Qatar Akui Pemimpin Hamas Tidak Lagi Ada di Doha, Kantornya Tutup Permanen?

Awal bulan ini, Qatar menangguhkan perannya sebagai mediator kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera antara Hamas dan Israel. Mereka hanya akan melanjutkannya ketika para pihak menunjukkan kemauan dan keseriusan untuk mengakhiri perang.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Nov 2024, 09:00 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2024, 09:00 WIB
Anak-Anak Palestina
Warga Palestina yang terluka tiba di Rumah Sakit al-Shifa dengan menaiki truk menyusul serangan udara Israel di Kota Gaza, Jalur Gaza, Kamis (19/10/2023). (AP Photo/Abed Khaled)

Liputan6.com, Doha - Pada hari Selasa (19/11/2024), juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed al-Ansari mengonfirmasi bahwa para pemimpin Hamas yang berada dalam tim negosiasi kini tidak berada di Doha.

"Seperti yang Anda ketahui, mereka berpindah-pindah ibu kota. Saya tidak ingin membahas secara rinci apa artinya itu," tambahnya seperti dilansir BBC, Rabu (20/11/2024).

"Namun, yang dapat saya katakan dengan sangat jelas adalah bahwa kantor Hamas di Doha didirikan demi proses negosiasi. Jelas, ketika tidak ada proses mediasi, kantor itu sendiri tidak memiliki fungsi apa pun."

Dia juga menekankan, "Keputusan untuk menutup kantor secara permanen adalah keputusan yang akan Anda dengar langsung dari kami dan tidak boleh menjadi bagian dari spekulasi media."

Qatar telah menjadi tuan rumah biro politik Hamas sejak 2012 dan memainkan peran kunci dalam memfasilitasi negosiasi tidak langsung antara kelompok tersebut dan Israel.

Pada hari Senin (18/11), Hamas via Telegram membantah apa yang telah disebarkan oleh beberapa media Israel tentang kepemimpinan Hamas yang meninggalkan Qatar ke Turki.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Matthew Miller menyatakan dia "tidak dalam posisi untuk membantah laporan" tentang keberadaan kepemimpinan Hamas.

"Apa yang akan saya katakan atas nama AS adalah bahwa kami tidak percaya para pemimpin organisasi teroris yang kejam harus hidup dengan nyaman di mana pun dan itu tentu termasuk di kota besar salah satu sekutu dan mitra utama kami," katanya.

"Sejumlah orang ini berada di bawah dakwaan AS, telah berada di bawah dakwaan AS selama beberapa waktu, dan kami percaya bahwa mereka harus diserahkan ke AS."

Miller menolak berspekulasi mengenai apakah akan ada konsekuensi bagi Turki sebagai sekutu NATO jika menerima para pemimpin Hamas.

Turki tidak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris - tidak seperti Israel, AS, Inggris, dan banyak negara Barat lainnya - dan anggota kelompok tersebut sering menghabiskan waktu di sana.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah membela Hamas sebagai gerakan perlawanan dan sangat kritis terhadap operasi militer Israel di Jalur Gaza.

Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza sebagai tanggapan atas serangan kelompok militan Palestina pimpinan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober 2023. Israel mengklaim peristiwa itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya.

Menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, lebih dari 43.970 orang tewas sejak hari itu.

Selama kunjungan ke Jalur Gaza pada hari Selasa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali tekadnya untuk tidak membiarkan Hamas memiliki peran apapun dalam memerintah Jalur Gaza setelah perang.

Dia juga sekali lagi berjanji untuk memastikan bahwa semua sandera akan dibawa pulang hidup-hidup dan mengulangi tawarannya sebesar USD 5 juta bagi siapa saja yang menyerahkan sandera kepada Israel.

Israel mengatakan 97 sandera masih ditahan, 34 di antaranya diduga tewas. Ada empat sandera lainnya yang diculik sebelum 7 Oktober 2023, dua di antaranya diyakini telah tewas.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya