei 2002 kemudian diidentifikasi sebagai Volkert van der Graaf. Ia adalah seorang aktivis yang mengadvokasikan hak-hak binatang.
Van der Graaf mengatakan ia membunuh Fortuyn karena menganggap politikus itu sebagai "bahaya bagi masyarakat" dan khawatir tentang cara ia menstigmatisasi imigran Muslim dan pencari suaka.
Saat itu, Fortuyn menjalankan platform anti-imigrasi yang bertanggung jawab untuk membalikkan lanskap politik Belanda yang progresif. Banyak ide Fortuyn sejak itu dijadikan kebijakan.
Pada 2014, Van der Graaf dibebaskan setelah menjalani 12 tahun dari hukuman 18 tahun, demikian dilansir dari Sky News. Hukuman Van der Graaf banyak dikritik oleh warga karena merasa hukuman penjaranya terlalu ringan.
Fortuyn pernah menyebut Islam sebagai "budaya terbelakang" dan menyerukan agar perbatasan Belanda ditutup untuk imigrasi.
Namun, meskipun kebijakannya tampak bertentangan dengan pandangan umum tentang budaya Belanda yang terbuka dan liberal, kebijakan itu menyentuh hati banyak warga yang tidak puas dengan pendirian politik.
Advertisement
Jelang Dialog Damai, Politisi Minoritas Tewas Ditembak di Serbia
Kasus penembakan lain juga juga dialami politikus Kosovo dari kelompok etnis minoritas, Oliver Ivanovic. Ia tewas ditembak di luar markas partainya pada hari di mana Serbia dan Kosovo tengah memulai pembicaraan mengenai normalisasi hubungan, usai keduanya mengalami perpecahan selama satu tahun terakhir.
Ivanovic juga ditembak enam kali oleh penyerang yang tidak dikenal di Kota Mitrovica pada Selasa, 16 Januari 2018, dikutip dari The Guardian (17/1/2018).
Penembak juga diketahui menggunakan mobil untuk menghampiri sasaran tembaknya.
Presiden Serbia Aleksandar Vučić segera mengadakan pertemuan dewan keamanan nasional dan membuat sebuah pernyataan menyusul pembunuhan itu.
Sementara itu, pembunuhan tersebut justru menghentikan dialog normalisasi hubungan tersebut.
Perundingan itu dijadwalkan digelar di Brussels dan akan dimulai pada Selasa. Namun, delegasi Serbia mengundurkan diri setelah kabar pembunuhan tersebut.
Sumber pemerintah Belgrade juga mengatakan bahwa delegasi perundingan normalisasi hubungan Serbia, Kosovo juga ditarik oleh pemerintah masing-masing usai pembunuhan itu dan peristiwa lain yang terkait.
Politikus Perempuan Afghanistan Tewas Ditembak pada Siang Bolong
Kasus penembakan juga terjadi pada seorang politikus Afghanistan, mantan jurnalis yang bekerja untuk parlemen. Mena Mangal ditembak dan dibunuh di Kabul pada Sabtu, 11 Mei 2019, kata seorang pejabat, dalam serangan terbaru yang mengguncang ibu kota.
Mangal dikenal di kalangan Kabul karena karyanya yang menyajikan pertunjukan di beberapa jaringan televisi, sebelum ia meninggalkan jurnalisme untuk menjadi penasihat budaya di parlemen.
Menurut Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan Nasrat Rahimi, Mangal ditembak mati di Kabul timur di siang hari bolong, 11 Mei 2019, dilansir dari NDTV, Minggu (12/5/2019).
Tidak ada yang langsung mengklaim bertanggungjawab atas kematian Mangal, dan tidak segera diketahui mengapa ia menjadi sasaran.
Namun, aktivis hak-hak perempuan Afghanistan terkemuka Wazhma Frogh mengatakan, Mangal baru-baru ini menulis di media sosial bahwa ia merasa hidupnya terancam.
Advertisement