Liputan6.com, Paris - Nenek dari Nahel Merzouk (17), remaja Prancis yang ditembak mati oleh polisi pada Selasa (27/6/2023), memohon kepada para demonstran agar menghentikan aksi mereka. Hal tersebut diungkapkannya pada Minggu (2/7), sementara kekerasan terus berlanjut, termasuk terhadap kediaman Wali Kota of L'Hay-les-Roses Vincent Jeanbrun.
Dalam wawancaranya via telepon dengan BFM TV seperti yang dilansir AP, Senin (3/7), perempuan bernama Nadia itu mengatakan, "Jangan merusak jendela, bus... sekolah. Kami ingin agar semua tenang."
Dia menuturkan bahwa dia marah dengan petugas polisi yang menembak mati cucunya, namun tidak kepada polisi secara luas. Nadia menegaskan keyakinannya pada sistem peradilan Prancis.
Advertisement
Cucu Nadia telah dimakamkan pada Sabtu (1/7) sore. Pemakaman remaja yang keluarganya berasal dari Aljazair itu dilaporkan dihadiri oleh ratusan orang, termasuk seseorang yang mengenakan baju bertuliskan "Justice for Nahel".
Kekerasan disebut berkurang. Namun, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin telah menyatakan bahwa pihaknya akan mengerahkan 45.000 polisi di jalan-jalan.
Adapun Presiden Emmanuel Macron menggelar pertemuan keamanan khusus pada Minggu malam dan berencana untuk bertemu dengan ketua kedua majelis di parlemen pada Senin. Lalu pada Selasa (4/7), dia dikabarkan akan mengadakan rapat dengan seluruh wali kota di Prancis.
Menyoroti seriusnya dampak kerusuhan, Macron sendiri telah menunda kunjungan ke Jerman yang dijadwalkan dimulai pada Minggu malam. Lawatan itu akan menjadi kunjungan kenegaraan pertama presiden Prancis ke Jerman dalam 23 tahun terakhir.
Polisi mengungkapkan bahwa pada Sabtu malam, pihaknya telah melakukan 719 penangkapan. Dengan demikian jumlah total orang yang ditahan menjadi lebih dari 3.000 orang. Sementara ratusan polisi dan petugas pemadam kebakaran terluka selama kerusuhan Prancis, namun di lain sisi, pihak berwenang belum menyebutkan berapa jumlah pengunjuk rasa yang terluka.
Serangan ke Rumah Wali Kota L'Hay-les-Roses
Pada Minggu, para perusuh dengan menggunakan sebuah mobil yang dibakar menghantam rumah Wali Kota Jeanbrun di pinggiran Paris. Beberapa kantor polisi dan balai kota beberapa hari sebelumnya telah menjadi sasaran vandalisme, namun serangan terhadap kediaman pejabat tidak biasa.
Wali Kota Jeanbrun mengatakan bahwa istri dan salah satu anaknya terluka dalam serangan yang berlangsung pada pukul 1.30 waktu setempat saat mereka tidur, sementara dia tengah berada di balai kota memantau kekerasan.
Menyusul serangan tersebut, jaksa Stephane Hardouin membuka penyelidikan atas percobaan pembunuhan. Dia mengatakan bahwa penyelidikan awal menunjukkan mobil itu dimaksudkan untuk menabrak rumah dan membakarnya.
Akselerator api, sebut Hardouin, ditemukan di dalam mobil.
Presiden Macron menyalahkan media sosial yang diklaimnya memicu kekerasan. Menteri kehakiman Prancis telah memperingatkan bahwa anak muda yang menyerukan untuk melakukan kekerasan di Snapchat atau aplikasi lain dapat menghadapi tuntutan hukum.
Advertisement
Polisi Vs Kaum Muda dari Kalangan Kelas Pekerja
Di alun-alun di Nanterre, seorang pemuda keturunan Senegal menginginkan Prancis belajar dari kerusuhan pasca penembakan Nahel.
"Mereka mempermainkan ketakutan kami dengan mengatakan 'Jika Anda tidak mendengarkan kami'... (memberikan gestur menembak)," ujar Faiez Njai.
Petugas polisi yang dituduh menembak Nahel telah didakwa melakukan pembunuhan melanggar hukum setelah jaksa Pascal Prache mengatakan bahwa penyelidikan awal menyimpulkan syarat penggunaan senjata secara legal tidak terpenuhi.
Jaksa Prache seperti dilansir AP mengungkapkan bahwa petugas berusaha menghentikan Nahel karena dia terlihat sangat muda dan mengendarai Mercedes dengan plat nomor Polandia di jalur bus. Nahel disebut mengabaikan permintaan polisi untuk berhenti dengan menerobos lampu merah, namun dia terjebak macet.
Dua polisi yang terlibat mengaku mereka menodongkan senjata untuk mencegah Nahel melarikan diri. Sementara salah satu yang melepaskan tembakan mengklaim dia khawatir bahwa dia dan rekannya atau orang lain dapat tertabrak mobil.
Keduanya mengatakan merasa terancam saat Nahel tidak mengindahkan perintah untuk berhenti.
Pengacara petugas polisi yang ditahan mengungkapkan kepada saluran TV Prancis, BFMTV, bahwa kliennya menyesal dan merasa hancur.
"Petugas melakukan apa yang menurutnya diperlukan pada saat itu," kata pengacara Laurent-Franck Lienard.
"Dia tidak bangun di pagi hari untuk membunuh orang," kata Lienard. "Dia benar-benar tidak bermaksud membunuh."
Tiga belas orang yang tidak mematuhi pemeriksaan lalu lintas ditembak mati polisi Prancis tahun lalu. Sementara tahun ini, jumlahnya tiga orang.
"Kematian Nahel M. pertama-tama mencerminkan aturan dan praktik bagaimana petugas polisi menggunakan senjata selama pemeriksaan di pinggir jalan dan lebih luas lagi, hubungan yang cacat antara polisi dan kaum muda dari lingkungan kelas pekerja," tulis surat kabar Le Monde pada Sabtu.