Liputan6.com, Damaskus - Kementerian Pendidikan Suriah yang dipimpin Nazir Mohammad al-Qadri pada Rabu (1/1/2025) mengumumkan rencana reformasi besar pada kurikulum nasional yang memengaruhi semua jenjang pendidikan.
Perubahan ini memicu kemarahan, terutama terkait mata pelajaran "Agama" dan "Sejarah".
Advertisement
Baca Juga
Reformasi mencakup penghapusan referensi tentang hubungan Suriah dengan agama-agama politeistik, penyuntingan besar-besaran dalam buku teks, termasuk penghapusan teks, gambar, dan pengubahan kata-kata.
Advertisement
Konten yang berhubungan dengan rezim Bashar al-Assad yang telah digulingkan juga akan diubah atau dihapus, termasuk pembahasan tentang dewa-dewa dalam buku sejarah dan filsafat.
Teks yang menggambarkan pemerintahan Kekaisaran Ottoman "kejam" dan bagian tentang "pemikiran filsafat China" dalam Filsafat akan dihapus, sementara materi lainnya diubah. Demikian seperti dikutip dari The New Arab, Sabtu (4/1).
Mata pelajaran "bahasa Inggris" juga mengalami perubahan besar, dengan banyak bagian dihapus atau ditulis ulang di berbagai jenjang pendidikan.
Perubahan terbesar adalah penghapusan mata pelajaran "Pendidikan Nasional", yang dianggap menyebarkan "informasi menyesatkan" dan propaganda rezim Assad. Sebagai gantinya, nilai mata pelajaran itu akan digantikan dengan nilai "Pendidikan Agama Islam" atau "Kristen", yang kini akan berkontribusi pada penilaian Sertifikat Sekunder Umum di semua cabang akademik.
Perdebatan yang Meluas
Rencana reformasi yang luas ini mencerminkan pergeseran dalam prioritas pendidikan negara dan memicu perdebatan sengit di kalangan warga Suriah mengenai dampaknya terhadap identitas budaya dan sejarah negara tersebut.
Para kritikus perubahan kurikulum menyuarakan kekhawatiran di media sosial mengenai kemungkinan pergeseran dari "interpretasi nasionalis ke interpretasi Islamis" terhadap sejarah negara itu seperti yang diungkapkan oleh akademisi asal Amerika Serikat Joshua Landis di platform media sosial X.
Reaksi balik semakin memanas setelah pengumuman al-Qadri karena warga Suriah dilaporkan sedang mengorganisir protes terhadap rencana reformasi dan menyerukan pemecatan al-Qadri.
Jurnalis Suriah Hussam Hammoud menulis di X, "Setelah meninjau perubahan ini, jelas bahwa selain menghapus jejak-jejak kriminal rezim Assad, perubahan lainnya cenderung memiliki nuansa agama yang kuat."
Menanggapi kritik terhadap reformasi kurikulum, al-Qadri mengatakan pada Kamis (2/1), "Kurikulum sekolah di seluruh Suriah tetap tidak berubah hingga komite khusus dibentuk untuk meninjau dan mengauditnya."
Dia menyatakan perubahan yang diumumkan bertujuan memperbaiki informasi salah yang sebelumnya diadopsi oleh rezim Assad dalam kurikulum pendidikan Islam, seperti penafsiran yang keliru terhadap beberapa ayat Al-Quran.
Al-Qadri menambahkan, "Sekarang kami telah mengadopsi penafsiran yang benar, sebagaimana yang tercantum dalam kitab tafsir klasik, untuk semua jenjang pendidikan."
Kontroversi mengenai rencana reformasi ini memicu kekhawatiran tentang keselamatan kelompok minoritas di Suriah. Namun, pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, baru-baru ini bertemu dengan pemimpin Kristen senior sebagai bagian dari upaya untuk meyakinkan publik bahwa hak-hak minoritas akan tetap dijamin di bawah pemerintahan baru.
Â
Â
Â
Advertisement