Liputan6.com, Nangarhar - Sejarah mencatat bahwa tentara Amerika Serikat dilaporkan menjatuhkan bom non-nuklir terkuat Amerika di lokasi-lokasi keberadaan ISIS di Afghanistan pada Kamis 13 April 2017, tepat tujuh tahun lalu.
Seperti dilansir dari CNN, Sabtu (13/4/2024) mengutip pejabat AS, ini merupakan kali pertama jenis senjata tersebut digunakan dalam pertempuran.
Baca Juga
Sebuah Bom Massive Ordnance Air Blast Bomb (MOAB) GBU-43/B, yang dijuluki sebagai "mother of all bombs" (ibu dari semua bom), dijatuhkan pada pukul 19.32 waktu setempat, menurut empat pejabat militer AS dengan pengetahuan langsung tentang misi tersebut.
Advertisement
Senjata MOAB adalah amunisi berpemandu GPS sepanjang 30 kaki atau 9 meter dengan berat 21.600 pon atau sekitar 10 ton.
Presiden Donald Trump kemudian menyebutnya sebagai "misi lain yang sukses" pada hari Kamis.
Bom tersebut dijatuhkan oleh pesawat MC-130, yang ditempatkan di Afghanistan dan dioperasikan oleh Komando Operasi Khusus Angkatan Udara, ucap juru bicara Pentagon Adam Stump kepada CNN.
Pihak berwenang mengatakan bahwa targetnya adalah kompleks gua dan terowongan ISIS serta personel di Distrik Achin Provinsi Nangarhar, daerah terpencil di timur negara tersebut yang berbatasan dengan Pakistan.
Juru Bicara Gedung Putih, Sean Spicer, berkata pada hari Kamis itu, "Amerika Serikat sangat serius dalam melawan ISIS dan untuk mengalahkan kelompok tersebut kami harus menyangkal ruang operasional mereka, yang telah kami lakukan."
Serangan tersebut "mengincar sistem terowongan dan gua yang digunakan anggota ISIS untuk bergerak secara bebas".
Dubes Afghanistan untuk AS kala itu, Hamdullah Hobib, mengatakan kepada CNN bahwa bom tersebut dijatuhkan setelah pertempuran meningkat dalam seminggu terakhir antara Pasukan Khusus AS dan pasukan Afghanistan yang melawan ISIS.
Pasukan AS dan Afghanistan tidak dapat maju karena ISIS telah memasang ranjau di daerah tersebut, jadi bom itu dijatuhkan untuk membersihkan terowongan, kata Mohib.
Pertama Kali Digunakan di Medan Tempur
Ini merupakan pertama kalinya MOAB digunakan di medan pertempuran, menurut pejabat AS. Senjata ini dikembangkan selama perang Irak dan merupakan hulu ledak tipe ledakan udara yang meledak sebelum menghantam tanah untuk memproyeksikan ledakan besar ke semua sisi.
Selama tahap akhir pengujian pada tahun 2003, para pejabat militer mengatakan kepada CNN bahwa MOAB pada dasarnya dirancang sebagai senjata yang digunakan untuk "operasi psikologis." Para pejabat militer mengatakan mereka berharap MOAB akan menciptakan ledakan besar yang akan mengguncang pasukan Irak dan menekan mereka agar menyerah atau bahkan tidak berperang.
Seperti yang direncanakan semula, MOAB akan digunakan untuk melawan formasi besar pasukan dan peralatan atau bunker di atas tanah yang diperkeras. Target yang ditetapkan juga telah diperluas untuk mencakup target yang terkubur di bawah permukaan yang lebih lunak, seperti gua atau terowongan.
Namun meskipun bom MOAB meledak dengan kekuatan 18.000 pon bahan peledak tritonal, besarnya ledakannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan bom nuklir.
Mantan Menteri Pertahanan William Perry menggambarkan perbedaan kekuatan yang mencolok antara MOAB dan bom nuklir. "Hasil ledakan #MOAB adalah 0,011 kiloton, hasil nuklir tipikal adalah 10-180 kiloton – AS sendiri memiliki lebih dari 7.000 senjata nuklir,” cuitnya.
"Seiring dengan meningkatnya kerugian yang dialami ISIS-K, mereka menggunakan IED, bunker, dan terowongan untuk mempertebal pertahanan mereka," kata Nicholson dalam sebuah pernyataan setelah serangan tersebut.
"Ini adalah amunisi yang tepat untuk mengurangi hambatan tersebut dan menjaga momentum serangan kita terhadap ISIS-K," tambah Nicholson.
"Pasukan AS mengambil segala tindakan pencegahan untuk menghindari korban sipil dalam serangan ini. Pasukan AS akan melanjutkan operasi ofensif sampai ISIS-K dihancurkan di Afghanistan,” demikian bunyi pernyataan Pasukan AS di Afghanistan.
Saat itu tingkat kerusakan dan apakah ada korban jiwa masih belum jelas. Pihak militer sedang melakukan penilaian.
Pentagon kemudian mengkaji apakah akan mengerahkan pelatih tambahan ke Afghanistan untuk membantu memperkuat sekutu AS di sana.
Diizinkan oleh Trump
Donald Trump, selaku Presiden AS yang menjabat pada masa itu, menolak untuk mengatakan apakah ia secara pribadi menyetujui serangan tersebut, tetapi mengomentari, "Semua orang tahu persis apa yang terjadi. Jadi, yang saya lakukan hanyalah memberi izin kepada militer kami."
Ia melanjutkan, "Kami telah memberi mereka otorisasi total dan itulah yang mereka lakukan."
Seorang pejabat senior pemerintahan AS menolak untuk menjelaskan apakah presiden memerintahkan serangan tersebut di Afghanistan ketika ditanya tentang komentar "otoritas total" Trump.
Namun, pejabat tersebut mengatakan bahwa secara umum, "Kami tidak menyetujui setiap serangan," dan menambahkan bahwa, "Pemerintahan ini telah semakin menjauh" dari menentukan strategi militer dari Gedung Putih.
Ini merupakan perubahan yang diinginkan baik oleh Trump maupun James Mattis, selaku Menteri Pertahanan, ucap pejabat tersebut.
Presiden telah memberikan kewenangan lebih luas kepada komandan militer untuk bertindak secara independen di beberapa medan pertempuran di mana pasukan AS terlibat, yang Trump promosikan sebagai membuat "perbedaan besar" dalam perang melawan ISIS.
Selama kampanye, Trump bersumpah untuk memberantas ISIS dan mengatakan bahwa ia akan "meledakkan" kelompok teror tersebut.
Advertisement
Reaksi Beragam dari Berbagai Partai
Para pendukung partai Republik dengan cepat memberikan dukungan mereka untuk serangan tersebut pada hari Kamis.
"Saya harap musuh-musuh Amerika sedang memperhatikan dan memahami bahwa ada sheriff baru di kota," ucap Sen. Lindsey Graham, seorang Republikan dari Carolina Selatan. "Senang Angkatan Udara menjatuhkan MOAB melawan ISIS di Afghanistan. Harus lebih agresif melawan ISIS di mana pun, termasuk di Afghanistan."
Namun, anggota Partai Demokrat California, Rep. Jackie Speier, menyuarakan kekhawatiran tentang potensi peningkatan keterlibatan militer AS di Afghanistan."
"Kita sedang meningkatkan (militer) di wilayah yang seharusnya kita deeskalasi," katanya kepada CNN. "Dipadukan dengan apa yang terjadi di Yaman, apa yang terjadi di Suriah, ini adalah upaya yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa kita akan terlibat dalam perang di tiga negara secara bersamaan."
Komandan pasukan AS di Afghanistan, Jenderal John Nicholson, menyetujui penggunaan bom tersebut, menurut sejumlah sumber. Wewenang untuk menggunakan senjata itu diberikan kepada Nicholson oleh komandan US Central Command, Jenderal Joseph Votel, kata juru bicara Pentagon Adam Stump.
Tentang Distrik Achin
Distrik Achin merupakan pusat utama aktivitas ISIS di Afghanistan. Seorang prajurit Pasukan Khusus Angkatan Darat AS dikabarkan tewas dalam pertempuran melawan kelompok teroris di sana pada hari Sabtu (8/4/2017).
Ada sekitar 8.400 tentara AS di Afghanistan dan mereka secara rutin melakukan operasi kontra-terorisme terhadap ISIS di Provinsi Nangarhar. Misi kontra-terorisme AS terpisah dari upaya yang dipimpin NATO untuk melatih, memberi nasihat, dan membantu pasukan militer dan polisi Afghanistan.
Meskipun ISIS teridentifikasi terutama dengan keberadaannya di Irak dan Suriah, pejabat AS dan koalisi telah lama menyatakan keprihatinan tentang keberadaan kelompok militan itu yang semakin meningkat di Afghanistan.
ISIS pertama kali muncul pada musim panas 2015 di bagian timur negara itu. Mereka dengan cepat mendapatkan wilayah dan dukungan, sering kali di antara para pemuda Taliban atau orang Afghanistan yang merasa tidak puas.
Pejabat militer AS telah mengatakan cabang ISIS ini sebagian besar terdiri dari mantan anggota kelompok teroris regional, termasuk Taliban Pakistan dan Gerakan Islam Uzbekistan.
Pejabat AS lainnya memberitahu CNN perkiraan bahwa afiliasi ISIS di Afghanistan memiliki sekitar 600 hingga 800 militan yang berbasis di dua hingga tiga distrik di selatan Nangarhar.
Advertisement