Liputan6.com, Luxembourg - 21Â tahun yang lalu pada tanggal 6 November 2002, terjadi kecelakaan udara yang disebut paling mematikan di Luksemburg. Petakan melanda Luxair Flight 9642Â yang menggunakan pesawat Fokker 50 berusia 11 tahun dengan registrasi LX-LGB mencoba untuk mendarat.
Peristiwa nahas tersebut menyebabkan kematian 20 dari 22 penumpang serta kru pesawat.
Baca Juga
Luxair Flight 9642 adalah penerbangan yang rutin terjadwal antara Bandara Berlin-Tempelhof (THF) di Jerman dan Bandara Luxembourg-Findel (LUX) di Luksemburg. Penanggung jawab penerbangan tersebut adalah Kapten Claude Poeckes, dibantu oleh kopilot John Arendt.
Advertisement
Melansir dari Simple Flying, pesawat diketahui berangkat tepat pada waktu yang dijadwalkan, yaitu pukul 07:40 waktu setempat, menuju Luksemburg dengan jarak 371 mil (sekitar 596 km). Di dalam pesawat ada dua pilot, seorang pramugari, dan 19 penumpang. Pada pukul 08:55, ketika pesawat berada di ketinggian tetap, pilot memeriksa Automatic Terminal Information Service (ATIS) untuk mengetahui situasi cuaca di Luksemburg.
Mereka menemukan bahwa jarak pandang di landasan pacu telah berkurang menjadi 902 kaki dibandingkan dengan 984 kaki yang dibutuhkan pesawat Fokker untuk mendarat. Dengan kabut tebal yang menyelimuti area tersebut, para kru menyadari bahwa mereka harus menunda pendaratan.
Mereka mempunyai dua pilihan, yaitu akan terbang dalam pola bertahan berharap kabut akan hilang, atau beralih ke bandara lain.
Sang Pilot Membuat Keputusan yang Salah
Demi menghindari kesulitan bagi penumpang dan dirinya sendiri, pilot memutuskan untuk melanjutkan penerbangan ke Bandara Luxembourg-Findel (LUX) tanpa melakukan pengalihan. Beberapa menit kemudian, kru memeriksa kembali informasi ATIS dan menyadari bahwa kondisi masih belum membaik.
Mereka membahas kemungkinan pendaratan dalam kabut namun tidak sependapat mengenai langkah yang harus diambil. Akibatnya, mereka tidak dapat mengambil keputusan untuk melakukan pendekatan pendaratan.
Ketika kopilot Arendt sedang berkomunikasi dengan penumpang, kapten mencoba menghubungi pejabat Luxair untuk mendapatkan informasi cuaca terbaru.
Saat itu, sebuah pesawat Cargolux baru saja lepas landas dari bandara, dan Kapten Poeckes ingin tahu perkembangan cuaca. Karena adanya kabut, kru diperintahkan untuk menuju ke VOR Diekrich, mengikuti pola holding di area Findel, dan menunggu hingga kondisi membaik.
Advertisement
Keputusan Sulit dalam Kondisi Cuaca yang Tidak Mendukung
Tiba-tiba Air Traffic Control (ATC) mengirim pesan lewat radio kepada pesawat yang menyuruhnya turun ke ketinggian 3.000 kaki dan mengubah arahnya. Kontak tiba-tiba dari ATC membuat kru lengah dan membuat kopilot Arendt bertanya kepada kapten Poeckes,"Apakah itu untuk kita?" Kapten menjawab, "Ya."
Ketika masih ragu tentang langkah selanjutnya, pengontrol lalu lintas udara (ATC) memerintahkan kru untuk mendekati bandara. Instruksi ini membuat kru kebingungan karena cuaca masih tidak memenuhi persyaratan untuk pendaratan pesawat Fokker 50. Dalam situasi yang menegangkan, pilot bersiap-siap untuk melakukan pendaratan sesuai perintah ATC.
Ketika penerbangan mendekati sinyal radio terakhir untuk persiapan pendaratan, kapten Poeckes memberi tahu kopilot Arendt bahwa jika jarak pandang tetap di bawah 984 kaki, mereka akan melewatkan pendekatan pendaratan.
Setelah berhasil mengunci Sistem Pendaratan Instrumen (ILS) dari bandara, mereka memeriksa kembali jarak pandang dan mendapati bahwa kondisinya semakin memburuk. Saat kopilot memeriksa daftar periksa pendekatan, ia menggeser ground idle stop ke posisi off, yang merupakan tugas terakhir dalam daftar periksa.
Karena masih tidak puas dengan kondisi pada pukul 09:04 waktu setempat, kapten Poeckes meminta izin untuk memutar. Sepuluh detik kemudian, ATC melaporkan bahwa jarak pandang membaik. Hal tersebut membuat kapten mengubah keputusannya dan melanjutkan pendekatannya untuk mendarat.
Mengambil ketinggian sedikit lebih tinggi dari jalur landas yang seharusnya mereka ikuti, kapten menyatakan niatnya untuk mengurangi tenaga agar pesawat turun dengan lebih cepat.
Upaya Kru Mengatasi Kesulitan saat Mendekati Landasan
Adapun kopilot menyuarakan kekhawatirannya dengan menyatakan bahwa pesawat mungkin tidak akan mampu melambat dengan cukup cepat. Ketika kru menurunkan roda pendaratan, mereka melihat peningkatan kecepatan baling-baling pesawat.
Saat kecepatan dan ketinggian pesawat turun dengan cepat, mereka menyadari bahwa gaya dorong terbalik telah diterapkan dan berusaha untuk mendapatkan kembali daya angkat. Meskipun mereka berusaha sebaik mungkin, pesawat terus kehilangan ketinggian dan akhirnya jatuh di lapangan yang berjarak 2.300 kaki dari landasan pacu.
Setelah melakukan penyelidikan panjang pada bulan Desember 2003, AET Luksemburg mengeluarkan laporan akhir. Laporan tersebut menyimpulkan penyebab kecelakaan sebagai berikut:
- Kru membuat keputusan untuk mendarat tanpa persiapan yang memadai.
- Keputusan ini mengakibatkan pilot melakukan serangkaian tindakan yang berakhir dengan penghentian primer pada tuas daya, sehingga menyebabkan kehilangan kendali yang tidak dapat diubah.
Advertisement