Liputan6.com, Beirut - Seorang revolusioner dan juga penulis Palestina bernama Ghassan Kanafani tewas ditembak oleh Mossad, seorang agen intelijen nasional Israel, pada 8 Juli 1972, tepat 52 tahun lalu.
Kanafani, merupakan seorang penulis yang pertama kali menggunakan konsep "sastra perlawanan" dalam konteks Palestina, dan juga merupakan anggota terkemuka dari Marxist-Leninist Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), seperti dilansir dari telesurenglish.net, Senin (8/7/2024).
Baca Juga
Semua karya jurnalistik dan tulisannya sangat terkait dengan budaya Arab-Palestina yang memberi inspirasi bagi generasi baik selama maupun setelah masa hidupnya.
Advertisement
Pada 8 Juli 1972, Kanafani menetap di ibu kota Lebanon, Beirut ketika ia tewas dalam ledakan bom mobil bersama keponakannya yang saat itu masih remaja.
Mossad kemudian mengaku bahwa ia bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Pembunuhan Kanafani yang dilakukan oleh pasukan rahasia Israel merupakan balasan terhadap pembantaian Bandara Lod pada 30 Mei 1972, yang sekarang merupakan Bandara Internasional Ben Gurion.
26 orang dibunuh, termasuk 17 warga Puerto Riko, oleh anggota Tentara Merah Jepang yang direkrut oleh PFLP dalam serangan itu.
Pada saat itu, Kanafani merupakan juru bicara resmi untuk PFLP, dan juga menjadi editor majalah mingguan kelompok al-Hadaf.
"Ini peringatan ke-45 atas syahidnya penulis besar Palestina anggota biro Popular Front for the Liberation of Palestine," PLFP men-tweet untuk menghormati Kanafani pada tahun 2017.
Jauh sebelum pembunuhannya, pengalaman pribadi Kanafani membentuk minatnya terhadap Marxisme dan perjuangannya untuk pembebasan Palestina.
Awal dari Karir Menulis Karafani
Lahir pada tahun 1936, Karafani merupakan anak dari seorang ayah yang aktif dalam gerakan nasional melawan pendudukan Inggris di Palestina.
Ia dan keluarganya pernah mengungsi di Suriah setelah Perang Arab-Israel 1948 dan bergabung dengan ratusan ribu orang Palestina yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka saat itu.
Saat bekerja di kamp-kamp pengungsi, Kanafani mulai menulis novel-novelnya, dan kemudian tertarik pada filsafat dan politik Marxisme saat ia tinggal di Beirut.
"Posisi politik saya berasal dari keberadaan saya sebagai seorang penulis. Bagi saya, politik dan novel adalah salah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saya dengan tegas menyatakan bahwa saya menjadi terlibat secara politik karena saya seorang penulis, bukan sebaliknya," ucapnya pada suatu waktu.
Â
Advertisement
Selalu Mendukung Perjuangan Palestina
Ketika minat Karafani terhadap komunisme tumbuh, ia berpaling dari nasionalisme pan-Arab dan mendukung perjuangan Palestina.
"Perjuangan Palestina bukan hanya untuk orang Palestina, tetapi untuk setiap revolusioner, di mana pun ia berada, sebagai perjuangan massa yang dieksploitasi dan tertindas di zaman kita," katanya.
Sebagian besar karya fiktifnya berfokus pada kehidupan orang Palestina dan tantangan yang mereka hadapi di bawah okupasi Israel.
Karafani juga bekerja sebagai editor untuk beberapa media selama hidupnya yang singkat. Ia meraih beberapa penghargaan atas karyanya baik saat hidup maupun secara anumerta.
Di dalam necrologi-nya di The Daily Star Lebanon segera setelah meninggalnya, dijelaskan bahwa "Dia adalah seorang pejuang tanpa senjata, menganggap pulpen sebagai senjatanya, dan halaman surat kabar sebagai panggungnya."
Kanafani dan Penulis-penulis Lain yang Menjadi Target
Mahmoud Darwish, penyair nasional Palestina, menulis eulogi untuk Kanafani, "Mereka meledakkanmu, seperti mereka akan meledakkan sebuah front, sebuah markas, sebuah gunung, dan sebuah ibu kota, dan mereka berperang denganmu, seperti mereka akan berperang dengan sebuah tentara. Karena kamu adalah simbol, dan peradaban adalah sebuah luka. Dan mengapa kamu? Mengapa kamu? Karena tanah air dalam dirimu adalah nyata dan transparan, dan inovasi untuk sungai yang airnya dipahat dari darah para migran. Garis-garisnya selalu terbakar, di mana bayangan zaitun yang terlambat bercampur antara ingatan dan tanah."
Dampak dari kehidupan dan kematian Karafani menjadi pengingat yang nyata akan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina.
Melansir dari The New Arab, Kanafani dan penulis-penulis lainnya pada masa itu menjadi sasaran karena karya-karya mereka yang mendalam dan berdampak kuat pada audiens mereka.
Namun, dari novelis Elias Khoury, ditemukan juga ironi menyedihkan dalam mempertahankan warisan tokoh-tokoh perlawanan Palestina, seperti yang ditunjukkan oleh reaksi sarkastis penyair Gaza, Kamal Nasser, terhadap eulogi Darwish untuk Kanafani.
Tragisnya, Nasser juga dibunuh oleh Israel, “Darwish mengenang bahwa dia terkejut ketika penyair Palestina Kamal Nasser berjalan dengan marah ke kantornya di Pusat Penelitian Palestina pada tahun 1972, sambil membawa obituari yang ditulisnya untuk Kanafani. Nasser melemparkan artikel tersebut di atas meja dan dengan lembut bertanya, 'Apa yang akan kamu tulis tentang kematianku, sekarang setelah kamu menulis semuanya dalam artikel ini?'"
Pertukaran ini menyoroti dari sudut pandang pribadi bagaimana perlawanan budaya tetap hidup melalui warisan para ikon, bahkan dalam semangat persaingan yang sinis.
Satu tahun kemudian, Kamal Nasser dibunuh melalui pembunuhan yang direncanakan oleh Mossad di Beirut, bersama Kamal Adwan, seorang politisi terkemuka dari Palestinian Liberation Organization (PLO), dan 'Abu Yusef,' anggota militan organisasi tersebut.
Advertisement